tirto.id - Pihak Kepolisian Resor Mimika, Papua menetapkan 21 orang yang diduga pelaku berbagai aksi teror penembakan di wilayah Distrik Tembagapura dan saat ini masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
Kapolres Mimika AKBP Victor Dean Mackbon kepada Antara di Timika, Sabtu, mengatakan 21 orang tersebut diduga kuat terlibat berbagai aksi teror penembakan terhadap kendaraan dan fasilitas milik PT Freeport Indonesia, kasus penembakan terhadap anggota Brimob, kasus penembakan terhadap warga sipil, kepemilikan senjata api dan lainnya sejak 2015 sampai sekarang.
"Kami mengimbau agar mereka segera menyerahkan diri," kata AKBP Victor.
Kapolres memastikan ke-21 DPO tersebut kini menguasai sejumlah perkampungan di dekat Kota Tembagapura seperti Utikini Lama, Kimbeli hingga Banti.
Kelompok ini juga yang ditengarai menghalang-halangi dan melakukan intimidasi kepada warga sipil untuk melintas ke Tembagapura guna mendapatkan barang kebutuhan pokok sehari-hari.
"Diindikasikan seperti itu. Mereka menghambat warga untuk bepergian kemana-mana. Tidak ada penyanderaan warga sipil, cuma mereka membatasi untuk melintas saja," jelas Victor.
Identitas 21 terduga pelaku penembakan di wilayah Tembagapura yang masuk dalam DPO Polres Mimika tersebut sebagai berikut: Ayuk Waker, Obeth Waker, Ferry Elas, Konius Waker, Yopi Elas, Jack Kemong, Nau Waker, Sabinus Waker, Joni Botak, Abu Bakar alias Kuburan Kogoya, Tandi Kogoya, Tabuni, Ewu Magai, Guspi Waker, Yumando Waker alias Ando Waker, Yohanis Magai alias Bekas, Yosep Kemong, Elan Waker, Lis Tabuni, Anggau Waker, dan Gandi Waker.
Hampir semua pentolan kelompok bersenjata tersebut berkedudukan di Kampung Utikini Lama, Distrik Tembagapura.
Mereka diduga secara bersama-sama kelompok kriminal bersenjata (KKB) melakukan penembakan dan mengusai senjata api tanpa hak atau izin. Perbuatan mana melanggar ketentuan Pasal 340 KUHP, Pasal 187 KUHP, Pasal 170 KUHP dan Pasal 1 UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951.
Menanggapi hal ini, Wakil Direktur Perhimpunan Advokasi Kebijakan dan HAK Asasi Manusia (PAK HAM) Papua, Uten Sutendy menilai perlunya pendekatan kultural secara dialog dengan kelompok bersenjata di Papua.
"Paradigma saat ini adalah melakukan rekonsiliasi ke arah pendekatan kultural bukan represif. Atau pendekatan sosial kultural," katanya kepada Antara di Jakarta, Jumat malam.
Disebutkan, jika pendekatan kultural dapat dilakukan khususnya oleh pemerintah maka upaya untuk "membumi" sebagai sebuah kekuatan yang luar biasa hingga persoalan tersebut dapat diselesaikan dengan baik.
Hal senada dikatakan oleh Yislam Alwini, Ketua Pendiri PAK HAM Papua, untuk penyelesaian dengan kelompok bersenjata itu, harus memahami karakter masyarakat di wilayah tersebut.
"Hal ini mengingat psikologis masyarakat dalam suasana kekecewaan. Karenanya pendekatan persuasif harus dilakukan," ujarnya.
Seperti diketahui, kata dia, karakter suku di Papua adalah berperang, maka harus dilakukan pendekatan tersendiri. "Jangan sampai seseorang sakit kepala tapi dikasih obat cacing," katanya.
Direktur PAK HAM Papua, Matius Murib mengimbau untuk menghentikan kekerasan di Papua dan hormati Hak Asasi Manusia (HAM) karena penyelesaian dengan cara angkat senjata bukan zamannya lagi.
Ia menyebutkan kekerasan yang terjadi di Papua menimbulkan kerugian baik dari anggota Brimob, masyarakat sipil. "Kita hentikan tindak angkat senjata itu, kita lakukan pendekatan dialog dan negosiasi dengan kelompok bersenjata," katanya.
Karena itu, pihaknya terus mendorong dimaksimalkannya kerja tim negosiasi yang beranggotakan tokoh agama, masyarakat dan sebagainya. Saya nilai saat ini, kinerjanya belum maksimal hingga harus ditingkatkan dan dievaluasi, katanya.
Dari informasi yang diperoleh, terkait pemberitaan adanya masyarakat yang disandera oleh kelompok bersenjata. Sebenarnya mereka tidak disandera karena mereka memang tinggal di sana. "Saat hendak dievakuasi khawatir menjadi korban kekerasan, namun warga menolaknya," katanya.
Ia sependapat dengan pernyataan sebelumnya bagi warga setempat perang merupakan sesuatu budaya yang berlangsung turun temurun. "Karena itu, uneg-uneg masyarakat harus dipikirkan. Jika dialog tidak dikedepankan maka persoalan di Papua tidak akan selesai," katanya.
Utamanya, tambah dia, harus ada ruang terbuka agar suara masyarakat didengar. "Karena itu tolak kekerasan di Papua," katanya.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri