tirto.id - Amnesty Internasional Indonesia (AII) mengkritik keras keputusan Kepolisian RI yang menyatakan, enam petugas kepolisian Indonesia yang terlibat dalam kematian dua mahasiswa pengunjuk rasa pada September lalu.
Pasalnya, petugas kepolisian itu hanya diberikan hukuman administratif yang ringan setelah melalui persidangan disiplin internal kepolisian.
Secara khusus, keenam petugas menerima peringatan tertulis, yakni kenaikan pangkat dan gaji mereka ditangguhkan selama satu tahun, serta diberi sanksi 21 hari "penempatan di tempat khusus".
Hukuman ini dijatuhkan setelah sidang disiplin internal pada 28 Oktober menyatakan bahwa para petugas telah melanggar Kode Etik Kepolisian akibat perilaku mereka selama aksi protes, di mana para mahasiswa tersebut terbunuh.
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai sanksi yang dijatuhkan oleh Propam Polda Sulawesi Tenggara adalah kegagalan total pihak Polri untuk memastikan pertanggungjawaban atas pelanggaran serius hak asasi manusia.
"Terbunuhnya dua orang pengunjuk rasa menunjukkan bahwa diperlukan upaya yang jauh lebih serius untuk menegakkan akuntabilitas. Dalam hal ini, untuk memperbaiki kegagalan akuntabilitas, kami menyerukan pihak berwenang Indonesia untuk memulai investigasi yang independen, menyeluruh, dan efektif terhadap pembunuhan di luar hukum dan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh polisi," kata Usman lewat pers rilis yang diterima wartawan Tirto, Jumat (1/11/2019) pagi.
Usman menilai, jika penyelidikan menyimpulkan bahwa petugas polisi melakukan pembunuhan di luar hukum atau menggunakan kekuatan berlebihan.
Konsekuensinya, anggota kepolisian yang diduga bertanggung jawab, termasuk orang-orang dengan tanggung jawab komando, harus dibawa ke pengadilan dalam proses yang memenuhi standar keadilan internasional, dan para korban diberikan reparasi yang efektif.
"Kegagalan membawa tersangka pelaku pelanggaran ini ke pengadilan akan memperkuat persepsi bahwa aparat kepolisian beroperasi di atas hukum dan akan memicu iklim ketidakpercayaan terhadap pasukan polisi di negara tersebut," kata Usman.
Ia menilai impunitas di antara petugas kepolisian adalah masalah yang sudah berlangsung lama di Indonesia, yang telah dibahas berkali-kali oleh Amnesty International selama bertahun-tahun sejak jatuhnya Soeharto pada 1998.
Usman mengatakan, kendati telah adanya sejumlah Peraturan Kepala Kepolisian (Perkap), termasuk Nomor 8/2009 Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, dan No. 16/2006 tentang Pengendalian Massa, regulasi-regulasi tersebut tak membikin perubahan yang berarti dalam praktik pemolisian di Indonesia.
"Khususnya yang berkaitan dengan penggunaan kekuatan yang berlebihan atau tidak diperlukan," lanjut Usman.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) juga menilai hal serupa. Kontras menilai Keputusan Polda Sulawesi Tenggara yang hanya menjatuhkan sanksi karena pelanggaran kode etik kepada enam orang anggota kepolisian, tanpa segera diikuti dengan pemeriksaan pidana terhadap terduga pelaku dan penanggung jawab penembakan.
Menurut Kontras, Polri seharusnya tetap memproses terduga pelaku penembakan dan penanggung jawab komando dalam pengamanan aksi yang mengakibatkan terjadinya penembakan dan jatuhnya korban jiwa.
"Dalam hal ini, putusan sidang etik ini tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan akibat peristiwa penembakan yang telah mengakibatkan hilangnya nyawa korban," kata Koordinator Kontras, Yati Andriyani, Jumat (31/10/2019).
Akibatnya, polisi hanya mengenakan sanksi etik terhadap terduga pelaku, kata Yati, hingga kini tidak terungkap siapa pelaku yang diduga melakukan penembakan dan kekerasan hingga jatuhnya korban saat aksi di Kendari tersebut.
"Kami khawatir bahwa ketiadaan akuntabilitas dan transparansi dari aparat kepolisian dalam kasus ini akan membuat penyelesaian kasus semakin kelam, seperti yang terjadi pada peristiwa tewasnya sembilan orang pada saat peristiwa Aksi 21-23 Mei di Jakarta, yang hingga saat ini tidak berhasil mengungkap siapa pelaku penembakan tersebut," katanya.
Kontras mengkritik langkah Polda Sultra yang tidak menunjukkan akuntabilitas dan transparasinya dalam mengungkap peristiwa penembakan karena tidak menyebutkan peran dari masing-masing pelaku dalam melakukan pelanggaran kode etik yang dimaksud, namun hanya sebatas membawa senjata api dalam penanganan aksi.
"Sanksi administratif tersebut juga menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap penggunaan senjata api yang dilakukan oleh kepolisian. Praktik ini tidak sebanding dengan akibat yang ditimbulkan terkait dengan penyalahgunaan senjata api dan kekerasan yang diduga mengakibatkan meninggalnya korban," lanjut Yati.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Maya Saputri