Menuju konten utama

Potensi Kecurangan di Pemilu 2019 untuk Pemilih Luar Negeri

Pemilih luar negeri berpotensi memilih dua kali dalam Pemilu 2019. Ada pula kritikan soal metode pemilihan menggunakan kotak suara keliling (KSK).

Potensi Kecurangan di Pemilu 2019 untuk Pemilih Luar Negeri
Sejumlah petugas Komisi Pemilihan Umum Provinsi Banten melayani warga yang mengecek namanya dalam Daftar Pemilih saat sosialisasi Pemilu 2019 di arena Car Free Day (CFD) di Alun-alun Serang, Banten, Minggu (8/7). ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman.

tirto.id - Pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) 2019 tinggal hitungan bulan. Sayangnya, berdasarkan catatan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) masih ada potensi masalah, khususnya untuk pemilih di luar negeri yang dapat menggunakan suaranya lebih dari sekali.

Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini mengatakan WNI di luar negeri bisa menggunakan haknya lebih dari sekali bila data pemilih di dalam dan luar negeri tidak sinkron. Hal ini disebabkan jarak waktu pemungutan suara di luar dan dalam negeri cukup panjang, yaitu: 8-14 April 2019 untuk pemungutan luar negeri, sementara pemungutan suara dalam negeri adalah 17 April 2019.

Pemakaian hak pilih lebih dari sekali bisa dilakukan bila WNI terkait memilih di luar negeri, kemudian yang bersangkutan pulang ke Indonesia sebelum 17 April 2019. Jika nama WNI terkait juga tercantum di Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam negeri, maka ia bisa memilih lagi sesampainya di tanah air.

“Potensi ini ada, meskipun bisa dicegah dengan konsolidasi data pemilih luar negeri dan dalam negeri secara baik. Tugas KPU adalah memastikan bahwa data pemilih di luar dan dalam negeri terkonsolidasi satu sama lain, sehingga tidak ada duplikasi data antara pemilih luar dan dalam negeri,” kata Titi kepada Tirto, Kamis (12/7/2018).

Pada tiap pemilu, KPU RI selalu menyediakan daftar pemilih dalam dan luar negeri. Pendataan pemilih di dalam dan luar negeri dilakukan dengan cara berbeda. Untuk pemilih di luar negeri, KPU pertama-tama akan meminta data WNI di luar negeri kepada Kemenlu. Data dari Kemenlu harus disediakan maksimal 16 bulan sebelum pemungutan suara.

Data itu kemudian akan disinkronkan KPU dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilu terakhir. Setelah itu, terbentuklah Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu Luar Negeri (DP4LN).

Berdasarkan PKPU Nomor 12 Tahun 2018 tentang Penyusunan Daftar Pemilih di Luar Negeri Dalam Pemilu, DP4LN harus memuat sejumlah informasi diantaranya Nomor Induk Kependudukan (NIK), nomor paspor, nama lengkap, hingga status perkawinan dan alamat WNI terkait.

DP4LN nantinya akan diperbarui oleh Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) hingga terbentuk Daftar Pemilih Sementara Luar Negeri (DPSLN) dan DPTLN. Pembaruan informasi dilakukan dengan cara mendatangi, menghubungi melalui telepon, mengirim surat, email, atau mengumpulkan pemilih di Kantor Perwakilan Republik Indonesia di suatu negara.

Penghapusan dan penambahan WNI di dalam DPSLN atau DPTLN bisa dilakukan hingga hari pemungutan suara tiba. “Mengingat pendataan pemilih di luar negeri mendasarkan pada penggunaan paspor, sedangkan di dalam negeri berdasarkan NIK KTP elektronik, jangan sampai ada pemilih ganda yang terdaftar,” kata Titi mengingatkan.

Menurut Titi, selain potensi pemilih menggunakan haknya lebih dari sekali, muncul juga kemungkinan banyaknya WNI yang tak terdata dalam DPTLN. Titi berkata, WNI bisa tidak terdata sebagai pemilih jika keberadaannya tidak teridentifikasi Kemenlu. Potensi hilangnya hak pilih terutama bisa terjadi pada para pekerja migran asal Indonesia yang dokumennya tidak lengkap.

"Juga karena daya jangkau pendaftaran yang belum bisa mencapai seluruh WNI di luar negeri, karena sebaran lokasi dan data tidak terkonsolidasi," ujar Titi.

Selain itu, kata Titi, masalah bisa juga muncul dari metode pemilihan menggunakan kotak suara keliling (KSK). Perludem menganggap pemilihan lewat kotak suara keliling rentan kecurangan karena minim pengawasan.

Potensi masalah saat pemilu di luar negeri juga diakui keberadaannya oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI. Lembaga pengawas mencatat beberapa potensi pelanggaran yang muncul karena banyaknya warga yang belum merekam data e-KTP.

"Kalau pengawasan, atau e-KTP-nya, maksimal dipakai tidak akan [pemilih di luar negeri memilih lebih dari sekali], pasti kedeteksi. Kami sudah sepakat ada 3 jenis identitas yang dipakai pemilih di luar negeri [untuk menggunakan suara]. Kalau dia tidak punya e-KTP, maka bisa pakai paspor atau surat keterangan pengganti paspor,” kata Anggota Bawaslu RI Mochammad Afifuddin di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.

Infografik CI Pemilu Untuk WNI di Luar Negeri

Cara KPU dan Bawaslu Mencegah Kecurangan

Namun demikian, Afif optimistis peluang terjadinya kecurangan di luar negeri bisa ditekan pada pemilu 2019. Keyakinan itu muncul karena saat ini pendaftaran pemilih dilakukan berbasis data e-KTP yang bisa disinkronkan dengan banyak dokumen, salah satunya paspor.

Meski menganggap potensi terjadinya kecurangan menipis, Bawaslu RI tetap waspada menghadapi kemungkinan pelanggaran saat pemilu berlangsung. Afif berkata, potensi masalah salah satunya bisa muncul dari WNI di luar negeri yang dokumen kependudukannya ditahan majikannya.

"Mereka potensial tidak memegang identitas penduduk karena biasanya dipegang majikan. Termasuk [potensi masalah] di daerah yang banyak pekerja seperti Malaysia dan Arab," kata Afif.

Komisioner KPU RI Ilham Saputra berkata, data pemilih di luar dan dalam negeri akan dikompilasi oleh lembaganya. Menurutnya, sistem pengecekan data pemilih yang dimiliki KPU RI saat ini dapat menjaga akurasi data pemilih di dalam dan luar negeri.

Menurut Ilham, sistem KPU RI dapat melihat di mana seseorang terdaftar sebagai pemilih pada pemilu 2019. Jika ada data pemilih yang ganda, KPU akan mencoret salah satunya setelah melakukan konfirmasi kepada orang terkait.

"Mesti dicoret salah satunya. Artinya dia [pemilih] ini mau terdaftar di mana, bisa kami konfirmasi apakah mau di luar negeri atau di mana. Karena buat para pemilih di luar negeri, pengalaman saya lakukan bimbingan teknis kemarin, pemilih kita nomaden terutama yang pelaut," ujar Ilham di Kantor KPU RI, Jakarta Pusat.

Berdasarkan penelusuran tim riset Tirto, pada pemilu legislatif dan presiden 2014, sekitar 2.038.711 orang terdaftar di DPT luar negeri. Jumlah TPS di luar negeri saat itu mencapai 498. Pada Pemilu Presiden 2014, perolehan suara berasal dari 130 PPLN yang tersebar di 96 negara. Jumlah surat suara sah dari luar negeri saat itu mencapai 677.857.

Untuk pemilu 2019, hingga kini ada 1.281.597 WNI yang tercatat dalam DPSLN. Jumlah itu mencakup 666.160 laki-laki dan 615.437 perempuan dengan jumlah TPS 338.

Sejumlah masalah saat Pemilu 2014 dilakukan di luar negeri diantaranya adalah keterlambatan pengiriman surat suara karena Piala Dunia di Brasil, terlambatnya pencairan dana dan honor PPLN, rendahnya tingkat partisipasi pemilih di luar negeri (hanya mencapai 30 persen), terhambatnya pemutakhiran data pemilih karena banyaknya jumlah WNI, serta penggunaan KSK atau dropbox yang masih kontroversial.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Abdul Aziz