tirto.id - Pakaian Presiden Joko Widodo kembali menarik perhatian.
“Bapak Presiden pakai pakaian adat Bugis, ini karaeng [bangsawan/raja] paling ganteng se-Indonesia,” kata Ketua MPR Zulkifli Hasan dalam sambutannya. “Orang berpakaian Jawa yang jalannya paling cepat Pak JK ini,” tambahnya.
Zulkifli berguyon tentang pakaian yang dipakai Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dua orang yang diguyoni membalas senyum. Hadirin lain juga menyambut kelakar Zulkifli dengan riuh tawa.
Ini memang kali pertama Jokowi hadir dalam Sidang Tahunan MPR-DPR-DPD dengan pakaian adat. Uniknya, ia dan sang wakil seperti bertukar karakter. Jokowi yang keturunan Jawa memakai pakaian adat Bugis, sementara JK yang keturunan Bugis memakai blangkon lengkap dengan baju adat Jawa.
Pasangan mereka juga mengimbangi. Ibu Negara Iriana Jokowi memakai baju adat Bali, sementara Ibu Mufidah Kalla memakai kebaya dan batik Jawa. Kedua pasangan ini tampil mencolok dibanding hadirin lainnya.
Dalam buku The Politics of Dress in Asia and The America’s, pakaian pemimpin negara dalam perkembangannya berubah menjadi simbol, identitas, dan pernyataan politiknya. Baik secara disadari ataupun tidak, para tokoh-tokoh politik seringkali menggunakan pakaiannya sebagai sarana kampanye dan pernyataan politik. Politik pakaian ini berjalan sesuai dengan sejarah budaya yang terjadi di negara bersangkutan.
Baca juga:
Dalam kasus Jokowi, ada politik multikulturalisme yang ingin disampaikannya. Gagasan multikulturalisme dalam wacana politik kontemporer, seperti dipacak pada Stanford Encyclopedia of Philosophy, "adalah cara memahami dan merespons tantangan-tantangan yang terkait keragaman budaya dan agama."
Laman ensiklopedia tersebut menerangkan bahwa multikulturalisme mendukung anggota kelompok minoritas untuk mempertahankan identitas kolektif dan praktik khas mereka, alih-alih melebur atau berasimilasi ke dalam budaya dominan. Pandangan ini mengena dengan karakter Indonesia yang terdiri dari beragam suku-bangsa dan kebudayaan.
Apalagi, di masa Orde Baru, Indonesia kerap disebut-sebut Jawasentris atau menjadikan Jawa sebagai pusat. Dengan pakaian ala Bugisnya, Jokowi melakukan politik pengakuan; ia sedang menyatakan bahwa Indonesia bukanlah semata Jawa atau bukan sekadar (ibukota) Jakarta.
Selain melakukan politik pengakuan lewat pakaian, Jokowi juga menyebut beberapa daerah dan bahasanya. Dalam pidatonya, ia menyapa pemirsanya dengan menyebut 4 titik paling pinggir di barat, timur, utara, dan selatan Indonesia: "Saudara-saudaraku dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Rote."
Baca: HAM dan Papua yang Raib dalam Pidato Kenegaraan Jokowi
Sadariah dari Betawi Jadi Favorit
Di antara Presiden Indonesia lainnya, Jokowi memang dikenal sebagai yang paling sering memakai pakaian adat di depan umum. Setidaknya, tahun ini saja, Tirto mencatat ia telah tujuh kali memakai macam-macam pakaian adat dalam sejumlah acara besar. Salah satu yang masih hangat dikenang kening, Februari lalu, Jokowi pergi ke Maluku dan memakai pakaian adat sana. Dalam kesempatan itu, ia dianugerahi gelar kehormatan Upu Kalatia Kenalean Da Ntul Po Deyo Routnya Hnulho Maluku.
Sayangnya, tak semua orang menangkap pesan multikulturalisme yang dilempar Jokowi dalam tiap kesempatan. Fotonya yang lengkap berpakaian adat Maluku diolok-olok seorang netizen, ia dikatai seperti Raja Kodok. Insiden serupa juga terjadi Agustus tahun lalu, ketika Jokowi mengunjungi Festival Danau Toba lengkap mengenakan pakaian adat Batak. Hiasan kepala Jokowi dikatai seperti wig.
Namun, olok-olokan begitu tampaknya tak berpengaruh pada kebiasaan Jokowi berpakaian adat. Kebiasaan tersebut sudah terlacak sejak 2014 lalu. Desember tahun itu, ia sempat menyambangi Tidung, Kalimantan Utara, dan mengenakan pakaian adat ulun khas Tana Tidung.
Tak hanya ketika mengunjungi daerah, pakaian adat juga sering dipakai Jokowi dalam acara-acara besar dan internasional, seperti Upacara Hari Lahir Pancasila pada Juni 2017 dan Konferensi Asia-Afrika pada April 2017. Dalam dua acara itu, ia memilih pakaian adat Betawi.
Baca:
Di antara pakaian adat lain, pakaian sadariah—khas Betawi—memang yang paling sering dipakai Jokowi. Catatan Tirto menunjukkan, setidaknya Jokowi sudah empat kali memakai pakaian tersebut. Selain dua acara di atas, Jokowi juga memakai sadariah ketika menyambut Raja Swedia Carl XVI, 25 Mei lalu, dan Lebaran Betawi di Setu Babakan pada 30 Juli silam.
Selain itu, Jokowi juga lebih sering memakai pakaian adat suku dari Sumatera. Tak cuma adat Batak, ia pernah memakai baju adat suku Nias dan Gayo.
Dalam menyambut kunjungan kepala negara lain, Jokowi juga selalu menyelipkan unsur pakaian adat Indonesia yang beragam. Presiden Ukraina, Chile, Lithuania, Wakil Presiden Amerika Serikat, dan Perdana Menteri Jepang adalah deretan pemimpin negara yang pernah disambut iring-iringan anak-anak berpakaian adat di istana. Saat menyambut Raja Salman, bahkan Jokowi menyuruh ke-34 Paspampresnya mengenakan pakaian adat dari 34 provinsi.
Beda dengan Bung Karno, Mirip dengan Trudeau
Diplomasi pakaian ini bukan cuma dilakukan Jokowi. Dalam The Politic of Dress in Asia and The America’s, Mina Roces dan Loise Edwards juga mencontohkan Mahatma Gandhi dan Sukarno sebagai tokoh politik besar dari Asia, yang juga punya pesan lewat pakaiannya.
Turban tradisional Gujarati milik Gandhi dianggap menggambarkan kesederhanaan dan kecintaan terhadap budayanya. Gandhi selalu memakai pakaian itu ketika berjumpa pejabat negara lain maupun masyarakat pecintanya. Ada pesan kalau pakaian tradisional pun setara dengan pakaian formal versi dunia Barat.
Sementara kopiah hitam Sukarno menggambarkan kewibawaan dan ketegasan, serta identitasnya sebagai muslim. “Sebuah simbol nasionalisme Indonesia,” tulis Mina Roces dan Louise Edwards pada bab pembuka.
Ketimbang menampilkan multikulturalisme, Sukarno memang lebih senang menampilkan pesan nasionalisme. Atau tepatnya, nasionalis yang kosmopolit. Dalam buku Sewindu Lebih Dekat Bung Karno, karya Bambang S. Widjanarko, Sukarno pernah bilang:
“Selama aku jadi presiden, seluruh mata bangsa Indonesia akan melihat dan memperhatikanku, termasuk pakaian yang aku pakai. Itu sebabnya aku selalu berpakaian rapi dan memakai peci hitam, yang aku harapkan menjadi ciri atau identitas bangsa Indonesia.”
Menurutnya, “Sedangkan untuk presiden atau menteri seyogianya tidak berpakaian daerah, karena mereka adalah pemimpin-pemimpin seluruh Indonesia. Nanti apabila dia tidak menjabat lagi, barulah bebas boleh berpakaian apa saja yang dia senangi.”
Pemimpin negara lain yang juga dikenal karena menerapkan politik multikulturalisme adalah Justin Trudeau, Perdana Menteri Kanada. Ia bahkan menganggap multikulturalisme sebagai jawaban untuk teror pada dunia yang datang dari para ekstremis. Kanada yang punya dua bahasa ibu resmi, ratusan bahasa lokal, merayakan banyak agama dan keyakinan, serta membuka diri pada semua budaya yang diperbolehkan masuk dianggap Trudeau sebagai tradisi multikulturalisme yang kuat.
"Tradisi multikulturalisme Kanada yang kuat telah memungkinkan masyarakat kita memperoleh manfaat dari perspektif baru dan menemukan jawaban baru atas masalah lama," kata Trudeau.
Tiap pemimpin memang punya maksudnya sendiri. Ungkapan Vanessa Friedman dari The New York Times rasanya tepat menggambarkan fenomena ini: “Kalau kau tahu semua orang akan memperhatikan apa yang kau kenakan lalu menilainya, apa yang kaukenakan jadi penuh makna,” tulisnya.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Maulida Sri Handayani