tirto.id - Perang Dagang Amerika Serikat (AS)-China belakangan berlanjut pada currency war (perang pada mata uang).
China membiarkan kurs mata uangnya, Yuan melemah siginifikan terhadap Dolar AS agar mampu menumbuhkan ekspor di tengah tekanan bea masuk yang dilancarkan pemerintahan Donald Trump.
Devaluasi mata uang yuan dilakukan China guna menjaga barang-barang ekspornya tetap kompetitif di tengah makin tingginya tarif yang dikenakan oleh AS.
Senin kemarin, mata uang Yuan jatuh 1,4 persen dan melewati level 7 per dolar AS untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade. Berdasarkan data Bloomberg, pada pukul 14.30 WIB hari ini, nilai tukar Yuan masih berada di kisaran 7,036 per Dolar AS.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution pun angkat bicara mengenai perkembangan perang dagang AS-China tersebut.
Menurut dia, pelemahan Yuan dimungkinkan karena Bank Sentral China tak menganut mekanisme pasar dalam menetapkan nilai tukar mata uangnya. Bank Sentral China menerapkan mekanisme fixed manageable exchange rate.
"Ya pokoknya buat barang China jadi lebih murah buat dijual di AS. [Agar] Ketika dikenakan bea masuk, dampaknya enggak besar," ujar Darmin di kantornya, Jakarta Selasa (6/8/2019).
Namun, menurut Darmin, pelemahan Yuan yang drastis akan menyulitkan negara-negara eksportir lain, termasuk Indonesia.
Pasalnya, untuk menjaga ekspor tetap berdaya saing, negara lain juga perlu untuk melemahkan nilai tukar mata uangnya.
"Masalahnya ketika Yuan melemah itu banyak negara ikut melemah. Jadi seperti apa, ya, kita enggak tahu ini polanya, kita lihat nanti seperti apa," ujar Darmin.
Hingga saat ini, Darmin mengaku belum bisa memprediksi sampai kapan pelemahan Yuan terjadi. Meski demikian, ia belum terlalu risau dengan dampaknya terhadap ekspor Indonesia jika Rupiah tidak ikut melemah.
"[Mata uang] berbagai negara melemah itu ada yang dihitung baik-baik dengan pemain pasar, enggak ada yang sembarangan saja. Jadi ada adjustment-nya, tapi seberapa jauh ya tergantung negara masing masing," kata Darmin.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Addi M Idhom