tirto.id - Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) menjadi salah satu penyumbang terbesar produksi kakao nasional. Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulteng menyebutkan adanya tren kenaikan produksi kakao selama periode 2010 sampai dengan 2015. Produksi tanaman kakao pada 2010 baru sekitar 138.300 ton, meningkat lagi menjadi 160.859 ton (2011) dan pada 2012 sudah mencapai 181.523 ton.
Pada 2013 meningkat lagi menjadi 195.846 ton dan 2014 naik menjadi 208.485 ton. Pada 2016 ini diperkirakan meningkat menjadi 250.000 ton.
"Dan kakao yang dihasilkan petani Sulteng laku keras di pasar internasional,", kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulteng, Abubakar Almahdali di Palu, Jumat (25/11/2016).
Abubakar berujar, sesuai data ekspor Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulteng, realisasi ekspor kakao Sulteng pernah menyumbangkan devisa sebesar 300 juta dolar AS.
Menurutnya pula biji kakao produksi petani Sulteng sangat cocok untuk bahan baku cokelat karena kualitas bagus dan harum sehingga konsumen luar negeri cukup meminatinya.
Namun demikian, kata dia, Sulteng sampai sekarang ini belum ada pabrik cokelat, padahal kaya akan bahan bakunya. Sekarang yang ada baru industri-industri kecil pengolahan cokelat.
Menurut dia, sudah saatnya di Sulteng dibangun industri cokelat yang besar untuk menampung seluruh hasil produksi petani kakao di 13 kabupaten dan kota di Provinsi Sulteng.
Dua hari lalu, bertepatan dengan Hari Cokelat Nasional, Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian, Panggah Susanto di Plasa Kemenperin, Jakarta berjanji pemerintah akan mendorong hilirisasi industri berbasis kakao melalui pembentukan unit-unit pengolahan industri kakao di sentra pengolah biji kakao. Ikhtiar ini, katanya, untuk menumbuhkan wirausaha baru skala kecil dan menengah.
"Dukungan berupa bantuan mesin dan peralatan pengolahan kakao di daerah penghasil biji kakao sejak 2012 sudah dilakukan di Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara," kata Panggah, Selasa (22/11).
Guna mendukung upaya ini, Panggah menyebut, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan Bea Keluar melalui keputusan Menteri Keuangan No. 67/PMK.011/2010. Dengan kebijakan tersebut, pemerintah berharap pasokan kakao untuk industri di dalam negeri makin besar dan kualitasnya makin baik.
Panggah mengklaim kebijakan tersebut dinilai telah mampu mendukung program hilirisasi kakao, di mana pemberlakuan Bea Keluar untuk biji kakao telah berdampak pada penurunan ekspor biji kakao. Ia menyebutkan pada 2013, sebesar 188.420 ton menurun sebesar 63.334 ton pada 2014 serta menurun kembali pada tahun 2015 sebesar 39.622 ton.
Sebaliknya, volume ekspor produk olahan kakao meningkat dari 2013 sebesar 196.333 ton, naik pada 2014 menjadi 242.080 ton dan pada 2015 mencapai 287.192 ton.
"Program hilirisasi industri berbasis kakao telah berhasil menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia dengan membangun pabrik kakao serta mendorong ekspansi kapasitas produksinya," ujarnya.
Sumber: diolah dari Antara
Penulis: Agung DH
Editor: Agung DH