tirto.id - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) merilis catatan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia selama periode Januari-Oktober 2017. Disebutkan, situasi HAM di Indonesia dalam periode itu mengalami kemunduran. KontraS melihat, politik populisme menjadi faktor utama kemunduran penegakan HAM di negeri ini.
"Pendekatan-pendekatan politik populisme itu hari ini sangat menguat dan situasi Hak Asasi Manusia menjadi mundur karena ada politik populisme yang hari ini terus menguat," sebut Koordinator KontraS, Yati Andriani, di Menteng, Jakarta, Minggu (10/12/2017), yang bertepatan dengan peringatan Hari HAM Sedunia.
Yati menambahkan, populisme yang berkembang di masyarakat merupakan populisme negatif. Populisme digunakan berkenaan isu nasionalisme sempit, contohnya adalah kuatnya isu phobia Islam di internasional atau isu SARA di level nasional.
"Kedua politik identitas. Identitas keagamaan, identitas primordialisme, identitas kesukuan kebangsaan yang semua dibungkus nanti digunakan untuk tujuan-tujuan politik pragmatis. Itu terjadi hari ini dan HAM menjadi sangat rentan untuk bisa ditegakkan," beber Yati.
KontraS menemukan bahwa penguasa mendapatkan afirmasi dari publik untuk menggunakan pendekatan politik populisme. Hasilnya, tidak sedikit masyarakat yang ikut mendukung kebijakan pemerintah meskipun sebenarnya melanggar prinsip HAM. Yati melihat, masyarakat didorong untuk melanggar HAM lewat kebijakan pemerintah.
Permasalahan kedua adalah kebebasan beragama dan beribadah. Akibat politik populis tersebut, maka simbol-simbiol keagamaan, sentimen keagamaan, serta retorika keagamaan semakin menguat. Yati mencontohkan isu penistaan agama yang digunakan sebagai alat politik seperti di Pilkada DKI Jakarta.
KontraS juga melihat pemerintah masih belum berkomitmen menyelesaikan permasalahan HAM masa lalu. Pemerintah berjanji untuk menyelesaikan 9 kasus HAM. Namun, pemerintah justru mengangkat orang-orang yang dinilai bermasalah dalam kasus HAM masa lalu. "Dalam politik populisme, transaksi politik dan stabilitas politik menjadi diutamakan," tutur Yati.
Yati menilai pemerintah semakin permisif dengan pelaku pelanggaran HAM. Pemerintah tidak memberikan hukuman kepada pelaku, tetapi justru menjadi simbol pergerakan di masyarakat.
Pelanggaran HAM, lanjut Yati, terus berulang dan tidak bisa dihentikan pemerintah. Aktor pelanggar HAM tidak hanya dilakukan pemerintah, tetapi juga korporasi atau kelompok antidemokrasi. "Nah, hari ini tren-nya menguat, terus kedua mereka menjadi bagian dari pelaku pelanggaran HAM," sebutnya.
Tak hanya itu. KontraS menilai tekanan terhadap pembela HAM justru semakin kuat. Yati mencontohkan apa yang telah menimpa penyidik KPK, Novel Baswedan, atau dalam kasus Munir, juga aktivis-aktivis HAM lainnya yang tidak kunjung selesai.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Iswara N Raditya