tirto.id - Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Sukamta menilai pemerintah sebagai pihak yang paling membutuhkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP). Menurut Sukamta pemerintah yang paling sering mengalami data breach atau pencurian data-data pribadi dari pengguna suatu gawai.
Sukamta menjelaskan, berdasarkan data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), mayoritas korban data breach adalah instansi pemerintah. Di mana terdapat 60 kali pelanggaran data breach yang dialami instansi pemerintah, sedangkan dari penegak hukum dan energi masing-masing 5 kasus, serta keuangan 4 kasus.
“Pelanggaran data breach ini memperkuat argumen, jika otoritas pengawas perlindungan data dilakukan oleh pemerintah tidak akan mungkin efektif berlaku,” kata Sukamta lewat keterangan tertulisnya yang dikutip pada Senin (11/4/2022).
Artinya, jelas dia, di balik keinginan pemerintah agar lembaga pengawas data pribadi berada di bawah Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Republik Indonesia tidak bisa berjalan efektif.
“Pelanggaran sebagian besar berasal faktor internal termasuk kelalaian, sedangkan faktor eksternalnya akibat penggunaan kredensial yang lemah, sistem rentan diretas, adanya serangan malware, dan kemungkinan adanya serangan yang menargetkan mitra bisnis,” jelas Sukamta.
Sebagai informasi, data breach merupakan insiden keamanan di mana informasi diakses tanpa adanya otorisasi. Pelanggaran data dapat merugikan bisnis dan konsumen dalam berbagai aspek.
Secara teknis, mirip dengan security breach atau pelanggaran keamanan, tetapi berbeda tujuan. Security breach hanyalah pembobolan, sedangkan data breach adalah aktivitas mencuri data dan informasi.
Lalu Sukamta kembali mengingatkan kepada pemerintah bahwa RUU PDP ini sangat krusial untuk segera diselesaikan. Tujuannya, agar bisa segera memberikan manfaat dan perlindungan kepada rakyat Indonesia.
“RUU PDP ini selain melindungi data pribadi, juga berhubungan dengan optimalisasi potensi digital Indonesia yang diperkirakan AlphaBeta pada tahun 2030 mencapai USD [US Dollar atau dolar Amerika Serikat] 160,8 miliar,” tuturnya.
“Potensi ekonomi besar ini seharusnya memberikan dampak ekonomi dan memberikan rasa aman bagi rakyat Indonesia, bukan menguntungkan pihak asing,” imbuh Sukamta.
Sukamta mengatakan bahwa ketiadaan UU yang mengatur soal perlindungan data dan data pribadi, hanya akan menguntungkan pelaku eksploitasi oleh berbagai pihak. Sementara, pelaku bisnis digital masih didominasi pelaku-pelaku bisnis luar negeri.
“Mestinya negara memberikan perlindungan maksimal kepada dunia digital dan khususnya data-data digital rakyat Indonesia. Mestinya pemerintah sangat berkepentingan agar RUU PDP segera disahkan,” pungkas Sukamta.
Editor: Bayu Septianto