tirto.id - Prabowo Subianto bergaul dengan kalangan pembesar sejak kecil. Ia lahir dari keluarga aristokrat, sekolah di Akabri, dan pernah menjadi menantu presiden. Tahun ini, ketika ditunjuk sebagai Menteri Pertahanan, ia makin membuktikan dirinya adalah bagian dari kelompok elite.
Sewaktu menjadi calon presiden pada Pemilu 2014 dan 2019, Prabowo kerap menggunakan retorika populis untuk menggalang dukungan. Sampai sekarang, retorika itu masih abadi sebagai retorika.
Beberapa pidato Prabowo kerap menyinggung elite yang akrab dengan budaya menyogok dan bergaya memakai mobil mewah. Meski tak menyinggung kriteria elite yang dimaksud, rakyat, yang menurutnya berada di luar lingkaran elite itu, acap kali menjadi korban kebohongan.
"Rakyat Indonesia dianggap bodoh oleh elite, kalian semua dianggap bodoh, mudah dibohongi, semua pemimpin kita dan semua lapisan bisa disogok, ya begitu," kata Prabowo seperti dikutip CNNpada April 2019.
Prabowo tidak menyangkal dirinya juga termasuk elite. Pada debat kelima Pilpres 2019 Prabowo menegaskan fakta itu kepada publik. Namun, menurut Prabowo, di antara elite yang jumlahnya hanya satu persen dari populasi Indonesia, dia termasuk elite yang “sadar”. Ketua Umum Partai Gerindra itu lantas mendapuk dirinya sendiri sebagai elite yang bersama rakyat.
"Jangankan harta, jiwa dan raga saya berikan untuk bangsa. Saya bagian satu persen, tapi satu persen yang cinta Tanah Air, patriotik membela rakyat Indonesia," tutur Prabowo.
Retorika Prabowo yang mengutamakan rakyat tidak hanya sebatas itu. Pada kesempatan lain, di hadapan petani, mantan Danjen Kopassus ini bersumpah tak akan berhenti berjuang sampai mereka bisa tersenyum puas.
“Saya bersumpah kepada kaum petani Indonesia. Saya bersumpah saya tidak akan istirahat sebelum petani-petani kita bisa tersenyum setelah panen. Ini perjuangan kita semua. Selama saudara semua belum mendapatkan keadilan dan makmur, saya tidak akan istirahat," kata Prabowo seperti dilansir Detik pada Februari 2019.
Populisme Sayap Kanan Prabowo
Diego Fossati dari Universitas Nasional Singapura dan Marcuz Mietzner dari Universitas Nasional Australia mencatat populisme di Indonesia tidak hadir dari ruang kosong. Dia sudah mengakar sejak era kepemimpinan presiden pertama Indonesia, Sukarno.
Saat berorasi, Sukarno memakai narasi populisme dasar. Ia banyak membicarakan penderitaan rakyat yang disebabkan oleh imperialisme dan kolonialisme. Menurut Fossati dan Mietzner, penganut gaya Sukarno ini, salah satunya, adalah Prabowo.
“Penampilan Prabowo dan strateginya mengadopsi gaya populisme di antara kritik kerasnya kepada para elite (yang ironisnya adalah kaum Prabowo juga) dan klaim mewakili rakyat,” tulis Fossati dan Mietzner dalam makalah bertajuk "Analyzing Indonesia’s Populist Electorate: Demographic, Ideological, and Attitudinal Trends" yang dimuat di jurnal Asian Survey (September/Oktober 2019).
Namun apakah memang Prabowo populis?
Pada praktiknya, Fossati dan Mietzner menemukan dukungan dari kaum populis tidak berpusat pada Prabowo. Saat Pilpres 2019, Joko Widodo, pesaing Prabowo, juga mendapat sokongan dari kelompok populis.
Prabowo, yang memperoleh dukungan dari kelompok islamis, tidak bisa dikatakan mewakili kaum populis seutuhnya. Selain kelompok agama adalah turunan dari populisme, mereka juga memilih Prabowo hanya dengan pertimbangan: lebih baik daripada Jokowi, bukan karena Prabowo benar-benar populis.
Survei yang dilakukan beberapa lembaga menjelang Pilpres 2019 justru menunjukkan Prabowo mengungguli Jokowi di kalangan pemilih dari kelompok elite. Pria yang gagal tiga kali sebagai presiden itu unggul di kalangan terpelajar, seperti lulusan pendidikan tinggi dan dosen.
Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia Denny Januar Ali (LSI Denny JA) menunjukkan 45,4 persen kalangan terpelajar memilih Prabowo-Sandi dan hanya 36,1 persen yang memilih Jokowi-Ma’ruf Amin pada Februari 2019. Lembaga survei Konsep Indonesia (KonsepIndo) mencatat perolehan 42,1 persen, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) 42,5 persen, Litbang Kompas 46,1 persen, dan Indikator Politik Indonesia 58,9 persen. Seluruhnya dilakukan di antara tiga bulan pertama 2019.
CSIS juga mendapatkan kecenderungan pemilih Prabowo-Sandiaga berasal dari kalangan guru dan pegawai negeri sipil. Sedangkan rakyat kecil yang ingin diperjuangan Prabowo dengan konsep populismenya, seperti nelayan dan petani, justru lebih memilih Jokowi. Hasil survei IndoBarometer menunjukkan hal serupa.
“Analisis-analisis kami menjadi berguna, melihat ada kontradiksi yang terjadi di mana Prabowo yang mau menarik rakyat miskin, ternyata malah menarik kaum urban dan terpelajar,” tulis Fossati dan Mietzner.
Peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan & Kebudayaan LIPI, Ibnu Nadzir, berpendapat serupa tentang gaya kampanye Prabowo. Ibnu menyamakan Prabowo dengan politikus kaliber dunia macam Donald Trump, Jair Bolsonaro, dan Rodrigo Duterte yang berhasil menjadi pemimpin negara dengan menggunakan narasi “populisme kanan.”
Dalam kolomnya di media ini, Ibnu mengindikasikan salah satu penyebab Prabowo sebenarnya tidak sepopulis perkataannya. Kritik dari masyarakat mengatakan Prabowo sendiri adalah bagian dari elite oligarki Indonesia. Prabowo juga menggembar-gemborkan bakal menolak pengaruh asing, sementara di sektor bisnis pribadinya ia tampak sangat akrab dengan dunia internasional.
Namun hal itu tidak menjadi halangan Prabowo untuk tetap mengusung konsep yang populis. Nyatanya, pemimpin populisme sayap kanan, menurut Ibnu, tidak dipilih karena hidupnya sesuai dengan konsep populisme, tapi mereka dianggap bisa membawa gagasan tersebut.
“Mereka dipilih karena gagasan yang dikemukakannya bergema dengan imajinasi sejumlah besar pemilih mengenai permasalahan bangsa,” catat Ibnu.
Temuan Fossati dan Mietzner sebenarnya makin menegaskan pendapat Mietzner sebelumnya. Pada 2014 Mietzner menulis paper bertajuk "Reinventing Asian Populism: Jokowi's Rise, Democracy, and Political Contestation in Indonesia"yang menyimpulkan bahwa Prabowo justru lebih disukai elite. Hal ini hampir tidak berubah selama lima tahun.
"Faktor kedua kemenangan Jokowi [pada Pilpres 2014] adalah pentingnya identitas kelas yang menentukan perilaku pemilih," catat Mietzner.
Hanya saja penelitian Fossati dan Mietzner kali ini berhasil melihat alasan mengapa tren sikap kaum populis itu terjadi. Narasi ekonomi yang dibawa Prabowo bukanlah alasan yang mampu membuat rakyat memilihnya. Kaum populis—dalam hal ini golongan islamis—cenderung lebih tertarik pada agenda keagamaan daripada isu ekonomi yang diusung Prabowo.
"Dalam konteks Indonesia, populisme tidak menyelesaikan masalah ekonomi dan masa depan perekonomian masyarakat," catat Fossati dan Mietzner.
Elite Merasa Aman dengan Prabowo
Menurut Fossati dan Mietzner, menempelnya elite pada Prabowo tak lepas dari kedudukan dia sebagai mantan perwira tinggi militer. Bagaimanapun juga, golongan elite sangat bergantung pada stabilitas dan keamanan.
Isu-isu tentang kegelisahan rakyat jelata yang dibawa Prabowo, juga bahan kampanye tentang banjir pekerja dari Cina dan intervensi asing, sebenarnya justru menguntungkan kelompok menengah dan elite.
Kelas menengah dan elite butuh pemimpin yang kuat untuk bisa membereskan protes-protes yang muncul dari kelas di bawah mereka. Karena Prabowo menampilkan diri sebagai saluran kegelisahan rakyat bawah, maka dia lah orang yang dianggap bisa memahami protes-protes mereka. Hal yang sama berlaku di Filipina, di mana Duterte bermaksud membereskan kejahatan narkotika dengan cara yang sangat represif. Kelompok yang paling mendapat keuntungan dari kebijakan brutal Duterte adalah kelas menengah dan elite.
“Sebagai contoh, kebijakan Duterte yang membunuh kriminal. Ini merupakan wujud dari melayani permintaan kaum kelas menengah,” tulis Fossati dan Mietzner.
Makin kentaranya narasi populis Prabowo sebagai retorika belaka terbukti saat dia menerima pinangan Jokowi untuk menjadi Menteri Pertahanan di Kabinet Indonesia Maju. Sebagai menteri, Prabowo kali ini bertindak sebagai perpanjangan tangan elite—selain menjadi bagian dari elite itu sendiri.
Majalah Economist mencatat para politikus Indonesia, tidak terkecuali Jokowi, sengaja menggunakan kelompok militer (purnawirawan, perwira aktif, bahkan institusi TNI) untuk menjadi perpanjangan tangan kebijakannya. TNI, bagaimanapun juga, punya kelebihan dalam mobilisasi pasukan di seluruh Indonesia. Dengan kelebihan itu, pemerintah pusat bisa menjalankan kebijakan di daerah dengan mudah dalam pengawasan TNI.
Masalahnya, siapa yang terdampak jika pemerintah menggunakan orang militer untuk menjalankan kebijakan yang barangkali diprotes masyarakat setempat? Malangnya, mereka adalah rakyat kelas bawah yang seharusnya menjadi objek perjuangan Prabowo. Dalam beberapa kasus, petani malah menjadi sasaran aparat TNI mendaratkan bogem mentah.
Sementara Prabowo dan Jokowi bisa tenang. Setelah keduanya berdamai, situasi politik dan keamanan yang relatif tenang ini memperkuat visi Jokowi untuk membuka keran investasi lebih besar. Siapa lagi yang mendapat keuntungan kalau bukan elite yang dulu mati-matian ditolak Prabowo?
Pada kolom opininya, Ibnu Nadzir menuliskan, "Dalam Populism in Southeast Asia, Paul D. Kenny (2019) mencatat dua kelompok besar dalam perdebatan seputar populisme. Kelompok pertama melihat populisme sebagai ideologi yang biasanya ditandai penolakan terhadap kemapanan institusi tradisional. Kelompok kedua melihat populisme sebagai strategi mobilisasi politik."
Barangkali memang di kelompok kedua lah Prabowo berdiri.
Editor: Ivan Aulia Ahsan