tirto.id - Mayor Penerbang Marlon A. Kawer meninggal dunia beserta 12 orang lain kala pesawat Hercules C-130 milik TNI AU mengalami kecelakaan. Saat itu ia mengemudikannya dari Timika ke Wamena. Hanya setengah jam di udara, pesawat kehilangan kontak. Lalu pesawat menabrak pegunungan dan hancur lebur. Tiga jenazah bahkan tak lagi bisa teridentifikasi.
Pagi yang sial itu terjadi pada akhir Desember 2016. Marlon memimpin penerbangan bersama ko-pilot Kapten Penerbang J. Hotlan F. Saragih dan navigator Letnan Satu Arif Fajar Prayogi. Dia dipercaya memantau tes Hotlan menjadi pilot sambil membawa logistik ke Wamena.
Meski belum mencapai 2.000 jam terbang, setidaknya Marlon sudah mempunyai 1.000 jam terbang lebih. Dia juga merupakan salah satu lulusan terbaik Sekolah Komando Kesatuan TNI Angkatan Udara (Sekkau) tahun 2000.
Penyebab tabrakan itu diperkirakan faktor cuaca yang buruk. TNI AU mengklaim bahwa kondisi pesawat yang dikendalikan Marlon masih layak terbang. Padahal pesawat itu dibuat pada 1980-an. Pesawat nomor A1334 itu masih punya 69 jam terbang sebelum memenuhi jatah 1.000 jam terbang dan masuk bengkel. Sedangkan secara keseluruhan, pesawat itu punya 9.000 jam terbang lagi.
Pesawat Hercules itu seharusnya punya batas jam terbang berkali-kali lipat. Salah satu situs pemerhati militer mencatat Hercules bisa terbang sampai dengan 40 ribu atau 60 ribu jam. Namun Hercules C-130 yang dipiloti Marlon diperkirakan tidak memenuhi kelaikan pada 2013. Saat kecelakaan, berdasar perkiraan situs fas.org, pesawat tersebut lebih baik tak tinggal landas.
PR Prabowo: Memperkuat Matra Laut dan Udara
Dalam hal pemeringkatan, Indonesia punya kekuatan angkatan udara yang tidak buruk-buruk amat: menempati peringkat 23 dari 53 negara dengan armada pesawat sebanyak 273. Namun dari segi kuantitas, jumlah itu terbilang sangat sedikit. Mesir yang berada di peringkat 24 saja punya 1.092 armada tempur. Meski ada yang mencatat Indonesia punya 451 armada, tapi kuantitas itu masih terbilang sedikit.
Sedangkan untuk angkatan laut, Indonesia punya 221 armada dan bertengger di peringkat 10. Hanya saja, jika dibandingkan dengan tiga negara (Amerika, Cina, dan India) yang tengah mengembangkan kekuatan tempur laut, Indonesia kalah telak.
Amerika punya armada udara sebanyak 5.092, Cina 2.500, dan India 1.666. Sementara armada laut Amerika punya 415 kapal tempur, Cina 714, dan India 295. Jika suatu saat Indonesia harus mengamankan wilayah laut dan udaranya dari ketiga negara yang tengah berkontestasi menguasai jalur ekonomi di Laut Cina Selatan dan Samudera Hindia itu, bisa dipastikan akan kelabakan.
Hanya di AD kekuatan tempur Indonesia cukup masif, yakni memiliki 2.148 alutsista. Padahal Prabowo, dalam kampanye Pilpres 2019, setuju kekurangan alutsista di sektor laut dan udara adalah masalah yang harus diselesaikan.
"Modernisasi kapal, pesawat termasuk radar karena banyak daerah enggak terdeteksi rawan penyelundupan," kata juru bicara BPN Prabowo-Sandiaga Uno, Dahnil Anzar Simanjuntak, Sabtu (30/3/2019) seperti dikutip Medcom. "Pak Prabowo akan meningkatkan anggaran belanja, terutama pada efektifitasnya belanja alutsista terkait laut dan radar.”
Saat ini, sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo juga masih ingin meningkatkan kemampuan alutsista Indonesia yang tertinggal dari negara lain. Dia memastikan ketiga matra akan mendapat penguatan, tapi tidak secara spesifik mana saja yang membutuhkan perhatian khusus.
”Kami akan perkuat TNI,” kata Prabowo saat menyambangi Mabes TNI di Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (30/10/2019) seperti dilansir Jawa Pos.
Panglima TNI Hadi Tjahjanto mengaku sudah berkomunikasi dengan Prabowo dan punya visi yang sama. Salah satu konsep postur pertahanan negara yang ideal bagi keduanya adalah mendukung Indonesia menjadi poros maritim dunia dengan revitalisasi minimum essential force (MEF).
“Program tersebut diwujudkan dalam pembangunan sistem integrative vision center yang diperlukan agar perairan Indonesia bebas dari gangguan,” jelas Hadi.
Bila menilik lebih jauh, masalah alutsista matra laut dan udara yang lemah tak lepas dari persoalan anggaran. Pada APBN 2020 TNI AD mendapat anggaran Rp55,92 miliar dengan alokasi alutsista sebesar Rp4,5 miliar. TNI AL punya bagian Rp22,08 miliar dan alokasi alutsista Rp4,1 miliar. Sedangkan TNI AU memperoleh dana Rp15,5 miliar dan alokasi alutsista Rp2,1 miliar. Lagi-lagi TNI AU mendapat urutan bontot.
Dibanding postur anggaran 2019, hanya TNI AL yang mendapat jatah belanja dan modernisasi alutsista lebih banyak daripada tahun sebelumnya. Apabila anggaran TNI AU dan TNI AL tidak menjadi prioritas, belum tentu janji-janji dan wacana poros maritim dunia akan terwujud. Karena seperti tahun-tahun yang sudah lewat, alutsista Indonesia masih ketinggalan zaman.
AL dan AU Masih "Dianaktirikan"
Secara pendanaan dan jatah kepemimpinan di TNI, Indonesia memang tidak menaruh perhatian pada matra laut dan udara seperti pada matra darat. Sejak 1962 hingga 1999, kepemimpinan tertinggi di ABRI selalu dijabat perwira dari TNI AD. Baru pada masa kepresidenan Abdurrahman Wahid, sejalan dengan agenda reformasi, Panglima TNI diberikan kepada TNI AL. Perwira yang ditunjuk Gus Dur saat itu adalah Laksamana Widodo Adi Sutjipto.
Sebagaimana dikutip dari buku Reformasi Administrasi: Kajian Komparatif Pemerintahan Tiga Presiden (2007) karya politikus PKB Lalu Misbah Hidayat, Gus Dur membuat gebrakan dengan berani mengambil Panglima TNI untuk pertama kalinya di luar matra darat.
“Pilihan ini didasarkan pada pemikiran untuk memprioritaskan keamanan nasional sesuai dengan fakta bahwa Republik Indonesia terdiri atas ribuan pulau yang dipisahkan oleh laut,” tulis Lalu.
Sementara doktor ilmu politik lulusan Universitas Kebangsaan Malaysia, Abdoel Fattah, dalam Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004 (2005), menulis ada motif lain terkait keputusan Gus Dur itu, yakni memudahkan reformasi TNI. Saat itu dominasi AD memang terlalu kuat. Selain menunjuk Widodo A.S., Gus Dur juga memilih Marsekal Utama Graito Usodo dari TNI AU menjadi Kepala Pusat Penerangan TNI.
Saat itu salah satu perwira AD yang mendukung reformasi TNI dan mendapat julukan ‘jenderal reformis’ adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Tendensi reformis itu pula yang mungkin mendorong SBY, kala menjadi presiden, untuk mengangkat Laksamana Agus Suhartono sebagai Panglima TNI pada 2010.
Joko Widodo juga memberi kesempatan kepada purnawirawan AL untuk berperan dalam pemerintahan. Dia menunjuk Tedjo Edhy Purdijatno sebagai Menko Polhukam pada 2014. Namun itu tak bertahan lama. Tedjo digantikan Luhut Binsar Panjaitan yang berasal dari matra darat.
Padahal Jokowi punya keinginan menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia pada 2014. Lima tahun kemudian cita-cita tersebut lenyap dari pidatonya dalam acara-acara resmi. Meski pada praktiknya usaha itu mungkin memang sudah punah saat pensiunan AD yang lebih dipercaya membantu pemerintahan Jokowi.
Berbagai kapal asing melintas di perairan Selat Malaka yang seharusnya menjadi wilayah untuk mengeruk keuntungan. Indonesia bahkan tak berhasil memanfaatkan Selat Malaka menjadi perlintasan karena tidak ada pelabuhan besar yang memadai.
Catatan itu belum termasuk dengan banyaknya kapal ilegal yang masuk ke Indonesia. Rektor sekaligus guru besar ekologi-politik Institut Pertanian Bogor, Arif Satria, mencatat banyaknya kapal nelayan ilegal masuk ke perairan Indonesia tak seluruhnya bisa ditangkal TNI AL. Alasan lama yang selalu dipakai adalah terbatasnya fasilitas.
Dalam Politik Kelautan dan Perikanan (2014), Aria berharap besarnya anggaran hingga puluhan triliun rupiah bagi matra laut seharusnya dapat digunakan membenahi masalah-masalah tersebut.
“Mestinya di wilayah perbatasan, TNI AL harus berperan lebih besar,” tulis Aria.
Kekurangan fasilitas ini juga jadi masalah di TNI AU, utamanya dalam hal alutsista. Selain kecelakaan pesawat Hercules C-130 pada 2016 itu, setidaknya ada 12 kecelakaan yang terjadi pada kurun waktu 2004-2015.
Mantan Kepala Staf Angkatan Udara Chappy Hakim mencatat dalam Saksofon, Kapal Induk, dan “Human Error”: Catatan Seorang Marsekal (2010) bahwa pada 2010 pesawat Hercules jenis C-120B juga mengalami kecelakaan di Wamena. Empat ban pesawat copot; satu ban mendarat di sebuah rumah dan melukai satu orang penghuni. Setahun sebelumnya, indikasi buruknya peralatan TNI AU juga sudah terlihat saat ban pesawat Hercules pecah ketika mendarat. Pembenahan alutsista TNI AU ini, menurut Chappy, penting untuk diselesaikan.
“Walaupun tidak menelan korban jiwa, insiden Hercules TNI Angkatan Udara itu sesungguhnya memberi peringatan tentang sebuah persoalan yang amat serius, yaitu ketertinggalan Indonesia dalam hal peralatan militer,” tulis Chappy.
Jika AL hanya mendapat sedikit kesempatan menduduki pucuk pimpinan TNI, maka AU lebih nahas lagi. Marsekal Djoko Suyanto dari TNI AU memang pernah menjadi Panglima TNI, itu pun kurang dari dua tahun. Setelah Djoko Suyanto, tak ada lagi perwira-perwira dari angkatan yang harusnya menguasai angkasa Nusantara itu menduduki kursi Panglima TNI hingga 2017.
Djoko Suyanto digantikan Djoko lain dari Angkatan Darat: Djoko Santoso (2007-2010). Setelah itu Laksamana Agus Suhartono dari Angkatan Laut jadi panglima TNI (2010-2013). Lalu disusul Jenderal Moeldoko dari Angkatan Darat (2013-2015).
Bila mengacu pada urutan tak resmi di atas, jabatan Panglima TNI seharusnya dipegang AU pada 2015. Tetapi Jokowi mengangkat Jenderal Gatot Nurmantyo dari AD. Chappy Hakim, seperti dikutip Merdeka, merasakan ketidakadilan ini.
"Puluhan tahun keberadaan AU tidak dihargai sama sekali di negeri ini. Mungkin memang lebih baik dibubarkan saja daripada terjadi degradasi moral anggotanya," kicau sang marsekal melalui akun Twitter-nya pada 2015.
Pada 2017 angin segar akhirnya datang untuk TNI AU. Marsekal Hadi Tjahjanto berhasil menjadi Panglima TNI hingga sekarang. Namun merujuk kembali pada komposisi anggaran, TNI AU masih saja tak mendapat kepercayaan mengelola dana besar. Satu-satunya yang bisa dilakukan Prabowo untuk menambah anggaran TNI AU adalah saat APBN-Perubahan mendatang. Karena bagaimanapun, reformasi TNI masih belum selesai.
Editor: Ivan Aulia Ahsan