Menuju konten utama

Profil Djoko Pekik, Rekam Jejak dan Karyanya Semasa Hidup

Profil, rekam jejak, dan karya-karya seniman lukis Djoko Pekik yang meninggal di usia 86 tahun pada 12 Agustus 2023.

Profil Djoko Pekik, Rekam Jejak dan Karyanya Semasa Hidup
Seniman lukis Djoko Pekik pada Juni 2010. (ANTARA FOTO/Regina Safri)

tirto.id - Seniman terkenal dalam negeri, Djoko Pekik dikabarkan meninggal dunia pada Sabtu (12/8/2023) pukul 08.00 WIB. Pelukis "Berburu Celeng" itu meninggal pada usia 86 tahun.

Semasa hidup Djoko Pekik dikenal sebagai pelukis bergaya realistis-ekspresif yang kerap menuangkan berbagai kritikan pada karyanya.

Rekam jejak sang maestro pun punya warna gelap terang, karena ia sempat menjadi tahanan politik di tengah-tengah kesuksesannya.

Sahabat sekaligus seniman ternama negeri, Butet Kertaredjasa, menyebut bahwa Djoko Pekik diduga meninggal karena tua. Menurut Butet, Djoko Pekik memang mengalami penurunan kondisi kesehatan sejak memasuki usia senja.

"Memang sudah tua, sakit-sakitan," kata dia seperti yang dikutip dari Antara.

Prosesi pemakaman Djoko Pekik akan berlangsung besok, Minggu (13/8/2023) usai misa yang diadakan oleh keluarga. Rencananya, Djoko Pekik akan dimakamkan di Makam Seniman Giri Sapto yang terletak di Imogiri, Bantul, Yogyakarta.

Profil dan Rekam Jejak Djoko Pekik

Djoko Pekik merupakan pria kelahiran Grobogan, Jawa Tengah pada 2 Januari 2023. Ia menempuh pendidikan tinggi pada 1957 di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) yang kini dikenal dengan nama Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Semasa muda, Djoko Pekik mendirikan sanggar seni bernama Bumi Tarung. Menurut Agus Dermawan T. dalam Podium Sahibulhikayat (2021) sanggar tersebut dirikan bersama kedua sahabat Djoko Pekik sekaligus seniman terkenal Amrus Natalsya dan Miscbach Tamrin.

Ketiganya bersama-sama menciptakan karya-karya seni yang kini tersimpan rapi di berbagai museum dan arsip nasional. Bersama Amrus Natalsya jugalah dirinya bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Lekra adalah sebuah organisasi kebudayaan budaya yang didirikan oleh petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI), D.N Aidit, A.S Dharta, dan M.S Ashar.

Selain Djoko dan Amrus, Lekra juga banyak diikuti para seniman dan sastrawan terkenal dalam negeri, termasuk Pramoedya Ananta Toer dan Basuki Resobowo.

Menurut keterangan Djoko di buku Amrus Natalsya: Memahat Bahtera Purba dan Pecinan Kota Tua (2021) dulu memang banyak seniman muda dan mahasiswa ASRI yang tertarik bergabung dengan Lekra.

Hal ini karena ideologi Lekra sangat menjunjung tinggi seni kerakyatan. Seiring bergabungnya Djoko di Lekra ia semakin produktif.

Ia bahkan sempat menggelar beberapa kali pameran dan dinilai memiliki masa depan yang cerah. Ia juga mengaku sudah menabung banyak uang untuk hari tuanya.

Sayangnya, saat memasuki Orde Baru dan segala hal yang terkait komunis dianggap sebagai ancaman, Djoko Pekik dan kawan-kawannya sesama anggota Lekra ditangkap.

Ia dianggap bergabung di organisasi yang berafiliasi dengan PKI dan harus mendekam di penjara selama tujuh tahun (1965 - 1972). Djoko Pekik, yang masih muda dan produktif, terpaksa menghentikan aktivitas melukisnya selama dibui.

Bahkan berdasarkan catatan M. Dahlan, dkk. dalam Gelaran Almanak Seni Rupa Jogja 1999-2009 (2009) Djoko Pekik sempat mendapatkan siksaan di penjara. Ia mengalami gangguan pendengaran karena kerap dipukul dengan popor senjata.

Kemudian setelah menjalani masa hukumannya di penjara, Djoko Pekik tidak langsung kembali ke aktivitas seninya. Butuh beberapa tahun untuk dia berjaya kembali dan menata lagi kariernya dari awal.

Lalu, di tahun 1990 ia memberanikan diri menggelar pameran di Edwin's Gallery Jakarta disusul dengan pameran-pameran lainnya.

Lukisan-lukisan karya Djoko Pekik saat itu banyak mengusung kritikan terhadap pemerintahan Orde Baru. Namun, karyanya itu justru menjadi incaran para kolektor seni.

Puncaknya berlangsung di akhir era Orde Baru melalui lukisannya yang paling terkenal berjudul "Babi Celeng" pada 1998.

Lukisan tersebut berhasil terjual dengan harga fantastis, yaitu satu miliar rupiah. Sejak saat itulah ia dikenal dengan julukan "Seniman 1 Miliar."

Setelah era Orde Baru berakhir, pergerakan Djoko Pekik untuk memproduksi karya seni semakin leluasa. Ia kembali rutin menggelar pameran-pameran seni hingga satu satu dekade terakhir.

Djoko Pekik bukanlah orang yang rakus dan ingin terus membuat karya untuk mendapatkan rupiah. Ia mengedepankan ideologinya bahwa melukis adalah panggilan jiwa sehingga tidak boleh dilakukan atas desakan orang lain.

Di masa tuanya ia memutuskan untuk tinggal di sebuah rumah perkebunan di Dusun Sembungan, Bangunjiwo, Bantul. Ia menghabiskan waktunya bersama sang istri, Sehatini Purwaningsih.

Beberapa waktu terakhir kondisi kesehatannya menurun karena usia. Ia bahkan sempat dirawat di RS Panti Rapih karena patah tulang. Setelah kembali ke rumah, ternyata kondisi kesehatan Djoko menurun.

Ia lantas kembali dilarikan ke RS Panti Rapih karena muntah-muntah. Sayangnya sesampainya di rumah sakit Djoko Pekik dinyatakan sudah meninggal dunia.

Karya Djoko Pekik Semasa Hidup

Karya-karya Djoko Pekik semasa hidup dihiasi dengan bentuk kritikan kepada pejabat atau pemerintahan Orde Baru.

Ia kerap memberi judul karyanya dengan kata-kata binatang atau entitas non manusia. Djoko Pekik menggunakan kata 'babi', 'celeng', 'buaya', atau 'demit' sebagai simbol umpatan.

Misalnya, karyanya yang paling terkenal "Berburu Celeng" yang menggambarkan keserakahan Orde Baru. Lalu, ada juga lukisan berjudul "Go To Hell Crocodile" yang menggambarkan kebuasan kapitalisme.

Ada juga beberapa karyanya juga menggambarkan suasana hatinya saat dikurung di penjara di tahun 1965. Karya-karya bertema keresahannya itu dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia pada Juni 2008.

Berikut ini beberapa judul karya Djoko Pekik semasa hidup:

  • Penjaga Malam (1988)
  • Pengamen Istirahat (1988)
  • Dia Anaku (1989)
  • Keretaku Tak Berhenti Lama (1989)
  • Ledek Gogek (1989)
  • Sadar Wisata Makan Beling (1989)
  • Menuju Pasar (1990)
  • Tayuban (1990)
  • Bukit Parangtritis (1991)
  • Pengamen Istirahat II (1991)
  • Ringsek (1992)
  • Susu Raja Celeng (1996)
  • Berburu Celeng (1998)
  • Tanpa Bunga dan Telegram Duka (1999)
  • Demit (2001).

Baca juga artikel terkait AKTUAL DAN TREN atau tulisan lainnya dari Yonada Nancy

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Yonada Nancy
Editor: Iswara N Raditya