tirto.id - Baru-baru ini, Katadata Insight Center (KIC) merilis Investor Confidence Index kuartal II/2019 yang menggambarkan ekspektasi investor terhadap kondisi perekonomian, pasar keuangan, serta postur kabinet pemerintahan Jokowi-Ma'ruf mendatang.
Survei yang melibatkan 260 pengelola dana investasi itu menunjukkan adanya keinginan sebagian besar investor institusi agar menteri di sektor ekonomi dalam kabinet mendatang didominasi kalangan profesional murni.
Para pengelola dana investasi yang menjadi responden survei berasal dari perusahaan manajemen investasi, dana pensiun dan asuransi dengan nilai dana kelolaan mencapai Rp700 triliun.
"Sebanyak 65% investor institusi yang diwawancara menilai, tim ekonomi kabinet yang ideal sebagian besar harus berasal dari kelompok profesional murni," kata CEO Katadata Metta Dharmasaputra dalam keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto, Kamis (25/7/2019).
Hanya 3% investor institusi yang menghendaki tim ekonomi di kabinet mendatang didominasi figur politikus. Sementara 35% lainnya menganggap komposisi tim ekonomi di kabinet Jokowi-Ma'ruf yang ideal adalah jika jumlah figur profesional dan politikus di dalamnya berimbang.
"Jika Jokowi ingin berlari cepat dalam lima tahun mendatang sesuai visinya, maka tim ekonomi kabinet sebagai penggeraknya harus sangat kapabel dan solid. [...] Karena itu, harus diisi oleh para teknokrat yang profesional," lanjut Metta.
Sudah Lama Diingatkan
Dorongan agar kementerian di pos ekonomi didominasi kalangan profesional sebenarnya bukan barang baru. Ekonom Senior dari Institue for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri, sempat menyebut menteri dari parpol adalah penghambat gerak pemerintah dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Faisal mencontohkan Enggartiasto Lukita, Menteri Perdagangan yang juga politikus Partai Nasional Demokrasi (Nasdem). Dalam sebuah tulisan di blogsite pribadinya, ia mengkritisi pemberian importasi besar-besaran yang dilakukan Enggartiasto, karena tak memperhatikan stok dalam negeri.
Dalam kasus gula, misalnya. Faisal menyebut obral lisensi impor raw sugar yang menjadi bahan baku untuk menghasilkan gula rafinasi di dalam negeri melampaui kebutuhan industri makanan dan minuman. Ini tampak dari jumlah impor gula pada 2016 hingga 2018, setelah Enggar berkantor di Medan Merdeka Timur, Kementerian Perdagangan.
Berdasarkan data BPS hingga Desember 2018, imporraw sugar sudah mencapai 4,92 juta ton, rekor tertinggi baru untuk impor gula. Lebih tinggi ketimbang 2016 yang tercatat sebesar 4,59 juta ton dan Tahun 2017 yang sebesar 4,37 juta ton.
Sementara itu, kebutuhan gula rafinasi untuk Industri di tahun itu, berdasarkan data Kementerian Perindustrian, hanya sebesar 2,6 juta ton. Selisih tersebut diduga kuat mengalirkan gula ke pasar dan jadi barang konsumsi masyarakat, padahal sesuai ketentuan, gula rafinasi hanya boleh dijual ke produsen industri makanan dan minuman.
Faisal Basri juga menyebut margin jumbo dari penjualan gula itu diduga dinikmati para politikus dan pengusaha yang terlibat dalam impor.
"Dengan harga eceran tertinggi Rp12.500 per kilogram yang ditetapkan oleh pemerintah, tentu saja keuntungan yang diraup sangat menggiurkan, karena selisih harga eceran di dalam negeri dengan harga dunia rata-rata mencapai tiga kali lipat," tulisnya.
Pilih Profesional atau Akademisi
Temuan survei KIC dan analisis Faisal Basri diamini dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Indonesia, Faisal Fithra Hastiadi. Ia juga meminta pos-pos menteri perekonomian diisi profesional atau akademisi.
Pemilihan Menteri yang berasal dari partai, menurutnya, memang berpotensi menghambat kerja-kerja pemerintah karena rawan konflik kepentingan.
"Penting untuk Jokowi tidak hanya mempertimbangkan kembali menteri yang berasal dari partai politik, tetapi menempatkan orang pada tempat yang tepat," kata dia saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (26/7/2019).
Faisal mencontohkan Kementerian Industri, yang saat ini dipunggawai Airlangga Hartarto dari Golkar, juga tak banyak mengalami perubahan. Untuk mendorong ekspor, Airlangga dinilai terlalu muluk lantaran mematok target nett ekspor industri 10 persen terhadap PDB dalam peta jalan Making Indonesia 4.0 2020-2030.
Akhir Maret lalu saja, kinerja ekspor non-migas Indonesia hanya tercatat 12,93 miliar dolar AS, atau naik 13 persen dari Februari yang sebesar 11,44 miliar dolar AS. Namun, capaian ekspor non-migas sepanjang Januari hingga Maret itu masih jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2018 yang tercatat mencapai 40,22 miliar dolar AS.
Berdasarkan data BPS, ekspor non-migas triwulan pertama 2019 terkoreksi 7,83 persen menjadi 37,07 miliar dolar AS. Melihat kinerja yang masih loyo awal tahun, Direktur Penelitian Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai target ekspor non-migas yang dipatok tumbuh 7,5 persen tahun ini tak akan tercapai.
Di samping itu, kinerja manufaktur dalam negeri untuk menopang ekspor non-migas juga masih lesu. Tekanan global dan domestik itu, menurut Faisal, seharusnya bisa diperhitungkan pemerintah sehingga tidak terlalu muluk dalam mematok target.
"Boleh saja punya optimisme lebih tinggi, tapi lihat juga realitasnya. Belum lagi kebijakan restriktif kelapa sawit Uni Eropa. Pembenahan manufaktur juga belum berprogres, terus daya dorongnya apa kalau bukan manufaktur?" imbuhnya.
Oleh karena itu, ia berharap Jokowi memilih menteri yang mampu membenahi peningkatan kinerja dan daya saing ekspor Indonesia, apalagi ekspor Indonesia ke hampir semua negara tujuan utama terkoreksi pada tahun ini.
Pada akhir triwulan I/209 itu, BPS mencatat hanya tiga dari 13 negara tujuan utama ekspor yang tercatat mengalami pertumbuhan sepanjang triwulan 1, yakni Thailand, Korea Selatan dan Taiwan.
Nilai ekspor non-migas masing-masing negara itu tumbuh sebesar 9,38 persen, 7,58 persen dan 28,81 persen dibandingkan Januari-maret 2018. Ekspor ke Thailand mencapai 3,11 miliar dolar AS, sementara Korea Selatan sebesar 1,75 miliar dolar AS dan Taiwan mencapai 869 juta dolar AS.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Mufti Sholih