Menuju konten utama

Hikayat di Balik Nikmatnya Cokelat

Produksi kakao di Indonesia stagnan dan cenderung menurun padahal kebutuhan dunia terhadap bahan utama coklat ini tinggi. Di sisi lain, Indonesia belum memaksimalkan potensi kakao sebagai bahan komoditas ekspor, terbukti dengan tidak adanya pengakuan dari Eropa.

Hikayat di Balik Nikmatnya Cokelat
Warga menunjukkan kakao hasil perkebunan setempat di Desa Ulo, Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi, Sulawesi tengah. Antara foto/Basri Marzuki

tirto.id - Amerika Serikat menetapkan Hari Cokelat Internasional setiap 13 September. Penentuan tanggalnya diambil berdasarkan tanggal lahir Milton S Hersey, seorang filantropis dan pendiri Hershey Chocolate Company. Beda lagi di Eropa. Hari Cokelat Dunia diperingati setiap 7 Juli dan ditetapkan sejak tahun ini guna memperingati diperkenalkannya cokelat ke benua biru 466 tahun lalu.

Meski berbeda dalam menentukan hari perayaan konsumsi cokelat, baik Amerika dan Eropa sama saja: keduanya menjadikan cokelat seolah-olah milik mereka. Amerika dan Eropa memang punya kebiasaan macam itu, padahal cokelat dunia dihasilkan oleh tetangga-tetangga Didier Drogba di Pantai Gading, saudara setanah air Asamoah Gyan di Ghana, atau sanak famili si Firman Utina di Sulawesi Utara, Indonesia.

Pantai Gading disebut-sebut sebagai penghasil cokelat terbesar di dunia, produktivitasnya pada 2014/2015 silam mencapai 1.796 metrik ton, Ghana 740 metrik ton, dan Indonesia 325 metrik ton. Demikian data menurut Statista.

Hari ini, ketiga negara berkembang itulah penyuplai lebih dari 3 juta ton biji kakao yang dibuat cokelat dalam ribuan varian makanan atau minuman kesukaan Anda.

Tanaman kakao bahan utama bubuk cokelat itu hanya tumbuh baik di daerah garis khatulistiwa, bukan di tanah Amerika Serikat atau Eropa. Tapi Eropalah—terutama Spanyol—yang membuat cokelat begitu istimewa dan bernilai ekonomi tinggi di hari ini. Patok sejarah cokelat itu mereka mulai ketika para penjelajah Spanyol menemukan “minuman para dewa” bangsa Maya di pedalaman Amazon sana pada setengah milenium silam.

Biji Kakao Terbaik Ada di Indonesia

Para penjelajah ini kemudian menyebarkan tanaman kakao ke tanah-tanah koloni di Afrika dan Asia. Sampailah kakao itu di Asia Tenggara. Mula-mula orang Spanyol menumbuhkannya di Filipina.

“Dari Filipina, kakao menyebar ke bagian selatan pulau itu yakni pulau Celebes, yang kini masuk wilayah Indonesia, setelah 1690, dan kemudian di Maluku,” jelas François Ruf di buku “Cocoa Cycles: The Economics of Cocoa Supply” (1995). Ruf seorang peneliti dari lembaga penelitian pertanian CIRAD Perancis.

Mula-mula di Nusantara, sebut Ruf, kakao dikembangkan orang-orang Eropa di Sulawesi Utara pada sekitar 1822 tapi itu masih dalam perkebunan skala kecil. Begitu juga di Halmahera dan Papua. Namun, para petani di sana kurang begitu tertarik.

Ketertarikan untuk mengembangkan kakao dihidupkan kembali beberapa tahun kemudian di Jawa. Pada 1888, MacGillvray, seorang pengelola tanaman kakao di Jatirunggo Semarang mencoba mengimpor kakao Criollo dari Venezuela dengan harapan bisa menumbuhkan kakao dengan citarasa Jawa. Usahanya belum berhasil. Kualitasnya lebih buruk dibanding varietas asli.

Upaya lain untuk mendorong maju kakao di Indonesia dimulai pada tahun 1912 ketika van Hall, direktur Institut untuk Studi Penyakit Tanaman dan Tanaman Komersial Belanda, mencoba menanam kakao pilihan untuk meningkatkan hasil panen di Jawa. Ia mempraktikkannya di Jatirunggo, Getasan, dan Asinan—belakangan bekas perkebunan Belanda ini dikelola oleh PTPN IX.

Tetapi usaha van Hall masih juga gagal pada saat itu. “Setelah mencapai rekor 25 ribu ton pada 1910, produksi menurun dan akhirnya stagnan sama sekali sampai Perang Dunia II, di mana kekuasaan Belanda di Hindia Timur berakhir,” terang Ruf.

Baru tiga dekade terakhir abad ke-20, dengan peningkatan populasi yang besar di banyak daerah pedesaan di mana kakao secara tradisional tumbuh, lahan dinilai lebih menguntungkan untuk dijadikan perumahan. Sementara petani sendiri memilih ini untuk menanam tanaman yang lebih menguntungkan seperti tembakau dan cengkeh.

Jika bukan karena karya-karya para petani Bugis di Sulawesi Tenggara dan belakangan keterlibatan pemerintah Orde Baru, Indonesia tidak akan menjadi produsen terbesar ke-3 kakao di dunia.

Tapi usaha van Hall pada awal abad 20 lalu tidak sepenuhnya sia-sia, kakao Jawa mengandung Criollo berkualitas tinggi, dan menghasilkan beberapa hasil nyata meskipun tidak didukung dengan infrastruktur, investasi, dan politik. Namun, hari ini produksi kakao Jawa kalah jumlah dibandingkan kakao asal Afrika Barat dan daerah Amazon meskipun kualitas mereka sebenarnya buruk.

Para pecinta cokelat sejati menyebut cokelat asal Jawa sebagai cokelat terbaik. Criollo Jawa memiliki tekstur kasar, dan kompleks, tapi kata-kata itu tidak cukup menggambarkan cita rasa cokelat yang begitu “cokelat banget”.

“Para pecinta cokelat bersikeras bahwa ledakan rasa Criollo Jawa, jenis biji kakao yang hanya bisa ditemukan di Jawa, lolos sebagai crème de la crème cokelat, “ begitu tulis Alissa Gwynn di ForbesIndonesia, Oktober 2013 lalu.

Sayangnya, tulis Gwynn, kakao Criollo Jawa produksinya hanya 3% dari total produksi dunia. Meskipun reputasi cokelat Jawa dikenal paling baik di dunia, tanaman kakao itu mudah sakit dan memerlukan perawatan khusus, sehingga sebagian besar petani lebih memilih menanam varietas Forastero atau Trinitario karena lebih mudah untuk ditanam.

Produksi Kakao Indonesia

Pada 2013 lalu, menurut cacatan Direktorat Jenderal Perkebunan, dengan luas area perkebunan 94.075 hektar jumlah produksi kakao di pulau Jawa hanya mencapai 30.622 ton. Sementara di pulau Sulawesi dengan lahan seluas 520.205 hektar mampu memproduksi 454.293 ton.Sulawesi, pulau di mana kakao pertama kali dikenalkan di Indonesia, menyumbang hampir 64 persen dari total produksi nasional sebesar 720 ribu ton.

Tapi 2015 lalu, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementan menyebutkan produksi kakao hanya mencapai 700 ribu ton—masih kalah masih kalah dibanding Pantai Gading dan Ghana.

"Kita setiap tahun memang terus mencoba meningkatkan produksi kakao. Untuk tahun ini kita harapkan bisa naik sekitar 10-15 persen," jelas Direktorat Jenderal Perkebunan Kementan, Dwi Praptomo kepada Antara April 2015 silam.

Dwi mengatakan target tersebut merupakan komitmen Kementan untuk menggenjot produksi nasional. Ghana sendiri, kata dia, berdasarkan data yang ada telah memproduksi hingga 900 ribu ton pada tahun 2015. Sementara Pantai Gading yang menempati posisi pertama telah mencapai angka produksi sebesar 1,3 juta ton.

"Jadi minimal naik 15 persen jika ingin mengejar posisi kedua atau melampaui Ghana. Memang bukan sesuatu yang mudah namun kami akan berupaya untuk merealisasikannya ke depan," tambahnya.

Analisa Dwi, pada 2015 produksi kakao tidak maksimal karena terkendala cuaca buruk Elnino. Selain itu, usia tanaman kakao di sejumlah daerah sudah tua sehingga tidak produktif lagi. Ia berharap cuaca pada 2016 lebih bersahabat sehingga target itu bisa dicapai.

Namun sayangnya, tahun ini kabar soal kakao kurang baik. Para petani kakao di Polewali Mandar Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) mengeluh harga kakao turun. Penurunan harga kakao dipicu oleh ulah para distributor besar di Makassar yang yang membeli dari pedagang pengumpul dengan harga murah. Harga kakao terbaru di provinsi itu turun dari Rp33 ribu/kg menjadi Rp27 ribu/kg.

"Petani di wilayah ini hanya mengandalkan kakao sebagai sumber pendapatan sehingga dengan turunnya harga kakao maka akan berdampak pada kesejahteraan petani yang juga menurun," katanya kepada Antara, Rabu (14/9/2016).

Udin mengatakan distributor berdalih penurunan harga kakao di Polman karena kualitas kakao tidak begitu bagus untuk dipasarkan atau diolah menjadi bahan jadi. Karenanya ia berharap pemerintah mesti membantu meningkatkan kualitas kakao karena apabila kualitas kakao tidak ditingkatkan maka harga kakao tidak akan terlindungi.

“Harganya akan terus turun seperti sekarang ini," katanya.

Harapan Udin agar negara benar-benar hadir untuk menyelesaikan persoalan kakao bisa jadi benar. The Guardian pada 2014 lalu pernah melaporkan pada 2020 dunia akan mengalami krisis coklat. Penyebabnya tingkat produksi kakao jauh lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan terhadap coklat.

Seharusnya, ini menjadi momentum bagi Indonesia untuk menggenjot panen kakao yang tak kenal musim. Tetapi di negeri ini—sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia—hasil panen masih stagnan dan susah untuk memenuhi kebutuhan pasar sehingga kakao dari Pantai Gading bisa menggantikan kakao lokal.

Gejala ini sudah nampak. Pada laporan The Guardian itu disebutkan bahwa beberapa penggiling kakao seperti BT Cocoa di Jakarta memilih mengimpor dari Pantai Gading.

"Pada awalnya kami memproses 100 persen biji kakao Indonesia, tapi sekarang ada defisit lokal," kata Thomas Jasman, Direktur BT Cocoa.

Jasman bahkan menyampaikan 45 persen biji yang diolah berasal dari Pantai Gading. Padahal permintaan lokal terhadap cokelat bubuk telah meningkat selama lima tahun terakhir, namun produksi biji lokal belum bisa diharapkan.

Tapi selain produksi kakao lokal yang seret, ada masalah lain mendera Indonesia. Kakao Indonesia tak diakui Swiss, sebagai salah satu pemain besar di industri cokelat. Kisah pilu itu dialami Gubernur Sulawesi Barat Anwar Adnan Saleh ketika ia berkunjung pabrik cokelat Calleir Nestle di kota Interlaken, Swiss.

"Kakao yang diolah di negara Swiss adalah kakao dari negara Indonesia, namun ternyata negara itu tidak mengakuinya, setelah pemerintah di Sulawesi Barat berkunjung ke negara itu," cerita Anwar kepada Antara, April 2016 lalu.

"Padahal pabrik tersebut mengolah kakao yang sebagian besar berasal dari Indonesia ini sangat mengecewakan."

Menurut cerita Anwar, nama beberapa negara terpajang di museum sejarah masuknya kakao ke Eropa sebagai negara pemasok kakao di pabrik cokelat Callier Nestle. Namun, di sana tidak ditemui nama Indonesia.

"[kejadian ini] Akan dilaporkan ke Presiden Jokowi bahwa negara Swiss hanya mengakui Jepang dan Australia sebagai pemasok kakao sementara Indonesia tidak diakui," katanya.

Baca juga artikel terkait COKELAT atau tulisan lainnya dari Agung DH

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Agung DH
Penulis: Agung DH
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti