Menuju konten utama

Polemik MD3: Jokowi Dinilai Tak Paham Proses Pembentukan UU

Sikap Jokowi yang tidak mau menandatangani draf UU MD3 dinilai Lucius sebagai sikap pribadi.

Polemik MD3: Jokowi Dinilai Tak Paham Proses Pembentukan UU
Pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri di Istana Batu Tulis, Selasa (20/2/2018) malam. FOTO/Doc. PDI Perjuangan

tirto.id - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dinilai sebagai partai yang paling diuntungkan dari revisi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. PDIP kini mendapat jatah pimpinan DPR dan MPR setelah Undang-undang tersebut direvisi.

“PDIP dari awal berjuang mati-matian untuk mendapatkan kursi pimpinan dengan alasan pemenang pemilu," kata peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus kepada Tirto, Kamis malam (22/2/2018).

Upaya PDIP mendapat jatah kursi pimpinan didukung fraksi lain. Fraksi pendukung ini rupanya mengharapkan jatah serupa. Pembahasan revisi UU MD3 ini kemudian menjadi salah satu prioritas dari lima prioritas rancangan Undang-undang yang harus diselesaikan di masa sidang III DPR 2017-2018.

Selain didukung fraksi-fraksi di DPR, Lucius menyebut revisi ini juga mendapat dukungan dari pemerintah. Usulan penambahan pimpinan dalam revisi UU MD3 masuk dalam Daftar Invetaris Masalah (DIM) yang diusulkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly.

“Kalau DIM-nya seperti itu, sudah pasti Jokowi setuju,” kata Lucius.

Perubahan UU MD3 akhirnya disetujui pemerintah yang diwakili Menteri Yasonna. Dalam Rapat Kerja pengambilan keputusan tingkat I pada 7 Februari 2018, pemerintah dan DPR menyepakati perubahan 14 pasal, termasuk penambahan satu kursi pimpinan DPR untuk PDIP, tiga kursi pimpinan MPR untuk PDIP, Gerindra dan PKB, dan satu kursi pimpinan DPD.

Pada saat pengesahan itu, Yasonna menyatakan pemerintah menyetujui penambahan kursi pimpinan MPR, DPR dan DPD dalam revisi UU MD3 karena memperhatikan dinamika dalam pembahasan yang mengarah pada pemberian jatah pimpinan untuk PDIP.

Dalam Rapat Paripurna DPR pengesahan RUU MD3 pada 12 Februari 2018, pemerintah tidak memberikan nota keberatan. Revisi UU kemudian disahkan menjadi UU setelah disetujui delapan dari 10 fraksi yang ada di DPR.

Pimpinan MPR, DPR dan DPD yang baru sedianya dilantik dalam rapat paripurna penutupan masa sidang III pada Rabu 14 Februari 2018, tapi pelantikan batal karena Presiden Jokowi belum menandatangani draf UU MD3 yang baru.

Sepekan kemudian, Menteri Yasonna mengatakan Presiden Jokowi enggan menandatangani draf UU MD3 baru karena kaget dengan pasal-pasal kontroversial di dalamnya: pasal 73 tentang pemanggilan paksa, pasal 122 huruf K tentang contempt of parliament, dan pasal 245 ayat 1 tentang hak imunitas DPR.

Sikap Jokowi yang tidak mau menandatangani draf UU MD3 dinilai Lucius sebagai sikap pribadi. “[Itu] Hanya mengungkapkan sikap pribadinya atas apa yang muncul dalam UU MD3 yang dia tidak tahu prosesnya," kata Lucius.

Menurut Lucius, UU ini akan dinyatakan sah setelah 30 hari sejak pengesahan oleh DPR meskipun tanpa tanda tangan presiden. Aturan ini merujuk pada pasal 73 ayat 1 dan 2 UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Peundang-undangan.

Jokowi Dilema

Menurut Lucius, Presiden Jokowi tetap bisa membuktikan keseriusan menolak UU MD3 dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Penerbitan Perppu pernah dilakukan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono saat enggan menandatangani UU Pilkada pada 2014. Kala itu, Demokrat juga ikut dalam pembahasan UU Pilkada sampai pengesahannya.

“Tapi itu terserah Pak Jokowi. Apakah hanya sebatas mengungkapkan ketidaksetujuannya dengan tidak menandatangani [UU MD3] atau ada langkah lanjutan," kata Lucius.

Kondisi ini menjadi dilema buat Jokowi. Lucius memprediksi Jokowi sulit menerbitkan Perppu untuk menolak UU MD3, lantaran dapat membatalkan seluruh perubahan UU MD3. Dalam perubahan UU itu, dua partai pendukung Jokowi mendapat jatah pimpinan di DPR dan MPR.

Jokowi dinilai tidak akan mengambil risiko untuk sebuah keputusan “Yang akan melukai parpol yang dia andalkan untuk kembali mengusung di 2019,” kata Lucius.

Sebaliknya, Jokowi diprediksi mendapat imbas negatif dari masyarakat jika dirinya tidak menerbitkan Perppu untuk membatalkan UU MD3. Jokowi akan dapat citra sebagai pendukung UU MD3 dan bisa berimbas negatif bagi tingkat elektoralnya di Pilpres 2019.

“Saya kira dilema itu yang kemudian membuat Jokowi hanya bersikap tidak menandatangani, tanpa segera mengambil langkah selanjutnya,” kata Lucius.

Jokowi Harus Bertanggung Jawab

Pakar Hukum Tata Negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti menyatakan Presiden Jokowi tidak bisa sebatas menyatakan sikap politik pribadi dalam menolak UU MD3. Gubernur Jakarta Periode 2012-2014 itu dinilai Bivitri turut bertanggung jawab terhadap pengesah UU yang berpeluang menjadikan DPR sebagai lembaga superbody tersebut.

“Logikanya, tidak mungkin presiden sama sekali tidak tahu dalam pembahasan ini,” kata Bivitri.

Bivitri tidak setuju jika Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu, lantaran UU MD3 tidak masuk dalam kategori kegentingan mendesak yang menjadi syarat dikeluarkannya Perppu dan menyalahi konstitusi.

“Kegentingan yang mendesak itu misalnya besok perang terus pemerintah belum punya peraturan tentang perang. Yang kalau tidak ada itu negara hancur,” kata Bivitri.

Bivitri juga tidak setuju dengan penyelesaian UU MD3 melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). "Jangan biarkan rakyat selalu ditumbalkan untuk beradu argumen dengan MK. Ini kan awal masalahnya di pemerintah," kata Bivitri.

Pengajar di Sekolah Hukum Indonesia Jantera ini menyarankan Jokowi meminta DPR segera merevisi kembali UU MD3 baru setelah masa reses berakhir pada 5 Maret nanti. Dengan begitu, menurutnya pemerintah dapat dikatakan telah bertanggung jawab atas masalah yang mereka buat sendiri. "Secara konstitusi itu bisa. Di Pasal 20 UUD 45 salah satu yang bisa mengajukan revisi undang-undang adalah presiden," kata Bivitri.

PDIP Tak Mau Merevisi Kembali UU MD3 Baru

Junimart Girsang, anggota Komisi III dari fraksi PDIP yang juga terlibat dalam pembahasan revisi UU MD3 menyatakan fraksinya tidak akan menerima revisi kembali UU MD3 baru. Menurutnya pembahasan revisi UU MD3 telah melalui serangkaian proses yang sesuai dengan aturan pembuatan perundang-undangan dari mulai tingkat Panja sampai Paripurna.

“Tidak bisa itu. Tidak bisa undang-undang yang sudah disahkan direvisi kembali,” kata Junimart.

Junimart berkata masuknya pasal-pasal kontroversial bukanlah masukan dari PDIP, melainkan usulan dari fraksi lainnya yang muncul saat pembahasan.

“Sejak awal niatan kami cuma menambah pimpinan DPR dan MPR yang memang hak kami. Tapi kan kami tidak bisa menolak keinginan fraksi-fraksi lain. Kami harus berkompromi supaya tujuan kami tercapai,” kata Junimart.

Ia mengatakan keberadaan pasal-pasal kontroversial di UU MD3 baru fraksi DPR lainnya harus turut menjelaskannya ke publik dan bukan hanya menyudutkan PDIP dan pemerintah.

“Kami berharap Pak Jokowi mau menandatangani ini. Meskipun kalau tidak ditandatangani juga tetap sah,” kata Junimart.

“Silakan uji materi pasal-pasal yang bermasalah saja,” kata Junimart.

Baca juga artikel terkait UU MD3 atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Hukum
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Mufti Sholih