Menuju konten utama

Politikus PDIP Kritik Pelibatan TNI di Penanganan Terorisme

Sejumlah kalangan, termasuk politikus PDIP, mengkritik rencana pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme yang kini dibahas oleh Pansus RUU Antiterorisme DPR RI.

Politikus PDIP Kritik Pelibatan TNI di Penanganan Terorisme
(Ilustrasi) Anggota Brimob dan TNI melakukan penyergapan terhadap teroris dalam Latihan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama TNI-Polri di Markas Detasemen B Brimob Polda Jatim, Ampeldento, Malang, Jawa Timur, Kamis (18/5/2017). ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto.

tirto.id - Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDIP, Charles Honoris mengkritik usulan pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme. Dia menilai pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme mengkhianati amanat reformasi.

"Reformasi lahirkan banyak institusi baru, termasuk dalam pemberantasan terorisme, dengan model penegakkan hukum sehingga kalau meleceng maka kita mengkhianati amanat reformasi," kata Charles dalam diskusi “Dinamika Gerakan Terorisme dan Polemik Revisi UU Anti-Terorisme” di Universitas Paramadina, Jakarta, pada Rabu (31/5/2017) seperti dikutip Antara.

Dia beralasan penanganan terorisme melalui penegakkan hukum lebih tepat menjadi tanggung jawab Kepolisian. Karena itu, peran TNI sebagai kekuatan pertahanan tidak layak ikut dalam proses penegakan hukum di kasus terorisme.

"Agak lucu kalau TNI dijadikan penyidik dan lakukan penangkapan karena akan menjadi kecacatan hukum," kata Charles.

Dia berpendapat banyak pihak salah paham dengan pernyataan Presiden Joko Widodo, pada Senin lalu (29/5/2017), yang meminta usulan pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme diakomodasi RUU Antiterorisme.

Menurut dia, Jokowi menginginkan pelibatan TNI secara terbatas atau mengacu pada Pasal 7 UU TNI, yaitu terlibat dalam pemberantasan terorisme atas dasar keputusan politik negara.

"Presiden sebagai panglima tertinggi TNI pasti memahami tupoksi institusi tersebut. Sebenarnya pelibatan TNI secara terbatas saja seperti sekarang," ujar dia.

Di tempat yang sama, Direktur Imparsial, Al Araf mengatakan faktor utama dalam terorisme adalah ideologi sehingga pendekatan represif saja tidak cukup.

Karena itu, dia mendesak revisi UU Terorisme perlu memastikan bahwa upaya pencegahan dengan instrumen pemerintah tidak cukup menggunakan penegak hukum sebagai aktor. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama perlu terlibat.

Pembatasan peran TNI dalam pemberantasan terorisme itu juga secara tersirat diungkapkan oleh Wakil ketua Pansus RUU Antiterorisme, Hanafi Rais pada hari ini. Dia mengatakan baik Polri maupun TNI memang akan dilibatkan dalam pemberantasan terorisme tapi di bawah koordinasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Hanafi juga mengatakan RUU Antiterorisme perlu membedakan kewenangan TNI dan Polri dalam pemberantasan terorisme. Hanafi mencontohkan ancaman terorisme seperti yang terjadi pada peristiwa di Kampung Melayu bisa ditangani Kepolisian. Sementara untuk aksi-aksi terorisme, yang mengancam pertahanan serta kedaulatan negara, ditangani oleh TNI.

Akuntabilitas Pemberantasan Terorisme

Ketua Setara Institute, Hendardi juga mengkritik usulan pelibatan TNI dalam penegakan hukum untuk pemberantasan terorisme. Dia khawatir pelibatan TNI sebagai penegak hukum atas kejahatan terorisme akan melemahkan akuntabilitas pemberantasan terorisme.

Alasan dia, tidak ada kontrol sistemik yang melekat dalam sistem peradilan pidana terpadu bagi TNI. Menurut Hendardi, pelibatan TNI di pemberantasan terorisme dikhawatirkan bertentangan dengan mekanisme sistem peradilan pidana terpadu.

"Gagasan memasukkan TNI sebagai aktor dalam pemberantasan terorisme dipastikan akan keluar dari mekanisme sistem peradilan pidana terpadu," kata dia hari ini.

Terorisme, menurut Hendardi, termasuk kejahatan lintas negara. Dunia internasional menganggap kejahatan ini hanya bisa diberantas dengan pendekatan hukum yang memiliki kewenangan preventif berjangkauan luas.

Dia mengusulkan RUU Antiterorisme mengatur pelibatan TNI tetap dalam skema perbantuan sebagai tugas operasi militer selain perang. Mekanismenya bisa diatur dengan pembentukan UU Perbantuan Militer. UU ini seharusnya sudah sejak lama dibentuk karena merupakan mandat dari UU TNI.

"Bagaimana mungkin mandat reformasi yang menuntut TNI profesional sebagai aparat pertahanan dan telah berjalan selama hampir 19 tahun, kemudian diupayakan untuk kembali menjadi bagian dari penegakan hukum pidana terorisme?"

Menurut Hendardi, usulan itu membahayakan akuntabilitas sistem peradilan pidana dan berpotensi menggeser pendekatan hukum menjadi pendekatan militer dalam pemberantasan terorisme.

Dia menyarankan sebaiknya fokus utama revisi RUU Antiterorisme adalah penguatan kewenangan pra-persidangan bagi aparat kepolisian dan intelijen. "Fokus perumusannya adalah pada batasan-batasan yang rigid bagaimana kewenangan itu dijalankan dan dipertanggungjawabkan.”

Baca juga artikel terkait RUU ANTI TERORISME atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Politik
Reporter: Addi M Idhom
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom