Menuju konten utama

PR Berat Jokowi Kejar Target Pertumbuhan Saat Ekonomi Melambat

Ekonom dari UI Fithra Faisal mengatakan, upaya pemerintah untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi di kuartal III bakal semakin sulit.

PR Berat Jokowi Kejar Target Pertumbuhan Saat Ekonomi Melambat
Presiden Joko Widodo (ketiga kiri) didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla (ketiga kanan) memimpin rapat kabinet terbatas di Kantor Presiden Jakarta, Senin (15/7/2019). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

tirto.id - Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama semester I-2019 tercatat hanya mencapai 5,06 persen atau mengalami perlambatan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya--yakni 5,17 persen. Capaian ini menjadi PR (pekerjaan rumah) berat bagi pemerintah Joko Widodo atau Jokowi.

Pasalnya, Produk Domestik Bruto (PDB) yang jadi motor pertumbuhan ekonomi domestik justru jauh lebih rendah dibandingkan tahun lalu. Pada periode Mei-Juni 2018, laju PDB masih berada pada posisi 5,21 persen, sementara pada kuartal lalu, hanya bertengger di posisi 5,05 persen.

Capaian tersebut juga lebih buruk ketimbang periode Januari-Maret 2019 yang berbeda di posisi 5,07 persen. Bahkan, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), laju PDB pada kuartal II lalu merupakan yang terendah sejak 2017. Padahal, di tahun ini, outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran 5,3 persen.

Meski demikian, kondisi ini sebenarnya sudah diprediksi oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Perlambatan ekonomi domestik yang terjadi pada triwulan pertama, membuat pemerintah memangkas proyeksi pertumbuhan menjadi 5,2 persen.

Jika menilik data BPS, penyebabnya adalah realisasi investasi yang anjlok sepanjang semester I/2019. Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang merupakan indikator investasi hanya mampu tumbuh 5,01 persen--melemah jika dibandingkan periode tahun lalu yang mampu tumbuh 5,85 persen.

Sinyal perlambatan investasi juga telah terlihat dari realisasi investasi BKPM yang hanya mencapai Rp200,5 triliun atau naik 2,8 persen dibandingkan kuartal I/2019. Kendati demikian, nilainya masih jauh dari target Rp792 triliun hingga akhir tahun mendatang.

Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan bahwa melesetnya pertumbuhan ekonomi kuartal II/2019 dari target 5,12 persen juga disebabkan oleh penurunan ekspor dan yang cukup dalam.

Ekspor dan impor terkontraksi masing-masing sebesar 1,86 persen dan 6,73 persen. Kondisi ini, menurut Kepala BPS Suhariyanto, tak lepas dari perlambatan perekonomian global.

Penurunan ekspor terutama terjadi pada komoditas migas yang pertumbuhannya tercatat minus 30,85 persen. Padahal di periode yang sama tahun lalu, ekspor migas masih tumbuh 4,8 persen. Ekspor non-migas masih mampu tumbuh positif 2,17 persen, tapi masih lebih rendah ketimbang periode Mei-Juli 2018 yang mencapai 8,51 persen.

Hal serupa juga terjadi pada ekspor jasa yang cuma bisa tumbuh 0,27 persen atau lebih rendah dibandingkan kuartal II tahun lalu yang sebesar 4,62 persen.

Adapun penurunan impor terjadi hampir di semua komponen, baik barang maupun jasa.

“Tahun lalu, walaupun ekspor melambat, tapi impor naik. Kalau impor naik dan itu memperlihatkan pergerakan ekonomi. Sekarang impor negatif dan dampaknya ke pertumbuhan ekonomi cukup langsung," ucap Darmin di kantornya, Senin (5/8/2019).

Meski demikian, konsumsi rumah tangga masih tumbuh positif yakni 5,17 persen, atau naik tipis ketimbang periode yang sama tahun lalu. Konsumsi pemerintah dan Konsumsi Lembaga Non-profit Rumah tangga (LNPRT), meski sumbangsihnya tak begitu besar, tapi masing-masing masih tumbuh 8,23 persen dan 15,27 persen.

Keduanya masih tumbuh lebih tinggi ketimbang periode sama tahun sebelumnya yang berada di posisi 5,20 persen dan 8,75 persen.

Kuartal III Lebih Berat

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi mengatakan, upaya pemerintah untuk mengejar target pertumbuhan di kuartal III bakal semakin sulit.

Sebab, kata Fithra, meski konsumsi rumah tangga masih cukup solid, 20 persen masyarakat golongan teratas cenderung bakal menahan konsumsinya sebagai respons atas ketidakpastian ekonomi ke depan.

Selama ini, menurut Fithra, konsumsi hanya ditopang oleh 40 masyarakat yang masuk ke dalam golongan menengah ke bawah, yakni melalui kebijakan pemerintah berupa penyaluran dana bansos dan kenaikan gaji pegawai.

“Konsumsi memang masih bisa tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi karena ada Pemilu, Bansos, THR dll tumbuh. Tapi ke depan enggak bisa mengandalkan sisi konsumsi," ucapnya ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa (6/8/2019).

Karena itu, kata dia, jika tidak ada faktor pendorong khusus, maka pertumbuhan ekonomi hanya akan ditopang oleh belanja pemerintah dan akan mengalami percepatan di tiga bulan terakhir tahun ini.

Menurut Fithra, untuk mempercepat laju ekonomi, pemerintah harus segera membenahi masalah rendahnya produktivitas domestik. Dengan produktivitas yang tinggi diharapkan bisa mendorong investasi, kinerja industri manufaktur, dan ekspor.

"Maksimal 5,12 persen. Nah, bagaimana bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi, kita harus bisa mendongkrak produktivitas dalam negeri yang berdampak pada kinerja ekspor. Ekspor, kan, buah juga dari investasi yang berorientasi ekspor. Ini, kan, rendah dan relatif tertahan dalam beberapa tahun,” kata Fithra.

Sementara itu, Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, Sri Sulistiawati mengatakan, tren pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal lalu bertolak pada peak season yang terjadi pada Ramadan dan idulfitri.

Sehingga, kata Sri, agak berat bagi pemerintah untuk mengkatrol pertumbuhan ekonomi di kuartal III dan IV lebih tinggi ketimbang kuartal sebelumnya.

“Mudah-mudahan Natal dan tahun baru konsumsinya bisa lebih tinggi ketimbang idulfitri,” kata dia berharap.

Baca juga artikel terkait PERTUMBUHAN EKONOMI atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz