Menuju konten utama

Predatory Pricing TikTok Berpotensi Buat UMKM RI Punah!

Marketplace dan social e-commerce semestinya bantu dongkrak penjualan UMKM. Namun sebaliknya, UMKM justru terancam karena praktik predatory pricing

Predatory Pricing TikTok Berpotensi Buat UMKM RI Punah!
Header Predatory Pricing. tirto.id/Mojo

tirto.id - Ujian bertubi-tubi menimpa pebisnis UMKM. Belum benar-benar pulih dari terpaan pandemi, kehadiran social e-commerce, TikTok dan marketplace yang diharapkan membantu memasarkan produknya justru mengancam usahanya. Tanpa proteksi dari pemerintah, usaha kecil bakal tersingkir oleh praktek predatory pricing.

Praktek predatory pricing atau menjual barang di bawah harga modal membuat pebisnis online yang mayoritas UMKM (usaha mikro kecil dan menengah) tidak mampu bersaing. Produk-produk yang rata-rata impor itu, selain dijual dengan diskon gila-gilaan juga menggandeng para artis atau influencer sebagai penjualnya.

Sederet artis, yakni Raffi Ahmad, Baim Wong, Sarwendah, Ruben Onsu, Nikita Mirzani, dan selegram Fuji Utami serta Dokter Richard Lee berjualan secara langsung (live streaming) di TikTok atau live shopping melalui e-commerce (Shopee Live). Mereka mengklaim meraup omzet hingga miliaran rupiah.

“Rekor dunia 40 M++. Selamat ulang tahun….,” kata Dokter Richard Lee, pebisnis skin care yang mengklaim memecahkan Rekor Asia Tenggara, karena dalam 1 hari live di Tik Tok, penjualannya tembus Rp 40 miliar. Klaim itu diunggah di akun Instagram resminya @dr.richard_lee, Jumat (18/8/2023).

Sedangkan Baim Wong yang berjualan perabotan rumah tangga impor ini mengaku meraup penjualan Rp 9,6 miliar dalam 20 jam live.”Sales 9,6 miliar dalam 20 jam,” ungkap dia, di Ig@baimwong, Rabu (30/8/2023). Baim juga menuliskan bahwa MCN Tiger Wong (divisi bisnis miliknya) akan bekerja sama dengan MCN hebat dari China.

Menurut DTC Agency, MCN (Multi Channel Network) atau disebut juga Youtube Network adalah entitas bisnis yang berperan sebagai perantara antara content creator dan pemilik merek atau pengiklan. MCN bertindak sebagai agensi atau jaringan yang mengelola dan mendukung para content creator dalam mengembangkan karirnya di TikTok.

Jika MCN yang melibatkan para youtuber artis atau influencer ini memasarkan produk lokal, tentu dampaknya baik bagi pebisnis lokal. Sebab, para pesohor dengan pengikut (follower) mencapai jutaan orang, bahkan puluhan juta itu mampu menjangkau pasar yang luas dan memengaruhi orang untuk membeli barang yang ditawarkannya.

Sayangnya, produk yang ditawarkan sebagian besar pesohor itu barang impor dengan harga sangat murah, sehingga berpotensi membunuh usaha kecil. Barang yang dijual online di TikTok, harganya sering tidak masuk akal. Ada baju yang dijual lima ribu rupiah, selimut berbahan wool dijual 10 ribu, dan lainnya.

Bahkan, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki menemukan, harga jual parfum saat live shopping di TikTok hanya Rp 100 dan harga celana pendek Rp 2.000. Tentu saja, harga tersebut jauh dibawah biaya modal jika diproduksi di dalam negeri. Teten mencurigai TikTok telah melakukan praktek predatory pricing.

Jika dianalisa, ada dua kemungkinan yang menyebabkan e-commerce mampu menjual dengan harga tidak masuk akal.

Pertama, tarif bea masuk barang impor yang terlalu rendah. Kedua, tidak ada batas minimum barang boleh masuk. Selain melakukan predatory pricing, TikTok diduga juga melakukan bisnis lintas batas melalui Project S (platform elektronik niaga).

Project S ini diluncurkan oleh ByteDance, perusahaan induk TikTok di Inggris pada Juni 2023. Konsep Project S ini menjual langsung barang dagangannya kepada konsumen dari lintas negara, seperti yang dilakukan oleh Amazon.

Ditambah lagi, Project S TikTok Shop dicurigai menjadi cara perusahaan (China) untuk mengoleksi data produk yang laris manis di suatu negara. Setelah punya datanya, produk tersebut diproduksi sendiri di China dan dijual kembali dengan harga sangat murah di sini.

Di Inggris, kata Teten, 67% algoritma TikTok bisa mengubah perilaku konsumen dari tidak mau belanja menjadi belanja dan membeli produk China dengan harga sangat murah. Itu bisa dilakukan, karena TikTok Shop menyatukan media sosial, perdagangan lintas batas negara, dan penjual ritel online.

Kendati TikTok Indonesia mengaku barang yang dijual bukan produk impor, Teten tidak percaya. Sebab saat Menkop UKM mau membuat kebijakan subsidi untuk UMKM yang berjualan di online saat COVID-19, semua pelaku e-commerce tidak bisa memisahkan mana produk UMKM, mana produk impor. Dirilis dari Antaranews, Rabu (12/7/2023).

Dari 21 juta pelaku UMKM yang berjualan online, mayoritas barangnya diimpor dari China. Jika tidak segera diatasi dengan kebijakan yang tepat, menurut Menkop UKM, pasar digital akan dikuasai produk-produk dari China. Pengusaha lokal tidak mampu bersaing, sehingga akan tersingkir.

Saat ini bentuk perlindungan yang diberikan kepada UMKM adalah adanya regulasi produk impor bisa dijual di sini setelah melengkapi produknya dengan izin edar dari BPOM, SNI, dan sertifikasi halal.

Faktanya, banyak produk, terutama fashion (baju, sepatu, dan aksesoris) bisa mengabaikan persyaratan itu, karena barang yang dibeli dari toko online di sini bisa dikirim langsung dari China atau Korea Selatan. Meski harga barangnya hanya puluhan ribu atau ratusan ribu rupiah.

Berdagang online di media sosial saat ini masih seperti hutan rimba, karena social e-commerce belum ada regulasinya.

Teten telah meminta Kementerian Perdagangan segera merevisi Permendag. Nomor 50/2020 yang saat ini baru mengatur perdagangan di e-commerce, tapi belum mengatur perdagangan di social e-commerce.

Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Keminfo) Samuel Abrijani Pangarepan dalam laman resminya kppu.go.id mengatakan, bentuk pelanggaran ke depan semakin kasat mata, karena pelakunya bersembunyi dalam penggunaan data, algoritma, dan aturan-aturan yang ada.

Hal tersebut akan menyulitkan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) dalam menemukan dan menentukan apakah sebuah perilaku merugikan atau tidak.

Untuk itu, KPPU ke depan harus berinovasi dalam penegakkan hukum dan perbaikan kebijakan persaingan di platformonline. Tidak menutup kemungkinan, KPPU bisa mengadopsi aturan dari negara lain terkait platformonline.

Kasus Harga Predator Amazon

Bukan rahasia lagi, UMKM yang berjualan online menghadapi persaingan tidak sehat, karena strategi banting-bantingan harga, seperti flash sale, great sale, dan beragam diskon lainnya. Selain TikTok, fenomena harga predator ini juga dilakukan oleh Amazon.

Akibat melanggar etika bisnis, Amazon beberapa kali terkena beberapa sangsi. Diantaranya, pada Juli 2021, Amazon terkena sanksi dari Uni Eropa harus membayar denda sebesar 746 juta euro atau kisaran 13 triliun rupiah, karena melanggar aturan perlindungan data.

Dikutip dari Kantor Berita Reuters pada 28 April 2022, Amazon dan pesaingnya, Flipkart Walmart juga menghadapi tuduhan melakukan praktek predator dalam bisnis online di India.

Peritel India, pendukung utama Perdana Menteri Narendra Modi menuding, platform Amazon dan Flipkart hanya menguntungkan beberapa penjual besar, melalui penetapan harga predator.

Meskipun Amazon dan Flipkart mengaku mematuhi semua undang-undang di India, hasil investigasi Reuters berdasarkan dokumen internal Amazon menunjukkan selama bertahun-tahun mereka memberikan perlakuan istimewa kepada sekelompok kecil penjual di platformnya, sehingga melanggar undang-undang persaingan usaha di negara tersebut.

Senada dengan India, berdasarkan laporan dari ILSR (Institute For Local Self Reliance) mengungkapkan bahwa kebanyakan orang Amerika percaya kekuatan Amazon yang sangat besar berbahaya dan harus dikendalikan.

Sebuah jajak pendapat baru-baru ini menemukan, hampir 80% responden percaya Amazon harus tunduk pada peraturan yang lebih ketat, dan lebih dari separuhnya mendukung pembubaran Amazon.

Investigasi yang dilakukan oleh Komite Kehakiman dari parlemen (DPR) Amerika Serikat selama 15 bulan menyimpulkan bahwa Amazon memiliki kekuatan monopoli atas banyak usaha kecil menengah.

Mereka mendesak pemerintah agar Amazon tunduk pada peraturan yang lebih ketat, dan lebih separuh lainnya mendukung pembubaran Amazon untuk menghidupkan kembali kewirausahaan di Amerika Serikat (AS).

Mereka menyerukan pembubaran perusahaan dengan memisahkan lini bisnis utamanya menjadi perusahaan yang berdiri sendiri dan mengatur pasar daring untuk memastikan penjual diperlakukan secara adil.

Sementara itu, dalam survei tahun 2019 terungkap, 75% pengecer independen menyakini dominasi Amazon sebagai ancaman besar bagi kelangsungan hidup usahanya. Hanya 11% pedagang yang menyatakan memiliki pengalaman sukses berjualan di Amazon.

Amazon mengancam bisnis usaha kecil, karena dianggap memojokkan pasar online, menghambat kemampuan usaha kecil untuk beroperasi secara mandiri dan menghalangi mereka menjalin hubungan langsung dengan pelanggan.

Mayoritas pembeli yang ingin membeli sesuatu secara online memulai pencarian di Amazon dan situsnya menangkap sekitar 50% pembelian online.

Dominasi Amazon itu memungkinkan situs ini berfungsi sebagai penjaga gerbang pengecer, sehingga pemilik brand harus menjual di situsnya untuk menjangkau sebagian besar pasar online.

Ketergantungan tersebut membuat banyak pelaku bisnis hidup dalam ketakutan. Pasalnya, jika terjadi perubahan pada algoritma pencarian saja, penjualannya bisa menguap dalam semalam.

Kesalahan Amazon lainnya adalah mempersulit penjual untuk mengurangi ketergantungan pada platform dengan cara membuat identitas merek mereka tidak terlihat oleh pembeli dan mencegah penjual membangun hubungan dengan pelanggan.

Bahkan pada April 2021, Amazon menerapkan kebijakan baru yang menghalangi sebagian besar penjual untuk melihat nama dan alamat orang yang membeli produk mereka. Meskipun Amazon menyebut penjual online sebagai mitra saat di depan umum, di dalam perusahaan menyebutnya sebagai pesaing internal.

Hasil investigasi parlemen dan laporan Wall Street Journal juga menemukan, Amazon telah memata-matai penjual dan mengambil data tentang penjualan, biaya dan pemasok mereka. Amazon selanjutnya menggunakan informasi itu untuk membuat versi produk yang akan menjadi pesaing dan menempatkannya lebih unggul di mesin pencarian.

Bukti lain bahwa Amazon merugikan UMKM adalah seiring pertumbuhan bisnis Amazon, jumlah pebisnis independen justru menurun.

Tahun 2007-2017, jumlah pengecer kecil turun 65 ribu. Sekitar 40% adalah pembuat pakaian, mainan, dan perlengkapan olah raga skala kecil di AS menghilang. Begitu pula dengan sepertiga penerbit buku kecil.

Infografik Predatory Pricing

Infografik Predatory Pricing. tirto.id/Mojo

Mengusir Pesaing Dengan Strategi Harga Predator

Strategi penetapan harga predator kerap diambil sebagai strategi untuk mengusir pesaing dari pasar. Idenya, dengan menetapkan harga dibawah modal, pesaing akan kehilangan pelanggan atau terpaksa menyesuaikan harga, sehingga timbul kerugian yang akan membuat usahanya gulung tikar.

Setelah pesaingnya bangkrut, pemangsa akan menetapkan harga monopoli dan mengganti kerugian yang dideritanya saat melakukan pemangsaan.

Penetapan harga predator itu, menurut para sarjana dari Fakultas Hukum Universitas Chicago, tidak mungkin menjadi strategi bisnis yang menguntungkan. Alasannya, perusahaan yang punya pangsa pasar besar akan menderita kerugian lebih besar dari perusahaan yang menjadi korbannya.

Bahkan, setelah perusahaan pemangsa menguasai pasar, kemudian menetapkan harga normal, perusahaan lain yang sama besarnya bisa saja masuk untuk memenangkan persaingan. Jika itu terjadi, tentu perusahaan pemangsa bakal rugi besar.

Bila ingin menguasai pasar, perusahaan pemangsa disarankan lebih baik membeli saja perusahaan pesaing daripada menetapkan harga predator.

Seperti diketahui, Amazon adalah perusahaan perdagangan elektronik (e-commerce) terbesar di dunia yang berbasis di AS. Di negaranya yang menganut sistem perekonomian kapitalis saja, perilaku bisnis Amazon yang ingin memonopoli bisnis meresahkan publik.

Bagaimana di Indonesia? TikTok yang saat ini sedang hype di pasar online juga berpotensi seperti Amazon. Sebab itu, regulasi tentang bisnis online, baik di media sosial maupun marketplace sangat penting. Apalagi, Amazon kabarnya juga segera masuk ke pasar Indonesia.

UMKM lokal yang lemah modal dan baru belajar masuk ke pasar digital membutuhkan proteksi dari negara agar tidak tersingkir. Siapa lagi yang bakal melindungi nasib UMKM yang menyumbang 60,5% dari PDB (Pendapatan Domestik Bruto) nasional, kalau bukan kita sendiri.

Baca juga artikel terkait PREDATORY PRICING atau tulisan lainnya dari Suli Murwani

tirto.id - Bisnis
Kontributor: Suli Murwani
Penulis: Suli Murwani
Editor: Dwi Ayuningtyas