tirto.id - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bersama sejumlah peneliti melaporkan ada potensi tsunami setinggi 34 meter akibat gempa megathrust 8,9 magnitudo (M) di selatan Pulau Jawa dan barat daya Sumatera.
Prediksi ketinggian tsunami tersebut melebihi tsunami Aceh pada 26 Desember 2004, yaitu 30 meter dengan kecepatan 100 meter per detik atau 360 kilometer per jam. Menyusul gempa dengan magnitudo 9,3 di dasar Samudera Hindia menyebabkan 230.000 orang meninggal.
Penulis utama Pepen Supendi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), sekaligus peneliti postdoctoral di University of Cambridge, mengungkapkan penyebab potensi tsunami besar di selatan Jawa.
Menurut dia, itu terkait tingkat kegempaan yang tinggi di dalam dan sekitar Jawa Barat dan Sumatera yang merupakan akibat dari pertemuan lempeng Indo-Australia dan subduksi di bawah lempeng Sunda.
“Peristiwa megathrust besar yang terkait dengan proses ini kemungkinan besar menimbulkan bahaya gempa bumi dan tsunami besar bagi masyarakat sekitar,” kata Pepen dalam jurnal Natural Hazard dikutip Jumat (11/11/2022).
Sejumlah ahli kegempaan dalam negeri terlibat dalam penelitian itu, seperti Dwikorita Karnawati, Tatok Yatimantoro, Daryono dari BMKG, Rahma Hanifa dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Sri Widiyantoro dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Nicholas Rawlinson dari Department of Earth Sciences-University of Cambridge, Abdul Muhari dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Tim memanfaatkan katalog data seismik yang bersumber dari BMKG dan International Seismological Center (ISC) periode April 2009 sampai Juli 2020, untuk melakukan hiposenter gempa.
Pemerintah Harus Lakukan Mitigasi
Peneliti Ahli Utama Bidang Paleotsunami dan Kebencanaan BRIN, Eko Yulianto meminta, agar pemerintah dapat melakukan langkah mitigasi agar dapat mencegah bencana alam tersebut supaya tidak terjadi dampak yang besar, khususnya bagi penduduk sekitar.
“Kalau itu [mitigasi] memang harus dilakukan, karena selatan Jawa sudah padat. Tapi kan selama ini upaya ini dilakukan, tapi apakah upaya ini sudah efektif dan mencukupi sebagai sarana pengurang risiko,” kata Eko kepada Tirto, Jumat (11/11/2022).
Selain prediksi tsunami 34 meter akibat gempa megathrust di selatan Pulau Jawa hingga Sumatera, sebelumnya fenomena bencana alam juga pernah diprediksi oleh peneliti. Seperti fenomena likuifaksi di Palu yang sudah diprediksi sejak 2012 dan terjadi pada 2018.
Namun tampaknya, prediksi tersebut tak terlalu direspons sehingga minim langkah mitigasi yang dilakukan pemerintah saat gempa bumi di Palu.
Oleh karena itu, Eko mendorong agar pemerintah menindaklanjuti prediksi yang dilakukan oleh para peneliti agar dapat meminimalisir risiko ketika tsunami 34 meter akibat gempa megathrust di selatan Pulau Jawa hingga Sumatera terjadi.
“Pemerintah harus memiliki tanggung jawab untuk melindungi ancaman dari gempa. Yang paling mudah adalah dengan membuat ruang aman yang diperkuat sehingga seluruh anggota keluarga bisa berlindung di situ ketika terjadi gempa," ucapnya.
Pakar tsunami dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Widjo Kongko pun mengatakan, potensi tsunami akibat gempa bumi megathrust perlu diwaspadai dengan meningkatkan mitigasi, khususnya sistem peringatan dini dan jalur serta tempat evakuasinya. Sebab, dapat menimbulkan bencana yang luar biasa.
Gempa bumi megathrust, kata dia, juga bisa menjalar melalui Selat Sunda, memasuki Pantai Utara Jawa, dan tenggara-timur Sumatera.
Menurut dia, strategi mitigasi bencana yang sudah ada perlu ditinjau kembali, dievaluasi, dan diperbaiki guna mengantisipasi kemungkinan terjadi tsunami akibat gempa bumi megathrust.
“Review kembali dokumen rencana kontingensi dan rencana operasi, peta-peta jalur evakuasi, sistem peringatan dini untuk mitigasi tsunami, terutama di wilayah pesisir Jawa-Sumatera. Serius dan segera," kata Widjo melalui keterangan tertulisnya dikutip Jumat (11/11/2022).
Sementara itu, Pengamat Meteorologi dan Geofisika (PMG) Stasiun Geofisika Bandung, Sandy Nur Eko menyebut, ada ancaman gelombang tsunami setinggi 23 meter jika gempa megathrust terjadi, khususnya di Pantai Cipatujah, Tasikmalaya.
“Dengan waktu tiba sekitar 15 menit," kata Sandy dikutip Antara.
Ia menyebutkan kekuatan gempa yang telah dipetakan diprediksi dengan magnitudo 8,7 baik di zona subduksi Selat Sunda atau selatan Jawa Barat. Adapun pemetaan yang telah dilakukannya yakni untuk lima kabupaten yang memiliki pesisir selatan yakni mulai dari Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, dan Pangandaran.
Selain Tasikmalaya, kata dia, Kecamatan Pamengpeuk, Garut, juga terancam terkena tsunami setinggi 18 meter jika gempa megathrust terjadi. Kurang lebih, tsunami tersebut bakal sampai 15 menit ke bibir pantai sejak terjadinya gempa.
Kemudian Pantai Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, terancam terkena gelombang setinggi 18 meter dengan waktu sekitar 18 menit sampai ke pesisir setelah gempa. Sedangkan Pantai Pangandaran diprediksi bakal terkena gelombang tsunami dalam waktu 36 menit usai terjadi gempa megathrust dengan ancaman gelombang setinggi 15 meter.
Dengan begitu, menurut dia, pesisir selatan Jawa Barat memiliki waktu berkisar 10 hingga 30 menit untuk merespons dengan cepat mitigasi masyarakat guna menghindari dampaknya.
Perhitungan waktu itu pun menurut dia perlu diasumsikan dengan prediksi waktu gelombang tiba dikurangi waktu peringatan yang dikeluarkan sebelum terjadinya tsunami.
“Jadi bisa dikatakan Jawa Barat ini sangat rawan karena berhadapan langsung dengan subduksi di selatan Jawa itu," ucapnya.
Mitigasi Pemerintah
Pemerintah melalui BNPB mengklaim sudah memiliki program migitasi utama, yaitu mengedukasi masyarakat pesisir di seluruh daerah rawan tsunami. Masyarakat yang diedukasi hingga 52.000 desa, antara lain tersebar di barat Sumatera dan Selat Sunda.
Plt Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi BNPB, Abdul Muhari menjelaskan, edukasi tersebut secara umum bertujuan agar masyarakat bisa merespons dengan cepat terkait tsunami serta memutuskan untuk evakuasi pada saat yang tepat.
“Yang harus kita tingkatkan adalah masyarakat itu bisa menentukan, bisa mengabil keputusan dari gejala alam,” kata Abdul Muhari kepada Tirto, Kamis malam (10/11/2022).
Kemudian pria yang akrab disapa Aam itu mencontohkan gejala alamnya. Misal ada gempa kuat ataupun lemah, tetapi durasi gempanya lebih dari 30 detik dan itu dirasakan di daerah pesisir, maka masyarakat harus lari dari sana.
Edukasi tersebut harus dilakukan sebagai program utama dibanding yang lain seperti peringatan dini. Alasannya, kata Aam, secanggih apa pun peringatan dini, itu tidak bisa menangkap secara detail dan tepat fenomena yang ada.
Pada akhirnya, masyarakat sendiri yang akan mengambil keputusan. Mereka memilih akan mengevakuasi atau tidak. Bahkan pada tsunami Jepang 2011 dan saat peringatan dini pertama disampaikan oleh pemerintah, warganya tidak langsung lari.
Oleh karena itu, lanjut Aam, ini yang harus BNPB tingkatkan dahulu soal bagaimana masyarakat merespons dan membuat keputusan yang tepat, dengan ada atau tidaknya peringatan dini berbasis teknologi tersebut.
“Kita ini ada 17 ribu pulau, ada 6 ribu pulau yang berpenghuni, sekian ribu pulau-pulau kecil. Bisa enggak kita menjangkau semuanya? Enggak bisa,” jelas dia.
BNPB sendiri mengakui belum memiliki data soal mengidentifikasi atau menentukan opsi untuk mitigasi risiko potensi tsunami 34 meter di selatan Jawa itu. Aam menuturkan BNPB masih harus lebih banyak lagi mengetahui perihal periode ulang tsunami di wilayah tersebut.
“Kalau di selatan Jawa, enggak ada yang bisa menjadi dasar temuan berapa periode ulang tsunami yang pernah terjadi di selatan Jawa,” imbuhnya.
Aam memastikan, fenomena itu bukan hal baru. Bahkan, BNPB mengklaim telah mengetahui hal tersebut. “Tapi terkadang kan ketika penelitian ini dipublikasikan seakan-akan itu benar-benar suatu hal baru, yang selama ini belum pernah disentuh dan belum pernah diupayakan mitigasinya,” ucapnya.
Untuk kalangan peneliti tsunami, pasca-tsunami Aceh lalu mereka sudah memetakan bagaimana segmen-segmen megathrust dan memodelkan tsunaminya, serta bagaimana dampak rendaman tsunaminya sampai ke daerah-daerah di sekitar pesisir barat Sumatera dan selatan Jawa.
Hasil-hasil penelitian seperti ini sudah BNPB adopsi ke kajian pembaharuan dan kajian risiko bencana nasional khususnya untuk tsunami. Hal ini bertujuan sebagai garis dasar mereka dalam menentukan rencana mitigasi, rencana tata ruang, rencana kontijensi, dan rencana operasi untuk upaya mitigasinya.
“Jadi paling utama dulu, karena kalau tsunami ini kan sebenarnya dia bukan high frequency event, bukan peristiwa bencana yang terjadi sering kali kayak banjir. Dia kan terjadinya return period-nya, periode ulangnya, mungkin dari 30 sampai ribuan tahun,” jelas dia.
Sementara itu, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geodesi (PVMBG) menilai pernyataan tentang potensi tsunami itu di selatan Pulau Jawa itu harusnya hati-hati.
“Kalau langsung diinformasikan ke masyarakat akan berpotensi untuk mengakibatkan bencana, bencana kepanikan dan keresahan," kata Koordinator Geologi Gempa dan Tsunami PVMBG, Supartoyo melalui keterangan tertulisnya dikutip Jumat (11/11/2022).
Supartoyo juga mengatakan adanya informasi tentang potensi gempa setinggi 34 meter yang beredar itu bisa menghambat sektor lainnya. Seharusnya, kata dia, informasi itu bisa disampaikan pemerintah atau pemerintah daerah setempat.
Ia pun berjanji pemerintah bakal menyampaikan informasi tentang sejumlah data, seperti karakteristik sumber pembangkit tsunami, soal pantai, kekuatan gempa, verifikasi data dan lainnya.
“Harusnya ke pemerintah dulu, setelah itu bisa ke masyarakat melalui pemerintah daerah," ucapnya.
Sedangkan BMKG ketika Tirto menanyakan hal tersebut belum juga memberikan jawaban mengenai langkah-langkah mitigasi bila terjadi potensi tsunami setinggi 34 meter akibat gempa megathrust 8,9 magnitudo (M) di selatan Jawa dan barat daya Sumatera.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz