tirto.id - Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pusat Krisis Kesehatan pada Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Budi Sylvana, telah melakukan korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) saat pandemi Covid-19, pada 2020, dan merugikan negara sebesar Rp 319,6 miliar
Selain Budi, Jaksa juga mendakwa dua terdakwa lain yaitu Direktur Utama (Dirut) PT Energi Kita Indonesia (EKI), Satrio Wibowo, dan Dirut PT Putra Mandiri (PPM), Achmad Taufik.
Jaksa menyatakan, selain bersama dengan Satrio dan Taufik, korupsi ini juga dilakukan bersama, Komisaris Utama PT PPM, Fatimah Azzahra, pihak legal PT EKI bernama Isdar Yusuf, dan Sekretaris Utama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sekaligus kuasa pengguna anggaran (KPA) tahun 2019-2020, Harmensyah.
"Melakukan atau turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum, yaitu melakukan negosiasi harga APD sejumlah 170 ribu seluruhnya tanpa menggunakan surat pesanan," kata jaksa Wahyu Dwi Oktavianto, dalam ruang sidang Tipikor, Jakarta Pusat, Selasa (4/2/2025).
Jaksa mengatakan, tiga terdakwa tersebut telah melakukan negosiasi harga dan menandatangani surat pesanan APD sebanyak lima juta set, menerima pinjaman uang dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebesar Rp10 miliar untuk membayarkan 170 ribu set APD kepada PT PPM dan PT EKI, tanpa adanya surat pesanan dan dokumen pembayaran.
Jaksa menyebut, mereka juga telah pembayaran untuk 1,01 juta set APD merek BOHO sebesar Rp711,2 miliar untuk PT PPM dan PT EKI. Padahal, PT EKI tidak mempunyai kualifikasi sebagai penyedia barang dan jasa sejenis di instansi pemerintah, dan tidak punya izin penyalur alat kesehatan (IPAK).
Selain itu, kedua perusahaan itu pun tidak menyiapkan dan menyerahkan bukti pendukung kewajaran harga kepada PPK sehingga melanggar prinsip pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam penanganan keadaan darurat.
"Padahal PT Eki tidak mempunyai kualifikasi sebagai penyedia barang jasa sejenis di instansi pemerintah serta tidak memiliki izin penyalur alat kesehatan (IPAK), serta PT EKI dan PT PPM tidak menyiapkan dan menyerahkan bukti pendukung kewajaran harga kepada PPK sehingga melanggar prinsip pengadaan barang jasa pemerintah dalam keadaan darurat yaitu efektif, transparan, dan akuntabel," ujar jaksa.
Akibat perbuatannya, para terdakwa bersama-sama pihak lain tersebut telah memperkaya Satrio Wibowo sebesar Rp 59,9 miliar, Ahmad Taufik sebesar Rp 224,1 miliar, PT Yoon Shin Jaya Rp 25,2 miliar, PT GA Indonesia 14,6 miliar.
"Mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 319,6 miliar," ungkap jaksa.
Nilai kerugian negara itu berdasarkan laporan hasil audit yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) RI dengan Nomor: PE.03.03/SR/SP-680/05/02/2024 tanggal 8 Juli 2024.
Menurut jaksa, perbuatan Budi Sylvana, Achmad Taufik, dan Satrio Wibowo melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUH Pidana.
Atas pembacaan surat dakwaannya, Budi Sylvana dan Satrio Wibowo tidak mengajukan nota keberatan atau eksepsi. Mereka siap melanjutkan sidang ke agenda pembuktian dengan pemeriksaan para saksi.
Berbeda dengan Achmad Taufik, yang bakal melakukan eksepsi. Hal ini diungkapkan tim penasihat hukumnya kepada ketua majelis hakim Syofia Marlianti Tambunan.
Penulis: Auliya Umayna Andani
Editor: Andrian Pratama Taher