tirto.id - Sebelum Joko Widodo dilantik sebagai Presiden ke-7 Indonesia 2014 silam, ia pernah berjanji akan menghentikan impor pangan agar petani lebih semangat bekerja. Namun kenyataannya, impor terus mengalir deras selama lima tahun terakhir.
Impor yang dicap ugal-ugalan tersebut agaknya belum akan berhenti. Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto ingin pajak pertambahan nilai (PPN) untuk impor biji kakao jadi nol persen agar volume impor membesar.
Dengan demikian, kata Airlangga, kekurangan pasokan biji kakao dalam negeri untuk kebutuhan industri pengolahan bisa tertutupi.
“Kami ingin nol-kan PPN kakao. PPN tidak dihapus, tetapi tarifnya nol. Ini bisa mendorong daya saing industri. Karena di era free trade ini, negara-negara ASEAN sudah nol tarifnya,” ucap Airlangga.
Alasan Menperin juga didukung Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo). Menurut Ketua Umum Askindo Arie Nauvel Iskandar, rata-rata pasokan biji kakao lokal sekitar 250 ribu-260 ribu ton per tahun.
Dari jumlah tersebut, sekitar 12 ribu ton dialokasikan untuk keperluan ekspor. Artinya, hanya ada sekitar 238 ribu-248 ribu ton yang tersedia untuk diserap industri.
Jumlah itu jauh dari ideal lantaran hanya memenuhi 50 persen dari total kebutuhan industri.
"Ini kan permasalahannya adalah karena biji yang kurang. Enggak ada bijinya. Memang tidak ada raw material-nya kemudian kami impor,” kata Arie kepada reporter Tirto, Rabu (18/09/2019).
Selisih yang besar antara pasokan dan kebutuhan kakao pada akhirnya membuat pengusaha meminta relaksasi impor kakao. Dengan insentif fiskal itu, industri siap berproduksi lebih besar pada tahun-tahun mendatang.
Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) juga mendukung usulan Menperin. Menurut Ketua Umum AIKI Pieter Jasman, kapasitas terpasang industri pengolahan kakao nasional saat ini sudah mencapai 800 ribu ton.
Dari total kapasitas tersebut, Pieter menghitung sedikitnya butuh tambahan 400 ribu ton biji kakao untuk menutupi kekurangan pasokan dalam negeri, dan membuat industri pengolahan bisa berproduksi maksimal.
“Industri kakao nasional masih perlu mengimpor sekitar 50 persen (400 ribu ton) dari utilisasi industri atau bahkan lebih jika utilisasi industri mau meningkat,” kata Pieter kepada reporter Tirto.
Dinilai Berlebihan
Namun usulan Menperin ditentang Riset Perkebunan Nusantara (RPN). Menurut Soetanto Abdullah, anggota tenaga ahli dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia RPN, usulan PPN impor kakao nol persen terlalu berlebihan.
Soetanto mengakui produksi biji kakao dalam negeri menurun karena kemarau panjang yang melanda sentra-sentra produksi kakao seperti Sulawesi, Flores, dan Jawa Timur.
“Kemarau diprediksi sampai Desember. Daerah Aceh, Sumatera Barat, Lampung, dan Papua mudah-mudahan normal karena musim panen yang akan datang itu November-Desember,” kata Soetanto yang juga mantan Ketua Dewan Kakao Indonesia.
Meski begitu, lanjut Soetanto, penurunan produksi biji kakao seharusnya jangan serta merta memunculkan wacana PPN nol persen bagi impor kakao. Idealnya, impor PPN diturunkan saja di kisaran 2-5 persen.
“Zero tariff seharusnya tidak diterapkan, karena bisa memicu ketidakpuasan petani. Saya juga khawatir Indonesia justru kebanjiran kakao impor, dan membuat harga kakao lokal jatuh dan memukul petani,” tambahnya.
Sejak 2015 hingga tahun lalu, tren impor biji kakao meningkat drastis. Berdasarkan data trademap, nilai impor biji kakao hanya sebesar 170 juta dolar AS pada 2015. Namun tahun lalu, angkanya melesat hingga 213 persen menjadi 523 juta dolar AS.
Memperlebar Defisit Neraca Dagang?
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira juga sependapat dengan RPN. Menurutnya, usulan PPN nol persen berpotensi membuat petani ogah berproduksi dan Indonesia terhadap kian bergantung pada impor.
Belum lagi, neraca perdagangan Indonesia saat ini juga masih buruk. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia masih defisit 1,81 miliar dolar AS sampai Agustus 2019.
“Akhirnya nanti pemain di hulu semakin berkurang, ketergantungan impornya akan semakin meningkat. Defisit perdagangan kita yang justru di momen seperti sekarang harusnya ditekan, malah memperlebar defisit perdagangan," kata Bhima.
Padahal, lanjut Bhima, sebenarnya ada banyak jalan yang bisa ditempuh pemerintah. Mulai dari mendorong kemitraan dengan produsen cokelat hingga peningkatan produksi petani lokal melalui kemudahan kredit usaha.
“Petani perlu difasilitasi dari bantuan pupuk, benih berkualitas, sertifikasi bebas hama dan lainnya. Itu yang seharusnya bisa dilakukan pemerintah, dan tidak melulu terjebak dengan ‘jalan pintas’ impor,” jelas Bhima.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Ringkang Gumiwang