tirto.id - Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Barack Obama pada 2009 berniat memperbaiki hubungan dengan Iran yang memburuk dalam beberapa tahun sebelumnya. Keduanya sempat bersitegang karena masalah program nuklir Iran.
Berkaca dari pengalaman diplomasi “Ping Pong” yang digunakan oleh AS dalam memulihkan hubungan dengan Cina, Obama pun menggunakan media Youtube sebagai alat diplomasi guna mengatasi kebuntuan hubungan AS dan Iran. Obama menyebut model diplomasi tersebut sebagai “Diplomasi Youtube”.
Sebuah video berdurasi tiga menit 36 detik diunggah di akun Youtube The Obama White House dengan judul The President's Message to the Iranian People dan terbuka untuk publik. Dalam video tersebut, Obama mengucapkan selamat tahun baru kepada warga Iran atau yang dikenal dengan Nowruz. Obama juga menyinggung potensi untuk memperbaiki hubungan kedua negara termasuk peluang yang lebih besar untuk kemitraan dan perdagangan.
Tiga bulan setelah mengunggah video untuk warga Iran di Youtube, pidato Obama di Cairo University dalam lawatannya ke Eropa dan Timur Tengah juga diunggah di akun Youtube Gedung Putih. Dalam pidatonya, Obama menyerukan babak baru dalam hubungan AS dengan negara Islam.
“Saya datang ke sini untuk mengupayakan awal baru antara Amerika dan Muslim di seluruh dunia, suatu awal yang didasarkan pada kepentingan bersama dan saling hormat,” ucap Obama.
Video tersebut juga dilengkapi dengan beberapa subtitle mulai dari bahasa Hindi, Ibrani, Perancis, Rusia, Turki, Inggris, Melayu hingga bahasa Indonesia. Hal ini untuk memudahkan warga dunia untuk memahami isi pidato Obama yang menggunakan bahasa Inggris tersebut.
Usaha Obama untuk mendekat dengan negara Islam terutama Iran tak sia-sia. Pada September 2013, untuk pertama kalinya Presiden AS dan Iran berbicara meski melalui sambungan telepon sejak Revolusi Islam 1979, yang menekankan adanya rasa saling tidak percaya antara kedua negara.
Tak hanya Barack Obama yang memanfaatkan media Youtube, Menteri Luar Negeri Iran, Javad Zarif juga meluncurkan Video di akun Youtubenya. Video berjudul Iran's Message: There Is a Way Forward diunggah dua bulan setelah komunikasi pertama Presiden Iran dengan Barack Obama dan tepat di malam pembukaan pembicaraan tentang program nuklir Iran di Jenewa.
Video itu menjadi video pertama Menlu Iran yang diunggah di akun Youtubenya yang bernama javadzarif, yang memperlihatkan perubahan gaya diplomasi Iran yang sebelumnya banyak menutup akses media sosial. Dalam video berdurasi lima menit 20 detik tersebut, menlu Iran memaparkan perkembangan program nuklir Iran dari sudut pandang negaranya.
“Ini bukan tentang keras kepala, atau menolak untuk memperhitungkan pandangan orang lain, kami telah berulang kali bergandengan tangan untuk berdiri melawan tirani, menuntut penghormatan, memutuskan nasib kami sendiri, daripada membiarkan orang lain memutuskannya bagi kami,” ucap menlu Iran.
Kasus program nuklir Iran, menurut menlu itu adalah prestasi ilmiah dari Iran. Ini juga menjadi kebanggaan bagi mereka. Pesan dari video tersebut tentu tak hanya untuk warga Iran tapi juga ditujukan kepada penduduk dunia.
Kini, diplomasi yang biasanya terjadi di belakang layar dapat dengan mudah disaksikan oleh masyarakat dunia. Tak hanya menjadi saksi tapi kini masyarakat dunia juga dapat mengkritisi. Seperti yang terjadi saat Barack Obama, David Cameron dan Helle Thorning-Schmidt asik berswafoto di acara mengenang Mandela yang berpulang pada usia 95 tahun di stadion Soweto Johannesburg, Afrika Selatan. Swafoto para pemimpin dunia itu dikritik keras oleh netizen karena dianggap kurang pantas bagi seorang pemimpin negara di acara kenegaraan tersebut.
Dari Twitter ke Youtube?
Fenomena menggunakan media sosial sebagai alat diplomasi bukanlah hal baru dalam dunia diplomasi. Twitter sebelumnya telah menjadi media sosial yang paling banyak digunakan oleh para pemimpin dunia sebagai alat diplomasi. Kini, Youtube juga mulai menjadi salah satu alat diplomasi bagi para pemimpin dunia.
Berdasarkan laporan Twiplomacy 2016, Youtube adalah media sosial ketiga yang paling banyak digunakan oleh para pemimpin dunia. Ia berada di bawah Twitter yang mencapai 793 akun pemimpin dunia dan Facebook yang digunakan oleh 537 pemimpin dunia. Youtube digunakan oleh 346 pemimpin dunia.
Namun, dari segi pengguna secara global, sudah tentu Youtube adalah yang tertinggi dari semua media sosial karena menurut Alexa, Youtube menjadi situs kedua yang paling banyak dikunjungi setelah Google. Di posisi ketiga barulah Facebook.
William A. Rugh dalam buku berjudul Front Line Public Diplomacy: How US Embassies Communicate with Foreign Publics, mengungkapkan bahwa kini pemerintah harus lebih proaktif untuk hadir di tempat orang-orang ramai berkumpul di media sosial seperti Youtube.
“Media sosial bagus untuk menyampaikan informasi kepada anak muda dan Youtube menyediakan media [video] yang baik untuk menyampaikan pesan dalam bentuk yang dapat diakses orang,” tulis William.
Melihat fenomena Youtube ini, Presiden Joko Widodo pun tak ingin ketinggalan. Presiden Jokowi meluncurkan akun Youtube resminya pada Sabtu 28 Mei 2016 di Istana Bogor. Video terbaru yang diunggah Jokowi yakni saat makan siang bersama Raja Salman.
Dalam video berdurasi dua menit 26 detik tersebut, Jokowi memperlihatkan keakrabannya dengan Raja Salman. Jokowi juga menegaskan jika kunjungan tersebut adalah kunjungan balasan, menepis rumor defisitnya anggaran di Arab Saudi.
“Kunjungan ini merupakan kunjungan balasan dua tahun yang lalu. Saat itu saya menyampaikan undangan agar beliau Sri Baginda Raja Salman bisa berkunjung ke Indonesia dan kunjungan ini merupakan kunjungan balasan atas kedatangan saya ke Arab Saudi tahun 2015 yang lalu,” kata Jokowi.
Raja Salman juga menyampaikan pesan bahwa Arab Saudi dan Indonesia adalah saudara dan ia sangat senang berada di Indonesia. Presiden Jokowi pun menutup video singkat itu dengan harapan agar dengan kunjungan Raja Salman ini dapat meningkatkan hubungan baik antara Indonesia dan Arab Saudi serta hubungan yang saling menguntungkan.
Menanggapi fenomena vlog Jokowi tersebut, Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Suci Lestari Yuana kepada Tirto, mengungkapkan jika fenomena ini termasuk dalam Digital Diplomacy atau Diplomacy 2.0 yang memang sudah digunakan oleh beberapa pemimpin dunia, karena memiliki kelebihan yakni informasi yang tersampaikan dengan gamblang dan langsung dapat diakses oleh warga negara.
“Di sisi lain, diplomasi ini juga memberikan kesan yang lebih personal seolah-olah jarak antara presiden dan warga negara tidak ada. Warga negara sekarang dapat menjadi bagian dan saksi kerja sama bilateral,” ujar Nana sapaan akrab Suci Lestari Yuana.
Namun, ini juga menjadi tantangan bagi pemerintah untuk membuktikan bahwa hubungan baik dan saling menguntungkan antara Indonesia dan Arab Saudi yang disampaikan dalam vlog Jokowi tersebut bukanlah hanya sekadar “lip service” belaka.
“Sebagai netizen yang cerdas, kita tentu tidak ingin silau dengan kemewahan yang ada dengan kunjungan ini, tetapi kita juga perlu memantau dan memastikan bahwa kerja sama tersebut memang saling menguntungkan,” lanjut Nana.
Vlog atau Youtube menjadi media yang bisa mempersingkat proses two level game untuk meyakinkan konstituen dalam negeri bahwa agenda kunjungan memiliki tujuan yang saling mengeratkan hubungan bilateral dengan pendekatan yang lebih personal dan populer.
Two level game yang dimaksud adalah bahwa untuk memperoleh keberhasilan diplomasi, pemimpin negara tidak hanya melakukan negosiasi antarpemimpin negara tetapi juga negosiasi di dalam negeri untuk mendapat dukungan konstituen.
Namun, menurut Nana, dari sisi efektivitas memenuhi 4 fungsi diplomasi (representasi, mengumpulkan informasi, mengeratkan hubungan dan monitoring hukum internasional) masih terlalu dini untuk menyimpulkan metode diplomasi 2.0 ini efektif.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti