tirto.id - Jumat subuh, 17 Juni 2016, kapal perang Imam Bonjol-383 menerima laporan hasil pengintaian udara. Laporan menyebut 12 kapal ikan asing berbendera Cina sedang beraksi melakukan pencurian ikan di kepulauan Natuna.
Setelah menerima laporan itu, kapal perang Imam Bonjol bergegas melakukan pengejaran. Satu kapal berhasil ditangkap, sisanya lari kalang kabut dari zona ekonomi eksklusif (ZEE) di Natuna. Dari penangkapan kapal itu, enam pria dan satu wanita berkewarganegaraan Cina dibekuk, dibawa, dan diinterograsi.
Insiden di Natuna tidak hanya sekali itu terjadi. Pertengahan Maret lalu Kapal Hiu 11 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan menangkap KM Kway Fey 10078 di Perairan Natuna. Penangkapan tidak berjalan mulus, lantaran kapal penjaga pantai Cina secara sengaja menabrak KM Kway Fey 10078 supaya tidak bisa ditarik ke wilayah daratan Indonesia.
Agar Politik Tidak Gaduh
Usai insiden itu, Presiden Joko Widodo "Jokowi" langsung menggelar rapat terbatas di atas geladak kapal perang Imam Bonjol pada Kamis (23/6/2016), atau lima hari setelah KRI Imam Bonjol menangkap kapal Cina.
Namun, Kepala Biro Humas dan Protokol Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, Heri Mokhrizal, mengatakan bahwa kunjungan Jokowi ke Natuna tidak ada sangkut paut dengan insiden kapal Cina.
"Tidak ada hubungannya dengan permasalahan itu," katanya, seperti dikutip dari Antara. "Agenda Presiden ke Natuna itu sangat penting untuk mempercepat pembangunan di pulau itu [Natuna]."
Kunjungan presiden Jokowi ini mengundang perhatian media asing. Time di hari itu juga langsung membuat headline dengan judul cukup provokatif: “Presiden Indonesia Jokowi Kunjungi Pulau Natuna untuk Mengirimkan Sinyal Kuat kepada Cina.”
Sidney Morning Herald pun membuat judul yang kurang lebih sama: “Kunjungan Presiden Indonesia ke Pulau Natuna Kirimkan Peringatan Perairan untuk Cina”.
Sedangkan Washington Post membuat judul yang lebih lunak: “Presiden Indonesia Kunjungi Pulau Natuna di Laut Cina Selatan”.
Kepada tirto.id akhir Juni ini, pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito menyampaikan soal sengketa batas teritorial yang menyangkut kedaulatan Indonesia menjadi perhatian serius Jokowi. Menurutnya, kehadiran Jokowi di Natuna ingin menunjukkan keseriusan untuk bertindak tegas terhadap pelanggaran tapal batas. “Kehadiran presiden [adalah] simbol politik,”katanya.
Pesan politik Jokowi itu tidak hanya di hadapan negara asing. Di dalam negeri, Jokowi juga beberapa kali melakukannya. Misalnya pada Maret lalu, ketika mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan safari politik “Tour de Java” dan mengritik proyek infrastruktur pemerintah. SBY mengkritik Jokowi yang dianggap terlalu berambisi menggeber proyek infrastruktur. Kritikan SBY tidak langsung ditanggapi secara verbal oleh Jokowi. Ia “membalasnya” dengan mengunjungi Kompleks Olahraga Hambalang—proyek yang membuat sejumlah elite Demokrat terjungkal karena skandal korupsi.
SBY merespons kedatangan Jokowi ke Hambalang itu dengan nyinyir. Melalui akun twitternya SBY menyatakan “Itulah tujuan, kegiatan & hasil SBY Tour de Java. Kenapa harus kebakaran jenggot? Lagi pula tak ada hukum yg dilanggar. *SBY*”
Mundur ke akhir Desember 2015, Jokowi juga pernah membuat simbol politik dengan satire kekuasaannya. Saat publik menantikan putusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), terkait pencatutan nama Presiden dan wakil Presiden dalam kasus 'Papa Minta Saham' yang menyeret Ketua DPR Setya Novanto, Jokowi justru mengundang para pelawak datang ke Istana. Jokowi mempraktikkan politik sebagai lelucon satire.
“Itu cara Presiden Jokowi untuk merespons dengan simbol-simbol. Pendekatan seperti itu tidak menciptakan kegaduhan. Tetapi cukup efektif memiliki pesan ke publik,” kata Arie.
Belakangan ketika Jokowi kerap menggunakan simbol-simbol politik dalam praktik kekuasaannya, sebagian orang menilai, gaya politik itu mirip dengan dengan Soeharto di masa Orde Baru.
Terkait hal itu Arie punya analisa berbeda. “Jokowi ngga mau gaduh. Kalau Soeharto itu represif dan sekalipun [menggunakan] simbol Jawa tetapi semangatnya represif. Jadi beda sama Jokowi,” tambahnya.
Strategi Politik Jokowi
Menurut Arie, di awal-awal menjabat sebagai Presiden, Jokowi belum menemukan pola politiknya. Termasuk ketika ia berusaha menstabilkan politik, dengan “mengontrol” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga inilah yang pada era kepemimpinan SBY membuat “gaduh” dalam politik nasional ketika sejumlah elit negara masuk dalam radar penangkapan KPK.
“Jadi beberapa langkah [Jokowi saat itu] belum tepat.” katanya. “Tapi sekarang, Jokowi makin percaya diri.
Kepercayaan diri Jokowi itu makin tinggi setelah kekuatan politik di Dewan Perwakilan Rakyat berhasil dikondisikan. Satu per satu partai politik di Koalisi Merah Putih (KMP) lepas. Hal ini mengubah peta politik, setelah oposisi di dewan berbalik 180 derajat mendukung pemerintah. Terakhir Partai Golkar, salah satu pentolan KMP menyatakan diri mendukung sepenuhnya kebijakan Jokowi. Belakangan, tinggal Gerindra dan PKS yang masih menyatakan diri setia pada KMP.
“Dukungan di parlemen kepada Jokowi makin kuat,” jelasnya.
Penundukan Jokowi atas parlemen—bila bisa disebut demikian—merupakan salah satu upaya Jokowi memuluskan langkah politiknya. Jokowi menundukkan parlemen dengan gerilya dan komunikasi politik simbolik. Sementara kini Jokowi juga semakin percaya diri dengan langkah politiknya karena dirinya yakin tidak ada conflict of interest, sehingga manuver dan langkah Jokowi tidak terganggu oleh posisi dan kepentingan pribadinya. Hal ini, kata Arie, berbeda dengan politisi-politisi lain yang terkadang mengalami konflik kepentingan.
“Sejauh ini langkah politik Jokowi itu efektif,” terangnya.
Strategi politik Jokowi bisa jadi terkait dengan gagasan pembangunan yang diusung pemerintah. Sebagaimana publik tahu, Jokowi menggenjot pembangunan-pembangunan infrastruktur, dari jaringan rel kereta api, listrik, waduk, dan tol laut. Dari penelusuran tirto.id, anggaran infrastruktur pada nota keuangan 2016 seperti disampaikan Presiden Jokowi di Gedung DPR, pada 14 Agustus 2015, angkanya mencapai Rp313,5 triliun. Anggaran ini jauh lebih tinggi ketimbang era SBY yang menganggarkan infrastruktur senilai Rp191,3 triliun.
Tapi, kata Arie, gagasan pembangunan bukan satu-satunya mimpi Jokowi. “Salah satunya saja itu. Cita-cita Nawa Cita menjadi kerangkanya,” jelasnya.
Tapi sebenarnya seberapa penting simbol dalam politik itu dibutuhkan dalam kekuasaan? Mayer N Zaid dalam “Political and Symbol: A Review Article” di jurnal The Sociological Quarterly menyampaikan penggunaan simbol dalam politik dapat dianalisis dan dijelaskan sebagai bagian dari sejarah ide-ide, sebagai interaksi sistem budaya dan sosial, dan perubahan tingkat sosial-psikologis. Simbol politik dianalisis sebagai bagian dari filosofi dan ideologi yang memandu atau digunakan untuk penataan awal dan operasi sistem politik.
Dalam kerangka itulah, nampaknya, simbol politik Jokowi diterapkan untuk menata sistem kenegaraan dalam rangka operasi sistem politik di Indonesia.