tirto.id - Tim kuasa hukum terdakwa kasus penyebaran berita bohong Ratna Sarumpaet menyampaikan pleidoi dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, hari ini.
Menurut kuasa hukum Ratna, kebohongan kliennya baru bisa dikenakan pidana apabila ada kerusakan dan keonaran di lapangan.
Kuasa hukum Ratna, Insank Nasruddin mengatakan, UU Nomor 1 tahun 1946 Pasal 14 ayat (1) tentang Peraturan Hukum Pidana mengatur seperti itu.
"Delik materiil harus terjadi keonaran di masyarakat. Jadi bukan sesuatu yang harus dicegah, tapi ada keonaran," tegas Insank di PN Jakarta Selatan, Selasa (18/6/2019).
Insank menyatakan, Jaksa Penuntut Umum tidak bisa membuktikan ada keonaran di masyarakat. Beberapa bentuk keonaran yang disampaikan hanyalah demonstrasi dan silang pendapat di media sosial.
Dua bentuk keonaran itu dianggap semu dan tidak kuat. Alasannya, demonstrasi dan berdebat di media bukan tindakan melanggar hukum.
"Terlalu minimalis dan tampak dipaksakan. Bagaimana mungkin silang pendapat di media sosial bertentangan dengan hukum?" tanyanya lagi.
Selain itu, Insank menilai pemaksaan JPU terlihat dari penggunaan tuntutan dengan UU tahun 1946. Padahal aturan itu sudah tidak digunakan sejak lama.
Saat ini, Insank menegaskan sudah ada aturan lain yang mengatur tentang pemberitaan dan penyiaran. Dua di antaranya adalah UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang pers.
"Akibat cerita terdakwa, tidak terjadi kegentingan di masyarakat. JPU telah keliru menggunakan UU nomor 1 tahun 1946 Pasal 14 ayat (1) dalam perkara ini," pungkasnya.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno