tirto.id - Eggi Sudjana semestinya membela kliennya yang bekas tentara, Kivlan Zen, karena dituduh makar. Namun ternyata Eggi sendiri kena pasal yang sama persis. Polisi bahkan telah menetapkannya sebagai tersangka.
"Ditetapkan sebagai tersangka," Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono mengkonfirmasi, Kamis (9/5/2019) siang.
Yang dipermasalahkan adalah pernyataan Eggi pada hari pencoblosan, 17 April 2019, di rumah Prabowo Subianto di Kertanegara, Jakarta Selatan. Ketika itu Eggi menyerukan people power--istilah yang makin marak dipakai belakangan ini--untuk merespons pemilu yang menurutnya penuh kecurangan dan manipulatif.
"Kekuatan people power itu mesti dilakukan. Setuju? Berani? Berani? Kalau people power itu terjadi, kita tidak perlu lagi mengikuti konteks tahapan-tahapan, karena ini sudah kedaulatan rakyat. Bahkan mungkin ini cara dari Allah untuk mempercepat Prabowo dilantik. Tidak harus menunggu 20 Oktober," kata Eggy.
Atas pernyataan itu, pria yang pernah mencalonkan diri sebagai Gubernur Jabar pada 2013 tapi gagal saat diverifikasi KPU setempat ini disangkakan Pasal 107 KUHP dan/atau 110 juncto Pasal 87 KUHP dan/atau Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) dan/atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Sejumlah pro-kontra lantas muncul. Kepala Divisi Hukum dan Advokasi Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean, mengatakan pasal makar sudah tepat karena Eggi dianggap memang berniat menggulingkan pemerintahan yang sah.
"Pidato Eggi memang bisa dimaknai bahwa ada upaya, rencana, penggulingan kekuasaan," kata Ferdinand. "Bisa masuk kategori makar."
Hal serupa dikatakan Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Abdul Kadir Karding. "Dorongan untuk people power itu sesungguhnya untuk menjatuhkan atau mengganti presiden," kata Karding.
Namun Kuasa Hukum Eggi, Pitra Romadoni, tak sepakat dengan itu. "Apa yang digulingkan Eggi?" tanya Pitra, retoris. "Tidak ada."
Atas dasar itu ia mengajukan nota keberatan. Dia pun akan mengajukan praperadilan selekasnya.
Pasal Makar
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bidang Advokasi Muhammad Isnur mengatakan memang keliru jika Eggi dikenakan pasal makar. Seruan people power, setidaknya hingga sekarang, belum bisa dikategorikan makar.
"Kalau orang hanya sekadar mengatakan [people power] tanpa ada pengerahan kekuatan, akan repot. [Makar] artinya serangan, bukan seruan saja," kata Isnur kepada reporter Tirto, Kamis (9/5/2019) siang.
Apa yang Isnur katakan berdasarkan kepada KUHP berbahasa Belanda. Kata makar adalah terjemahan dari "anslaag", yang artinya adalah serangan atau violence attack. Unsur kekerasan ini yang sekarang kerap dilupakan, bahkan oleh polisi sekalipun.
Gerakan #2019GantiPresiden yang tahun lalu ramai juga tak tepat disebut makar persis karena alasan yang sama. Pakar Hukum Tata Negara UGM Zainul Arifin Mochtar mengatakan "dalam makar ada penggunaan excessive power," dan gerakan 2019GantiPresiden, katanya, "tidak sampai sana."
Hal serupa dikatakan Ahli Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran, Indra Perwira. Dia bilang jika baru sebatas seruan people power, itu masih bagian dari kemerdekaan menyampaikan pendapat yang justru harus dihormati.
"Kalau masih sebatas bicara saja, itu belum bisa dijadikan dasar dianggap makar. Penyidik bisa saja menjerat dengan makar, tapi belum tentu tuduhan itu terbukti di pengadilan," kata Indra kepada reporter Tirto.
"Saya menangkap, [apa yang dikatakan Eggi] itu bukan menggulingkan pemerintahan, tapi berharap pemilu ini jujur dan adil," sambung Indra.
Karopenmas Polri Brigjen Dedi Prasetyo menegaskan bahwa keputusan mengenakan pasal makar terhadap Eggi adalah "berdasarkan alat bukti dan gelar perkara" yang dilakukan pada 7 Mei lalu. Dengan kata lain, sudah tepat.
"Kalau yang bersangkutan merasa keberatan, sudah ada mekanisme praperadilan. Mekanisme hukum harus ditaati," ujar Dedi, Kamis, di Mabes Polri.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino