tirto.id - DPD PDIP DKI Jakarta melaporkan kasus pembakaran bendera ke Polda Metro Jaya, Jumat (26/6/2020). Laporan terdaftar dengan nomor LP/3.656/6/VI/YAN.2.5/2020/SPKT PMJ dengan Pelapor Ronny Berty Talapessy selaku kuasa hukum partai.
“Pasal yang kami laporkan adalah Pasal 160, 170, dan 156 KUHP," kata Ronny. Barang bukti yang disertakan berupa hasil cetak pemberitaan di media massa serta video pembakaran bendera.
Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan DKI Jakarta, William Yani, mengatakan mereka lapor karena “keberatan dengan pembakaran bendera dan menganggap kami PKI.”
Pembakaran bendera PDIP terjadi pada Rabu 24 Juni di depan DPR RI. Ketika itu berbagai organisasi seperti FPI, PA 212--yang bergabung dalam Aliansi Nasional Anti Komunis--tengah berdemonstrasi menuntut legislator menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Massa juga membakar bendera PKI, partai yang dinyatakan terlarang sejak 1966.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid berharap cara polisi menangani kasus pembakaran bendera sama seperti cara mereka menangani kasus-kasus lain. “Jika polisi bisa sigap dalam kasus pembakaran bendera PDIP, maka polisi harus bisa sigap pada kasus perusakan barang milik warga masyarakat biasa,” katanya ketika dihubungi wartawan Tirto, Senin (29/6/2020). “Sebab polisi adalah pelayan dan pengayom masyarakat.”
Ia mengatakan hal seperti ini juga berguna agar polisi tak dicurigai masyarakat. Jangan sampai masyarakat memandang polisi tebang pilih: cepat mengusut kasus terkait partai penguasa, tapi lamban mengurusi masalah masyarakat biasa.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati juga berharap serupa. Ini karena dalam beberapa kasus Polri tampak tak netral, misalnya, “terlihat dari pengusutan kasus pembakaran bendera, tapi tidak mengusut soal peretasan Ravio,” katanya kepada wartawan Tirto. “Kita tak pernah tahu sebetulnya kenapa polisi cepat memproses [pelaporan] partai. Sulit mengatakan tidak ada nuansa politis dalam cepat atau tidaknya kasus diteruskan.”
Pada 8 Juni 2020, Ravio Patra, aktivis cum peneliti independen kebijakan publik, memenuhi panggilan Unit Siber Polda Metro Jaya untuk diperiksa terkait peretasan akun Whatsapp miliknya. Pemeriksaan itu merupakan tindak lanjut dari laporan Ravio pada 27 April ihwal laporan tindak pidana peretasan sebagaimana diatur dalam Pasal 30 Ayat (3) juncto Pasal 46 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Kala itu Ravio diperiksa sekira empat jam dengan pertanyaan seputar kronologi peretasan, kerugian akibat peretasan, siapa saja saksi, dan bukti pendukung peretasan. Ravio, yang didampingi oleh tim hukum Koalisi Anti Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus, disingkat Katrok, memberikan bukti berupa tangkapan layar peretasan dan komunikasi dengan beberapa pihak.
Kabar terakhir, polisi masih menunggu jawaban Facebook, pemilik Whatsapp, di Amerika Serikat.
Kasus lain terkait penyelidikan pelaporan Dewi Tanjung terhadap Novel Baswedan. Dewi bilang Novel, penyidik senior di KPK, merekayasa penyerangan yang membuat matanya rusak. Lalu tim hukum Novel lapor Dewi sudah memberikan laporan palsu. Sampai sekarang kasus itu belum ada kepastian meski dua penyiram air keras telah menjalani persidangan.
Pada 28 Desember 2019, Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Argo Yuwono mengatakan kasus itu masih dalam proses klarifikasi dan belum ada gelar perkara.
Asfinawati menambahkan, jika warga miskin mengadukan peristiwa tertentu ke kepolisian, Korps Bhayangkara relatif lambat memproses. Sebaliknya, bila korporasi yang lapor dugaan tindak pidana oleh warga, mereka bergegas.
“Ada kasus yang dilaporkan tapi diselidiki, tapi ada kasus yang dilaporkan malah didiamkan,” katanya. “Setiap orang menganggap kasusnya penting. Apakah kasus kehilangan ponsel tak kalah penting daripada perkara pembakaran bendera?”
Pernyataan Asfinawati selaras dengan temuan Ombudsman pada 2018. Mereka menyebut polisi adalah instansi yang paling sering dilaporkan. Lebih dari setengah, tepatnya 56 persen, terkait penanganan perkara yang berlarut. Ada pula penyimpangan prosedur 16 persen, tidak memberikan pelayanan sama sekali 10 persen, tidak kompeten 7 persen, dan penyalahgunaan kewenangan 4 persen.
Setahuan kemudian, isu penundaan berlarut masih mendominasi laporan Ombudsman. Bedanya, polisi tak lagi menempati urusan teratas. Kini instansi terbanyak yang dilaporkan adalah Pemerintah Daerah (2.274 pengaduan) dan instansi pemerintah/kementerian (613 pengaduan). Sementara Polri mendapat 560 pengaduan.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus mengatakan kasus pembakaran bendera partai berlogo banteng itu “masih dalam penyelidikan.” Kepada reporter Tirto, ia bilang ada lima saksi yang diperiksa, dua ahli dan tiga pelapor.
Hal serupa terjadi dalam kasus Ravio dan Dewi-Novel. “Masih dalam penyelidikan semua. Kok malah membanding-bandingkan?”
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino