tirto.id - Problem hukum dalam perumusan regulasi turunan UU Terorisme yang mengatur keterlibatan TNI di penanganan aksi teror menjadi sorotan dalam diskusi publik “Apa Kabar Perpres Pelibatan TNI Dalam Mengatasi Terorisme?” Diskusi itu digelar di Salemba, Jakarta Pusat, pada Kamis (13/12/2018).
Perwakilan dari Divisi Hukum Mabes Polri, yang datang dalam diskusi tersebut, Kombes Pol Hambali mengakui ada problem hukum yang perlu dituntaskan dalam perumusan Perpres tersebut.
"Kita sudah mengetahui bersama bahwa berdasarkan konstitusi negara RI UUD 1945 [...] Tidak ada yang mengatur bahwa TNI itu merupakan institusi penegak hukum," ujar Hambali.
Hal yang disampaikan Hambali merujuk pada Tap MPR RI nomor VI/MPR/2000, Tap MPR nomor VII/MPR/2000, dan UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.
"Penanganan terorisme di Indonesia dilakukan secara model penegakan hukum menurut acara pidana Indonesia," kata Hambali.
"Kendala yang dihadapi oleh hukum di negara Republik Indonesia adalah institusi TNI bukan alat negara penegak hukum," dia menambahkan.
Menurut Hambali, problem tersebut harus diselesaikan dalam rumusan Perpres demi mencari konsep ideal mengenai pelibatan TNI dalam menangani terorisme di Indonesia.
Di acara yang sama, Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf berpendapat pelibatan militer dalam upaya pemberantasan terorisme di Indonesia seharusnya dilakukan hanya dalam situasi darurat.
"Atau ketika kapasitas sipil sudah tak bisa mengatasi aksi terorisme. Semisal mengatasi pembajakan pesawat, pembajakan di wilayah laut," ujar Al Araf.
Dia menambahkan, dalam kondisi damai, porsi keterlibatan TNI di pemberntasan terorisme semestinya hanya sebatas perbantuan.
"[pelibatan TNI harus] Sesuai konteks dan eskalasi ancaman [teror]. Dan tetap semuanya harus sesuai perintah presiden," kata dia.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Addi M Idhom