Menuju konten utama

Bagaimana Jokowi Menjual Citra

Berbeda dengan Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Joko Widodo menggunakan perspektif lain dalam melakukan komunikasi politik pada rakyatnya.

Bagaimana Jokowi Menjual Citra
Presiden Joko Widodo bersama penyanyi Raisa di Istana Negara, Kamis, 9 Maret 2016. Foto/NET/Prihardani Purba

tirto.id - Presiden Joko Widodo memiliki cara yang unik untuk menyapa masyarakat. Mulai dari blusukan hingga yang terbaru melalui vlog. Vlog Presiden Jokowi bahkan tak melulu berisi hal yang serius seperti saat meresmikan pasar rakyat, tetapi juga diisi dengan acara kenegaraan seperti saat Raja Salman berkunjung ke Indonesia. Hal yang remeh temeh pun diunggahnya, seperti saat kambing peliharaannya beranak.

Cara komunikasi dalam politik itu penting untuk menunjukkan bagaimana seorang pemimpin berinteraksi dengan rakyatnya. Apa yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentu berbeda dengan pendahulunya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), keduanya memilih pendekatan yang nyaris bertolak belakang. SBY bisa dikatakan sebagai presiden yang menegakkan protokoler. Misalnya saat SBY menegur anak-anak yang tertidur dan meminta mereka dibangunkan karena ia hendak melanjutkan pidato.

Jokowi di sisi lain gemar melontarkan lelucon, tertawa lepas, bahkan tidak ragu untuk melakukan kontak fisik dengan siapapun. Seperti saat mengunjungi beberapa pondok pesantren, Jokowi mengundang santri untuk menjawab kuis yang jawabannya mengundang gelak tawa. Alih-alih menghardik atau memarahi mereka yang mengantuk, Jokowi bisa menghidupkan suasana dengan sikapnya yang tidak berjarak. Apakah hanya ini saja gaya komunikasi politik Jokowi?

Sikap non-konvensional Jokowi untuk melakukan pendekatan dengan masyarakat bisa dilacak jauh ke belakang saat ia masih menjabat sebagai walikota Solo. Jokowi memiliki program relokasi pedagang kaki lima di kawasan Banjarsari di kota Solo ke Pasar Klitikan, ia menolak menggunakan Satpol PP dan menggusur paksa para pedagang yang ada. Jokowi lantas mengajak 11 paguyuban PKL untuk makan siang bersama di kantor wali kota, Lojigandrung, Solo. Setelah beberapa kali makan siang, para pedagang itu akhirnya bersedia direlokasi tanpa kekerasan.

Cara Jokowi untuk melakukan pendekatan mirip dengan cara Obama untuk mencitrakan diri sebagai presiden. Jika presiden-presiden dari partai republik sangat kaku dan terkesan sangat berjarak, Obama bisa dengan mudah ditemui di acara televisi, nongkrong di restoran cepat saji, atau bahkan mengundang musisi-musisi pop untuk menggelar konser di Gedung Putih. Cara ini terbukti moncer untuk membuat sosok Obama jadi presiden yang merakyat dan luwes. Keuntungannya bisa dilihat dari para pemilih muda yang jatuh hati dengan sikap santai Obama.

Infografik Marketing Politik Ala Jokowi

Made Supriatma, pengamat politik yang saat ini tinggal di Amerika Serikat, menilai Obama sebenarnya masih terkesan kaku. Ia tipe presiden yang intelektual dan kadang terkesan angker karena kecerdasannya. Namun, Jokowi di sisi lain bisa memanfaatkan banyak hal di sekitarnya untuk kemudian digunakan sebagai keuntungan. Seperti saat kedatangan Raja Salman dari Arab Saudi, menurut Made, Jokowi memanfaatkan betul momen itu. Dia menggelembungkan kedatangan Raja Salman sedemikian rupa, sekaligus mencitrakannya sebagai orang yang sangat penting. "Perlakuan terhadap Raja Salman ini mengingatkan saya pada perlakukan penguasa negara-negara Kristen kalau dikunjungi Paus. Persis plek!" katanya.

Jokowi memang memiliki karakter yang berbeda dengan presiden RI sebelumnya. Menurut Made, Jokowi tahu persis dengan potongan fisiknya tidak memungkinkan dia jadi presiden seperti Bung Karno, Soeharto, atau SBY. Mereka ini sedikit banyak menampilkan ketampanannya dan juga sisi militernya yang dianggap kuat. "Harto senyumnya menawan kan? Bung Karno, sudahlah. Dia ngganteng. SBY? Inget kampanye dulu, ibu-ibu sampai orgasme berdiri ngeliat SBY. Sama seperti kemarin terhadap Agus," kata Made.

Jokowi jelas tidak memiliki "wow faktor" yang membuatnya berbeda secara estetik. "Dia juga nggak bisa kayak Megawati yang bagaimanapun juga bisa mengklaim warisan ayahnya -- yang masih sangat populer dalam politik Indonesia," kata Made. Sementara Jokowi juga tak bisa meniru Habibie yang dimistifikasi sebagai jenius, jaminan akan bawa kemakmuran. Maka sosok paling dekat dengan Jokowi adalah Gus Dur yang merakyat, santai, dan nyaris slengean. "Tapi Gus Dur punya darah biru NU. Ini nggak main-main," kata Made.

Momen penggunaan vlog makan siang dengan raja Salman jelas membuat Jokowi terlihat seolah dekat, akrab, dan memiliki hubungan sejajar dengan raja Arab Saudi. "Nah, ini pula yang membedakan Jokowi dengan SBY. Pada waktu pemilihan pertama SBY melawan Megawati, saya kira SBY memainkan diri sebagai korban, dan kemudian mengeksploitasi credential militer serta kegantengannya," kata Made Supriatma. Jokowi jelas paham benar bagaimana psikologi wong cilik yang butuh perhatian tanpa pamrih.

Saat masih menjadi Walikota Solo, Jokowi pernah diberitakan membagikan beras kepada tukang becak nyaris tanpa eksposur media. Maksudnya ia memberikan bantuan tanpa terlebih dahulu memerintahkan awak media untuk meliput apa yang ia lakukan. Fokusnya juga berbeda, jika Obama fokus untuk menjaring dan memperoleh perhatian milenial, Jokowi mementingkan kelompok masyarakat miskin marjinal dalam gerakan pencitraannya. Sebagai orang jawa ia paham benar bagaimana perilaku berbagi dan sedekah tadi punya dampak serius terhadap persepsi orang terhadap dirinya.

Kebanyakan politisi akan mengeksploitasi apa yang ada dalam perasaan rakyatnya, kecuali politisi di negara otoriter yang mencitrakan dirinya sebagai diktator atau tiran ketimbang rekan yang dekat kepada rakyatnya. "Jadi yang dilakukan Jokowow ini tidak aneh. Saya kira dia sadar betul memainkan psikologis massa -- berperan mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari rakyat; namun sekaligus juga raja Jawa," katanya.

Jokowi kerap memberikan hadiah di berbagai kesempatan dan ia menyadari betul bahwa hal ini disukai oleh rakyatnya. "Saya lihat, ini kadang muncul juga. Prabu itu harus benevolent -- murah hati. Makanya bagi-bagi hadiah. Itu naluriah sekali. Bagi beras. Lempar kotak isi buku sama pensil. Itu sisi yang dia tampilkan sebagai raja," jelas Made.

Kebiasaan ini juga dilakukan ketika ia menjadi Gubernur DKI Jakarta. Pada 10 November 2013 misalnya, Jokowi mengajak warga solo yang tergabung dalam Komunitas Jalan Jumat Pagi untuk berbelanja di Tanah Abang. Dalam kesempatan itu Jokowi sekalian berusaha mengajak warganya berbelanja di Blok G. Blok ini merupakan komplek pedagang kaki lima yang dulunya pernah berjualan di badan jalan di sekitar Tanah Abang yang memicu kemacetan lalu lintas parah. Mereka bersedia pindah ke dalam gedung asal dibantu promosinya agar dagangan mereka laku.

Pendekatan ini tidak hanya membuat Jokowi memenuhi janji kepada para pedagang melalui promosi gratis. Ia sadar betul sebagai pejabat DKI, orang akan fokus pada tingkah lakunya. Meski sesaat, tapi ada kenaikan pendapatan bagi para pedagang yang berjualan di Blok G. Sebelumnya pada bulan Mei 2013 bertempat di balaikota DKI Jakarta, Jokowi mengundang warga waduk Pluit untuk makan siang bersama. Agenda kali itu, menurut Jokowi hanya sekadar makan siang, meski kemudian kita tahu Pemda DKI saat itu berencana merelokasi warga yang terdampak proyek normalisasi Waduk Pluit.

Soal makan siang ini memang cara paling banyak dilakukan Jokowi dalam karier politiknya. Setelah mengundang PKL di Solo dan Warga Pluit saat menjabat jadi Gubernur, Jokowi mengundang pedagang, sopir, dan tukang ojek pada 1 September 2015 ke Istana Presiden. Jokowi juga beberapa kali mengundang makan komunitas dari pengendara ojek online sampai seniman dan pegiat sosial media di istana negara. Belakangan metode ini diganti saat Jokowi melakukan safari di berbagai pesantren di Indonesia.

Politik kuis Sepeda terbukti moncer merebut perhatian warga Indonesia di media sosial. Lelucon “udah ambil sepedanya sana” kerap digunakan untuk menjawab cibiran dan omongan buruk tentang Presiden RI. Salah satu puncaknya adalah Jokowi mengadakan kuis di Facebook dengan hadiah 10 sepeda. Diunggah pertama kali pada 19 Maret, Presiden menulis, "Kali ini, pertanyaannya bukan tentang nama-nama ikan, pulau, atau provinsi. Tapi hadiahnya sama, sepeda. Ayo, siapa yang mau dapat sepeda, jawab pertanyaan ini ya!"

Pertanyaannya "seperti apakah negara Indonesia yang maju menurut kamu?"

Sampai hari ini pendekatan kuis dan sepeda ala Jokowi terbukti membuat banyak masyarakat melihat ia sebagai sosok yang dekat. Tapi apakah ini menyelesaikan masalah? Jokowi beberapa kali dikritik oleh aktivis karena dianggap terlalu banyak menghabiskan waktu untuk pencitraan ketimbang mengatasi masalah. Misalnya dalam konteks para petani Kendeng yang menyemen kaki di depan istana negara, Jokowi dianggap mengabaikan mereka dan malah sibuk pamer vlog tentang kelahiran kambingnya.

Menurut Made, yang membedakan Jokowi dengan presiden RI sebelumnya adalah bagaimana ia mencitrakan diri. "Jadi, Jokowi itu bukan elit; tidak ningrat; tidak kaya; nggak ganteng juga. Lalu apa yang tinggal? Disini menurut saya menariknya. Dia secara naluriah mengidentifikasikan dirinya dengan rakyat -- berusaha tampil seperti orang kebanyakan," katanya. Ini untuk pertama kalinya rakyat Indonesia memilih presiden yang dekat dengan mereka baik dalam postur tubuh, wajah, dan perilaku. "Orang Jogja bilang, "Jokowi itu Jape Methe" ... artinya kanca, sedulur, gitulah," kata Made.

Komunikasi politik melalui pendekatan santai memang boleh tapi semestinya ia menyentuh inti masalah. Jika mau belajar pada perdana menteri Kanada Justin Trudeu, Jokowi mungkin akan diingat sebagai presiden paling penting dalam sejarah Indonesia. Justin Trudeu dikenal sangat santai, ia pernah melakukan aksi mengangkat tubuh di meja parlemen, tapi ia juga tak segan untuk meminta maaf di hadapan masyarakat Adat dan mengakui pemerintahan Kanada melakukan genosida masal terhadap mereka.

Masyarakat Indonesia tentu akan sangat senang melihat presiden yang santai, ramah, dan dekat dengan rakyatnya melalui kuis bagi-bagi sepeda. Tapi membagi sepeda mungkin tak akan pernah menjadi penting bagi masyarakat Kendeng, Tumpang Pitu, Kulon Progo, dan Benoa yang saat ini tengah melawan korporasi besar.

Baca juga artikel terkait KUIS SEPEDA JOKOWI atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Politik
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti