Menuju konten utama

Polisi Intimidasi & Pukul Wartawan Saat Liput Aksi Mahasiswa di DPR

Selama aksi Reformasi Dikorupsi, sejumlah wartawan menjadi korban kekerasan polisi. Jurnalis Tirto termasuk salah satunya.

Polisi Intimidasi & Pukul Wartawan Saat Liput Aksi Mahasiswa di DPR
Ilustrasi kekerasan terhadap jurnalis. tirto.id/Lugas

tirto.id - Vany Fitria, wartawan Narasi TV, syok ketika ponselnya dirampas lalu dibanting polisi di Bendungan Hilir Rabu malam. Ponsel itu digunakan Vany untuk merekam kerusuhan yang terjadi di sana.

Saat itu, ia melihat ada siswa STM ricuh dengan polisi. Ia pun merekam peristiwa itu dengan ponselnya. Tiba-tiba seorang polisi berseragam serba hitam mendatangi dan memperingatkannya untuk berhati-hati. Sekitar 7 sampai 8 polisi lainnya kemudian menyusul mendatangi Vany.

Tanpa basa-basi, seorang polisi merampas handphone milik Vany, lalu membantingnya. Seorang polisi lainnya memungut ponsel yang sudah hancur itu lalu dikantongi.

Seorang polisi lainnya lalu memukul lengan Vany dengan tameng sampai ia kesakitan. Vany sudah menjelaskan bahwa ia adalah jurnalis dengan menunjukkan kartu pers. Tapi tidak ada gunanya, polisi-polisi itu terlihat emosi. Ia lantas digelandang ke Pulau Dua Resto.

Kisah itu diceritakan Vany pada saya dua jam setelah kejadian. Saat itu Vany masih terlihat trauma.

Ia bukan satu-satu jurnalis yang jadi korban kekerasan polisi pada aksi 25 September 2019. Sebelum bertemu Vany, saya juga melihat seorang wartawan dianiaya oleh polisi.

Penganiayaan itu terjadi menjelang jam sembilan malam di sekitar Bentara Budaya Jakarta. Saat itu puluhan polisi dan intel menangkap 14 orang yang mereka duga sebagai "massa perusuh", yang bersembunyi di sekitar sana.

Mereka ditangkap satu per satu. Baju dan celana dilucuti, hanya menyisakan celana dalam. Polisi-polisi dan intel melayangkan bogem mentah. Mereka dikumpulkan di satu titik sembari menunggu mobil tahanan datang.

Tak lama berselang, ada satu orang diciduk dan dituding sebagai bagian dari massa. Tapi, lelaki itu menepis dan mengaku sebagai wartawan.

"Pak, saya wartawan. Jangan pukul-pukul. Profesional, dong," katanya.

Lelaki itu mengenakan kaus dengan tulisan Kompas.id dibalut jaket. Namun, polisi-polisi itu tidak percaya begitu saja dan memukulinya. Tasnya dibongkar. Keyboard portabelnya dikeluarkan dari tas dan dibuang.

Si lelaki itu berteriak dan melawan. Ia berkata polisi jangan berlaku kasar kepada wartawan. Ia tidak terima keyboard-nya dilempar ke jalanan.

Saya berusaha melerai sembari berkata kepada polisi bahwa kami adalah jurnalis. Saya membawa lelaki itu menuju ke depan gedung Menara Kompas, dan menemukan sepeda motor miliknya. Akhirnya ia membawa sepeda motornya ke dalam gedung Menara Kompas.

Giliran Saya Digelandang

Setelah dua kekerasan terhadap dua orang jurnalis itu, giliran saya yang menjadi korban. Peristiwa itu terjadi saat saya meliput aksi Reformasi Dikorupsi pada 30 September 2019.

Sejak sore massa pelajar dan kepolisian saling pukul mundur bergantian--massa dengan batu hingga molotov, polisi dengan gas air mata. Pada pukul 18.56 WIB polisi berhasil memukul massa pelajar di bawah jembatan layang Bendungan hilir. Area jadi steril dari massa aksi. Hanya ada para wartawan, anggota Brimob, dan intel di sana.

Tiba-tiba terjadi cekcok antara para anggota marinir AL di dalam area RS Gigi dan Mulut LAKDOGI TNI AL RE Martadinata dengan para polisi dan intel di luar.

"Jangan kau pikir kita pengkhianat," kata seorang anggota TNI di dalam area RS.

Cekcok dipenuhi dengan kata kasar. Saya berusaha merekam peristiwa itu dengan ponsel. Tapi justru anggota TNI meneriaki dan meminta saya dan dua rekan wartawan lainnya diamankan.

Saya pun berjalan menjauh dari tempat cekcok tadi. Tiba-tiba seorang polisi berseragam bebas bertanya saya dari media mana lalu disusul dengan pertanyaan menyudutkan.

"Kamu ikut lempar-lempar enggak?"

"Enggak lah Pak, saya kan dari arah polisi dari tadi malah. Saya media [ngepos di] DPR, Pak."

Saya sudah menunjukkan kartu pers. Saya sudah berusaha meyakinkan polisi bahwa saya bukan bagian dari massa aksi. Polisi itu tetap tak percaya, lalu memeriksa saya.

Salah seorang polisi menyuruh saya membuka tas. Dua orang anggota polisi lainnya memegang saya dan membuka tas saya.

"Coba cek dulu. Tadi ada kejadian kaya gini, ngaku wartawan tapi isi tasnya bom molotov," kata salah seorang yang memeriksa.

Mereka hanya menemukan kabel charger, roti, dan dompet di tas saya bagian dalam. Tapi di bagian depan, mereka menemukan dua selongsong gas air mata--satu berwarna abu-abu, satu lagi merah--dan bertanya mengapa ada selongsong.

Saya menjelaskan, itu untuk tugas reportase saya. Untuk saya bawa ke kantor dan pelajari detailnya.

Tapi jawaban saya justru direspons lain. Saya digelandang dua orang polisi ke DPR. Kepala saya dipiting dan saya diseret supaya berjalan cepat menuju DPR RI, yang jaraknya 500 meter dari jembatan layang Bendungan Hilir.

"Saya tadi dapat satu orang ngaku wartawan tapi bawa molotov," kata salah satu yang membawa saya sembari perjalanan.

"Tapi kan saya enggak bawa molotov, mas lihat sendiri tadi di tas saya," kata saya membela diri.

Sepanjang perjalanan, kami kami bertiga melewati beberapa kali massa polisi sedang beristirahat dan menyoraki saya, bahkan beberapa orang Brimob sudah bersiap memegang pentungan untuk memukul. Saya diperlakukan seolah saya seorang kriminal. Untungnya dua orang polisi yang membawa saya berusaha melindungi.

"Jangan, jangan, saya disuruh bawa ke Resmob."

Ketika hendak sampai gerbang DPR RI. Salah satu seorang yang membawa saya meminta gawai saya untuk diamankan. Saya menolak.

Mendekati pintu DPR, beberapa wartawan mengenali saya. Melihat saya digiring mereka pun memanggil saya. Saya pun berupaya meyakinkan ke dua polisi ini bahwa itu teman saya dan saya wartawan di DPR RI.

Saya dibawa ke arah pos polisi. Para wartawan mengikuti dari belakang. Saya disuruh masuk ke dalam mobil tahanan, namun saya tidak mau karena saya tidak salah apa-apa.

"Ngapain kamu bawa selongsong? Untuk apa?" kata salah seorang polisi di sana.

"Saya buat bahan liputan di kantor. Lah, emang ada aturan yang melarang selongsong enggak boleh dibawa?" kata saya membalas.

"Kamu itu, udah untung diselamatin, bagaimana kalau dipukul di sana? Enggak usah ngeyel. Emangnya tugas wartawan bawa-bawa selongsong?"

"Aturannya yang ngelarang mana Pak?"

Beberapa wartawan lalu membantu meyakinkan polisi kalau membawa barang-barang seperti itu lumrah di dunia jurnalisme, apalagi untuk bahan liputan mendalam dan investigasi.

Akhirnya setelah debat panjang, kartu pers, KTP, dan wajah saya difoto. Akhirnya saya dilepaskan.

Kekerasan terhadap jurnalis

Kekerasan terhadap jurnalis. tirto.id/Lugas

Para Jurnalis Lainnya

Pekan lalu memang menjadi pekan terberat untuk para wartawan. Selain saya dan dua wartawan lainnya yang bermasalah dengan polisi, masih ada empat lainnya dalam catatan AJI Indonesia.

Empat jurnalis itu menjadi korban kekerasan dan intimidasi saat meliputan aksi demonstrasi mahasiswa dan masyarakat sipil di sekitar Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Selasa (27/9/2019). Demikian data sementara yang dihimpun Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.

Mereka adalah jurnalis dari Kompas.com Nibras Nada Nailufar, jurnalis IDN Times Vanny El Rahman; jurnalis Katadata Tri Kurnia Yunianto; dan jurnalis Metro TV Febrian Ahmad.

AJI Jakarta mengutuk keras segala kekerasan terhadap jurnalis, baik yang dilakukan aparat maupun massa. Kekerasan itu merupakan tindakan pidana sebagaimana diatur UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Dalam peraturan itu, menghalang-halangi kerja jurnalis bisa diancam hukuman penjara paling lama dua tahun dan denda uang paling banyak Rp500 juta.

Ketua Divisi Advokasi AJI Jakarta Erick Tanjung mendesak polisi menangkap pelaku kekerasan terhadap jurnalis, sekalipun itu anggota mereka sendiri.

"Semua pelaku kekerasan terhadap jurnalis harus diproses hukum untuk diadili hingga ke pengadilan," kata Erick kepada reporter Tirto.

Tak hanya oleh polisi, kekerasan juga dilakukan massa yang tak diketahui asalnya. Ini masalahnya. Selama ini belum ada tindakan tegas dari pelaku dari pihak kepolisian. Pelaku kekerasan terhadap jurnalis selalu lepas dari jerat hukum.

Bila pembiaran ini terus terjadi, kekerasan terhadap jurnalis ini bisa terus berulang. Kemarin ada Vany, Nibras, Vanny, Tri, Febrian, kemudian saya. Siapa lagi?

Baca juga artikel terkait KEKERASAN JURNALIS atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Mild report
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Mawa Kresna