tirto.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI diminta mempertimbangkan usulan revisi terbatas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Perubahan terbatas UU Pemilu dianggap perlu untuk menjamin hak pilih warga pada pemilu.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini berkata, revisi terbatas harus dilakukan karena aturan saat ini melarang penggunaan surat keterangan (suket) pengganti e-KTP digunakan untuk memilih saat pemilu.
"Saya khawatir dengan hanya digunakannya e-KTP sebagai dasar pemutakhiran data dan penggunaan hak pilih [...] Jangan sampai ada politisasi isu atau sengketa akibat ada pemilih yang tak bisa menggunakan hak pilih. Karena itu harus dicari solusi hukumnya sebelum jadi masalah," ujar Titi di Bawaslu RI, Rabu (11/7/2018).
Menurut Titi, ada sejumlah kelompok rentan yang terancam hak pilihnya pada pemilu 2019. Kelompok itu adalah masyarakat adat, penyandang disabilitas, dan penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas).
Masyarakat adat, terutama yang tinggal di pedalaman, dianggap berpotensi kehilangan hak pilih jika e-KTP menjadi satu-satunya syarat untuk memilih. Titi mengambil contoh, keberadaan masyarakat adat di kawasan pegunungan Papua bisa menjadi bagian warga terdampak.
"Kan tidak mungkin kami menegasikan mereka. Kami tidak boleh membiarkan karena bisa jadi pintu masuk kecurangan," ujarnya.
Untuk penyandang disabilitas, kehilangan hak pilih berpotensi muncul lantaran tidak aktifnya petugas perekaman data e-KTP mendatangi panti-panti sosial. Titi mengklaim ketiadaan perekaman data e-KTP di panti sosial memperlebar peluang hilangnya hak pilih penyandang disabilitas.
Ketiga, para penghuni lapas disebut Titi banyak yang belum memiliki e-KTP. Ketiadaan kartu identitas itu bisa membuat penghuni lapas tak bisa memilih di pemilu mendatang.
"Makanya dari hari ini proses pemutakhiran data pemilih tetap harus digenjot agar tetap maksimal. Karena kan sekarang sudah penetapan DPS [pemilu 2019], akan penetapan DPT. Tetapi kalau tak ada solusi ini akan jadi instrumen paling digunakan untuk disengketakan," kata Titi.
Kesampingkan Ego Sektoral
Perludem juga mengingatkan agar KPU RI, Bawaslu RI, dan Kementerian Dalam Negeri mengesampingkan ego sektoral menghadapi pemilu. Jika masih ada ego masing-masing Kementerian/Lembaga, Titi yakin masalah pemenuhan hak pilih warga akan tetap ada.
Koordinasi antara KPU, Bawaslu, dan Kemendagri diperlukan untuk menyusun daftar pemilih tetap (DPT) pemilu 2019. Menurut Titi, selain mengesampingkan ego sektoral, semua K/L terlibat terutama KPU juga harus memaksimalkan penggunaan data Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) yang sudah diberikan aksesnya oleh Kemendagri.
"Sumber daya itu kan ada pada K/L negara. Problemnya harmonisasi dan sinkronisasi antara institusi-institusi ini. Ego sektoral harus dilepaskan dan mulai duduk bersama membangun kesepahaman tentang perbaikan dan pengelolaan data pemilih," katanya.
Titi juga menyarankan adanya pembentukan gugus tugas bersama untuk mengawal persoalan DPT dan penggunaan hak pilih di pemilu.
Menurutnya, sinkronisasi dan harmonisasi antar K/L harus dilakukan hingga hasil resmi pemilu keluar. Gugus tugas bersama dapat digunakan sebagai sarana pertukaran informasi dan data
"Jangan kemudian ada masalah baru dialog. Karena ini penting juga bagi citra pemerintah. Pemilu ini akan jadi legacy yang luar biasa diingat kalau mampu diselenggarakan dengan baik," tutur Titi.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Alexander Haryanto