tirto.id - Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS, Nasir Djamil menyebut sejumlah pasal di Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) memiliki semangat kolonialisme yang membatasi kritik kepada penguasa.
“Memang tidak bisa dipungkiri masih ada sejumlah norma dalam perubahan KUHP yang masih sebagian orang memandang ini seperti mengulang kembali semangat kolonialisme. Di mana para penguasa itu tidak bisa dikritik, tidak bisa dikuliti dan tidak bisa dikasih second opinion terkait kebijakannya," kata Nasir Djamil dalam diskusi daring, Minggu (26/6/2022).
Untuk itu, kata Nasir Djamil, draf RKUHP masih perlu disinkronkan kembali dengan melibatkan masyarakat sipil.
“Inilah yang harus kita sinkronkan kembali, mencari titik temu apakah benar masyarakat sipil di luar parlemen bahwa ini akan mengancam ini, mengancam itu bahkan tidak sesuai dengan semangat demokrasi dan lain sebagainya," katanya.
Hal senada diungkapkan Juru Bicara Partai Perindo, Tama S Langkun. Ia menyebut bahwa RKUHP khususnya dalam pasal terkait penghinaan kepada lembaga negara menimbulkan kesan membela kepentingan penguasa. Sebab hal tersebut sebelumnya telah dibahas dalam putusan MK.
“Soal menghina kekuasaan umum atau lembaga negara ini, kan, kemudian juga jadi catatan ya. Contoh misalnya di [pasal] 353 ya di draf yang lama, itu dipidana 6 tahun ya. Jadi pertanyaan juga apakah itu jadi dibahas padahal putusan MK itu juga sudah menjelaskan soal hal itu. Itu saya lihat sebagai kemunduran hukum pidana yang memang sekarang sudah berkembang,” kata Tama dalam diskusi yang sama.
Hal tersebut menurut Tama menimbulkan kecurigaan di tengah masyarakat bahwa RKUHP dibuat untuk membela kepentingan penguasa. “Di satu sisi, kan, memang harus menjaga kepentingan negara, tapi jangan sampai hal-hal yang sudah ditafsirkan dengan baik secara hukum dia sudah progresif lalu kemudian mundur lagi," katanya.
Tama tak memungkiri bahwa pembentukan hukum selalu akan berbicara tentang poros politik. Namun hal tersebut hendaknya tidak lebih dominan dari kepentingan hukumnya.
“Kalau saya melihat ya, tentu saja pijakan hukum itu kan dia harus adil. Dia kemudian tidak boleh multitafsir. Dan tentu saja kita harus sadari bahwa ketika bicara soal pembentukan UU itu bicara soal poros politik. Nah tapi kemudian jangan sampai dominasi kesan politiknya itu lebih tinggi daripada soal hukumnya,” kata Tama.
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Abdul Aziz