Menuju konten utama

Pro Kontra Legalisasi Kratom dan Apakah Efeknya Seperti Narkoba?

Simak penjelasan soal rencana legalisasi tanaman kratom yang disebut-sebut memiliki efek samping seperti narkoba, benarkah demikian?

Pro Kontra Legalisasi Kratom dan Apakah Efeknya Seperti Narkoba?
Seorang warga mengeringkan daun kratom di Desa Keutapang, Kecamatan Krueng Sabe, Jum'at (5/4/2019). Antara Aceh/Arif

tirto.id - Legalisasi tanaman kratom sedang menjadi pembahasan di kalangan eksekutif. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyelenggarakan rapat terbatas dengan mengundang sejumlah menteri Kabinet Kerja di Istana Kepresidenan, Jakarta pada Kamis (20/6/2024) untuk membahas hal tersebut.

Menurut Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, tata kelola kratom perlu dirumuskan karena selama ini belum ada standardisasi sehingga masyarakat kesulitan untuk mengekspor tanaman herbal tersebut.

“Yang kedua, perlu ada tata niaganya. Memang Menteri Perdagangan sedang menyusun aturan mainnya itu tetapi perlu nanti segera dipercepat sehingga efek kepastian nanti masing-masing stakeholder terkait harus bagaimana,” kata Moeldoko, dikutip Antara News.

Pemerintah perlu memastikan apakah kratom tergolong sebagai narkotika atau tidak, karena masih ada perbedaan pendapat antara Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terkait keamanan penggunaan tanaman tersebut.

“Kita ingin memastikan sebenarnya seperti apa sih kondisi kratom itu. Masih ada perbedaan persepsi. Untuk itu, saya meminta BRIN untuk melakukan riset. Risetnya mengatakan bahwa mengandung (narkotika) tetapi dalam jumlah tertentu, saya minta lagi jumlah tertentu seperti apakah yang membahayakan kesehatan,” ujar Moeldoko.

Apakah Tanaman Kratom Termasuk Narkoba?

BNN memasukan daun kratom sebagai NPS di Indonesia dan merekomendasikannya ke dalam jenis narkotika golongan 1 dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 karena memiliki efek samping yang membahayakan, terlebih bila penggunaannya tidak sesuai takaran.

NPS adalah "new psychoactive substances" atau "zat yang disalahgunakan, baik dalam bentuk murni maupun sediaan, yang tidak diatur oleh Konvensi Tunggal Narkotika 1961 atau Konvensi Zat Psikotropika 1971, tetapi yang dapat menimbulkan ancaman kesehatan masyarakat".

Maraknya peningkatan penggunaan kratom juga ditandai dengan banyaknya petani tanaman biasa yang beralih menjadi petani kratom karena hasil dari budi daya kratom dinilai lebih menjanjikan secara ekonomi.

“Selama ini cukup bagus [prospeknya] karena ini menjadi penopang bagi 18 ribu keluarga yang bekerja di area penanamannya. Saya pikir penting memastikan harus bagaimana tata kelola dan penggolongannya sehingga ada kepastian, karena ini yang ditunggu masyarakat,” ujar Moeldoko.

Daun kratom diketahui memiliki kandungan aktif yaitu alkaloid mitragynine dan 7-hydroxymitragynine. Kedua bahan aktif ini memiliki efek sebagai obat analgesik atau pereda rasa sakit.

Senyawa aktif mitragynine yang terkandung dalam kratom inilah yang berpotensi menimbulkan kecanduan layaknya mengonsumsi narkotika.

Efek yang dirasakan dari konsumsi kratom adalah perasaan relaks dan nyaman, serta euforia berlebihan jika kratom digunakan dengan dosis tinggi.

Banyak tumbuh di wilayah Kalimantan, daun kratom biasanya digunakan untuk teh atau diolah menjadi suplemen, yang bermanfaat untuk membantu mengurangi rasa nyeri, meningkatkan kesehatan kulit, dan menaikkan libido.

Akan tetapi, efek samping dari penggunaan kratom cukup membahayakan bila tidak sesuai takaran.

Efek Samping Tanaman Kratom

BNN Kabupaten Pulau Morotai pada April 2020 lalu merilis efek samping kratom yang banyak dijustifikasi dengan alasan menimbulkan efek yang sama dengan minum kopi. Berikut ini, beberapa efek samping yang bisa timbul dari penggunaan kratom:

  • Mulut jadi kering
  • Badan menggigil
  • Mual dan muntah
  • Berat badan turun
  • Gangguan buang air kecil dan buang air besar
  • Kerusakan hati
  • Nyeri otot
Kratom juga bisa menimbulkan efek samping pada sistem saraf dan pikiran seseorang, seperti:

  • Pusing
  • Mengantuk
  • Halusinasi dan delusi
  • Depresi
  • Sesak napas
  • Kejang
  • Koma
  • Meninggal dunia
Hingga saat ini, belum diketahui batas dosis yang dianggap aman atau sudah dianggap berlebihan saat mengonsumsi kratom. Selain efek samping di atas, bahaya penggunaan kratom juga bisa muncul, seperti:

1. Membuat kecanduan

Orang yang menggunakan kratom lebih dari enam bulan akan menunjukkan tanda-tanda kecanduan, seperti sakau apabila penggunaan tanaman ini dihentikan. Gejala sakau yang timbul, tidak jauh berbeda dari pencandu opium dan butuh perawatan medis segera.

2. Bahaya untuk perkembangan janin dan bayi

Efek samping kratom juga bisa muncul pada bayi yang menyusu dari ibu yang mengonsumsi tumbuhan ini. Apabila dikonsumsi saat hamil, maka bayi yang lahir bisa merasakan gejala putus obat atau sakau hingga memerlukan perawatan khusus.

3. Berisiko menimbulkan keracunan salmonella

Menurut sebuah laporan di Amerika Serikat, sekitar 130 orang yang mengonsumsi kratom hingga bulan April tahun 2018 lalu, mengalami keracunan akibat infeksi bakteri Salmonella yang mungkin banyak terdapat di daun kratom. Keracunan akibat salmonella bisa berakibat fatal apabila tidak segera ditangani dengan baik.

Penggunaan kratom di Indonesia sendiri baru akan benar-benar dilarang pada tahun 2022 atau lima tahun setelah penetapannya sebagai golongan narkotika golongan I dilakukan. Lima tahun tersebut diberikan sebagai masa penyesuaian. Sebab hingga saat ini, masih banyak petani kratom di Indonesia.

Baca juga artikel terkait REGULASI atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Hukum
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Iswara N Raditya