tirto.id - Daerah aliran sungai Bekasi terbentang dari hulu Sungai Cikeas di Sentul dan Sungai Cileungsi di Babakan Madang—keduanya di Kabupaten Bogor. Pertemuan kedua sungai itu membentuk Kali Bekasi, yang bermuara di Cikarang Bekasi Laut. Dari bentangan hulu Sungai Cileungsi hingga Kali Bekasi sedikitnya terdapat 1.200 perusahaan, 800 di antaranya dalam wilayah administratif Kota Bekasi.
Sepanjang Sungai Cileungsi dan Kali Bekasi dipagari banyak pabrik dan perusahaan. Pabrik-pabrik inilah yang diduga penyumbang besar limbah ke tubuh sungai. Bangunan-bangunan pabrik berdiri memunggungi badan sungai, dengan saluran pembuangan limbah langsung mengalir ke bibir sungai; ada pula yang menggunakan drainase sebelum dialirkan ke sungai.
Hingga saat ini Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi mencatat pernah menindak empat perusahaan yang terbukti membuang langsung limbah cair ke Kali Bekasi. Dua di antaranya PT Millennium Laundry, perusahaan jasa pencucian bahan jins, dan Victory Plastindo, unit usaha yang mengolah bahan baku biji plastik dan tali plastik.
PT Millennium Laundry dipidana lantaran mengabaikan regulasi tentang perlindungan lingkungan hidup serta pengelolaan limbah bahan beracun dan berbahaya. Perusahaan ini sempat ditegur enam kali tapi, karena nihil iktikad baik, Dinas Lingkungan Hidup melaporkan pengelolanya ke Polres Metro Kota Bekasi pada Januari 2017. Selain itu, Millennium Laundry tidak memegang izin operasional dan belum dilengkapi instalasi pengolahan air limbah.
Kasus Millennium Laundry bisa kentara diusut pidana, tapi bagaimana dengan perusahaan yang patuh administrasinya dan jadi pelaku pencemaran?
Tengku Imam Kobul dari Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air Kali Bekasi menerangkan soal biaya tinggi pengolahan limbah cair. Saat ini, menurutnya, biaya itu berkisar antara Rp1.000 hingga Rp5.000 per meter kubik limbah cair.
“Bayangkan, jika dalam sehari pabrik menghasilkan seribu meter kubik limbah cair. Artinya, perusahaan harus merogoh kocek hingga Rp5 juta per hari,” jelas Imam.
Angka demikian cukup besar mengingat bukan belanja modal sehingga nol profit. Untuk itu, banyak perusahaan yang mengakalinya dengan menggunakan jasa pengolah limbah. Secara matematis, jika produksi limbah masih di bawah 3 ribu meter kubik per hari, cara ini menjadi lebih ekonomis. Namun, perusahaan yang sudah memiliki izin dampak lingkungan diwajibkan punya instalasi pengolahan limbah sendiri.
Pembangunan untuk stasiun pengolahan limbah komunal dinilai tak mungkin karena letak pabrik yang tersebar di sepanjang aliran sungai, menurut Ima. Wawasan lingkungan, lanjut Imam, tak pernah dilirik sebagai investasi menguntungkan bagi perusahaan.
Alhasil, fasilitas pengolahan limbah hanya eksis sebagai aksesoris untuk mengegolkan izin pendirian perusahaan di tepi sungai. Dalam pelaksanaannya, hampir menjadi nol besar. Imam bahkan menyangsikan ada karyawan tetap untuk diberdayakan sebagai operator pengolah limbah di tiap perusahaan.
“IPAL baru akan beroperasi jika ada inspeksi dari pemerintah,” kata Imam.
Sayangnya, fungsi pengawasan yang seharusnya berkala saban tiga bulan sekali kerap alpa dilakoni instansi terkait. Pemerintah baru bertindak jika ada laporan dari warga yang mengeluhkan pencemaran kali di sekitar permukiman mereka.
Penegakan Hukum Loyo
Sungai Cileungsi sudah belasan tahun tercemar. Kendati tak sepanjang waktu tapi polanya berulang. Buih putih dari limbah pabrik mengalir bak ritual tahunan saban musim kemarau. Kondisi menjadi sedikit lebih baik tatkala musim hujan.
Musabab pencemaran yang terus-menerus lantaran selama ini penegakan hukum loyo. Tindakan hukum sebatas penyegelan sementara, kemudian perusahaan kembali diizinkan beroperasi. Praktis, tindakan temporer ini minim menimbulkan efek jera.
Sugeng Priyanto, direktur pengaduan, pengawasan, dan sanksi administrasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan perlu "pembuktian yang cukup" guna menghasilkan tindakan pidana atau perdata terhadap perusahaan dan izin usahanya dicabut permanen.
Jika terbukti melanggar dan mencemari lingkungan lantaran mungkir administratif, sebuah perusahaan terlebih dahulu diberi sanksi penyegelan selama tempo tertentu dan akan dicabut setelah rampung syarat memiliki instalasi pengolahan limbah dan izin operasi. Sanksi perdata akan dikeluarkan jika ulah perusahaan mengakibatkan kerugian ekologi hingga ekonomi masyarakat sekitar. Sementara tindakan pidana dikenakan jika perusahaan terbukti melakukan perbuatan melawan hukum.
Dalam kasus tahun ini, saat hulu Kali Bekasi menguarkan bau busuk dan berwarna hitam pekat, hampir semua jari menuding perusahaan raksasa tekstil PT Kahatex sebagai biang keladi pencemaran Sungai Cileungsi. Untuk itu, Sugeng menegaskan pihaknya tengah melakukan penyelidikan dengan mengambil sampel untuk diuji laboratorium.
“Nanti akan diketahui kandungan apa saja yang terdapat dalam air Kali Cileungsi,” ujar Sugeng kepada Tirto, pekan ketiga September lalu. Sugeng menjanjikan hasil itu akan keluar dalam waktu dekat tapi, hingga laporan ini dirilis, belum ada perkembangan terbaru soal uji sampel air Kali Cileungsi.
Secara administratif, Kahatex termasuk kategori tertib evaluasi dampak lingkungan dan memiliki instalasi pengolahan air limbah. Pihak Kahatex sudah menampik sebagai pelaku pencemaran Sungai Cileungsi. Manajer Umum PT Kahatex II Luddy Sutedja membantah perusahaannya memiliki pabrik di sekitar sungai tersebut.
“Pabrik kami hanya berada di Rancaekek dan Cimahi,” ujarnya, seperti dikutipKoran Tempo, pertengahan September lalu.
Dalam laman resmi Kahatex, perusahaan ini mencantumkan punya dua pabrik di Rancaekek (Sumedang) dan di Cimahi (Bogor), dan berkantor pusat di Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Meski begitu, Sugeng menambahkan bisa saja kasus ini akan menyeret perusahaan lain yang beroperasi di sepanjang DAS Bekasi.
“Ini sebenarnya peran pemerintah daerah karena mereka yang mengeluarkan izin. Kami hanya dapat melakukan inspeksi lapis kedua. Kami turun karena masyarakat sudah geger,” kata Sugeng.
Sugeng mengimbuhkan kondisi penegakan hukum dipersulit lantaran di tingkat daerah belum ada Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi cukup dilematis bila harus menjatuhkan sanksi pidana kepada perusahaan yang ketahuan membuang limbah ke sungai. Ada biaya sosial yang harus dibayar: pengangguran.
“Ini yang terjadi saat kami menutup Millennium Laundry. Jadi bukan berarti kami setengah hati,” jelas Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi Jumhana Luthfi.
Hampir semua perusahaan di sepanjang Kali Cileungsi sudah berdiri lebih dari 20 tahun dan diklaim mempekerjakan ribuan karyawan. Pencabutan izin permanen Millennium Laundry mungkin berdampak kurang signifikan lantaran memiliki hanya puluhan pekerja.
Tetapi, penegakan hukum menjadi serba hati-hati terlebih jika yang harus dihadapi adalah perusahaan besar.
“Siapa yang berani gusur?” kata Imam, retorik.
Tak cuma perusahaan laten pencemar sungai, melainkan soal perubahan tata ruang. Saat ini kondisi di hulu sungai, ujar Imam, hanya memiliki empat persen wilayah resapan air. Padahal idealnya harus mencakup tiga puluh persen wilayah.
Nyaris sebagian besar tata ruang di hulu sungai dan sepanjang aliran sungai Cileungsi sudah alih fungsi. Misalnya, daerah yang seharusnya menjadi resapan air justru dijadikan permukiman atau kawasan industri.
Jika sudah begini, problem pencemaran DAS Bekasi menjadi lebih kompleks. Dan butuh puluhan tahun serta biaya besar untuk memulihkan sungai.
“Kami di pemerintah daerah tidak punya uang sebanyak itu,” tutup Luthfi.
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam