Menuju konten utama

Pansus RUU Terorisme: Pelibatan TNI akan Diatur PP dan Perpres

RUU Terorisme mengatur bahwa teknis pelibatan TNI dalam penindakan kejahatan teror akan diatur dalam peraturan turunan berupa PP dan Perpres.

Pansus RUU Terorisme: Pelibatan TNI akan Diatur PP dan Perpres
Ketua Pansus RUU Terorisme M Syafii (kiri) didampingi Wakil Ketua Hanafi Rais ketika memimpin rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (31/5/2017). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

tirto.id - Wakil Ketua Pansus RUU Terorisme DPR RI, Supiadin Aries Putra menyatakan mekanisme teknis pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam penindakan terorisme akan diatur dalam peraturan turunan buatan pemerintah.

Supiadin menyatakan peraturan itu berupa peraturan presiden (Perpres) dan peraturan pemerintah (PP). Hal ini sesuai yang diatur dalam Pasal 43G RUU Terorisme.

Dia menjelaskan peraturan turunan itu perlu dibuat sebab UU Nomor 34 Tahun 2004 belum menjelaskan secara detail mekanisme pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP) dan tugas-tugas lainnya.

“Makanya di UU ini, dalam 100 hari, pemerintah harus membuat PP. Supaya pemerintah enggak lelet. Kalau dalam 100 hari enggak bisa buat PP penjabaran UU terorisme ini, bukan salah kami," kata Supiadin, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (21/5/2018).

Sementara untuk pembentukan Perpres, Supiadin menambahkan, harus dibentuk oleh pemerintah melalui konsultasi dengan DPR dalam waktu maksimal setahun setelah RUU Terorisme disahkan. Perpres ini merupakan pengejawantahan keputusan politik pemerintah seperti yang disyaratkan Pasal 7 UU TNI tentang OMSP.

"Kan tidak mungkin setiap ada kejadian teroris pemerintah ngomong ke DPR, bagaimana ini? Sementara pembunuhan terus berjalan," kata Supiadin.

Akan tetapi, menurut Supiadin, TNI pun sudah bisa terlibat dalam penindakan terorisme sebelum perpres itu ada. "Kalau begitu mereka [polisi] mengajukan bantuan. [TNI] Memperkuat. Misalnya, [berupa] operasi perimbangan," kata Supiadin.

Supiadin mencontohkan operasi perimbangan sudah pernah dilakukan saat penindakan kelompok Santoso di Poso. Saat itu pasukan Raider TNI membantu Densus 88 menangkap kelompok Santoso.

"Karena TNI punya kemampuan perang hutan. Densus 88 enggak punya. Perang kota pun enggak punya. Kemahiran dia [polisi] itu menembak. Mengeksekusi," kata Supiadin.

Mantan jenderal ini mengklaim pelibatan TNI dapat membuat pemberantasan tindak pidana terorisme bisa berjalan lebih efektif.

"Tidak ada masalah negara yang bisa diselesaikan dengan single agency [satu lembaga]. Nothing [tidak ada]," kata Supiadin.

Salah satu teknis pelibatan TNI yang sudah mencuat ke publik adalah melalui pengaktifan kembali pasukan Komando Operasi Khusus Bersama (Koopssusgab). Pasukan ini terdiri dari anggota TNI lintas matra yang pernah dibentuk oleh Moeldoko saat masih menjabat Panglima TNI.

Akan tetapi, wacana tersebut mendapat kritik dari sejumlah pihak lantaran dianggap dapat memicu pelanggaran HAM dalam penanganan terorisme.

Menjawab kritik tersebut, Menkopolhukam Wiranto menjamin pelibatan TNI tidak akan berakibat pada hal-hal yang eksesif.

"Saya jamin militer dengan uu itu tidak akan katakanlah ekseksif. Tidak akan militer kemudian menjadi super power lagi. Tidak mungkin militer kembali lagi ke zaman era yang dulu menjadi zamannya junta militer. Rezim militer," kata Wiranto pada 18 Mei 2018 lalu.

Baca juga artikel terkait RUU TERORISME atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Hukum
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Addi M Idhom