tirto.id - Ada begitu banyak partai gurem sepanjang sejarah pemilu di Indonesia. Ada yang hanya muncul sekali, setelah itu mati. Ada juga yang muncul berkali-kali, gagal berulang kali, dan tak kapok ikut pemilu. Dalam pemilu era reformasi yang telah digelar sebanyak lima kali, ada dua partai gurem yang terus bertahan, yakni Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).
Dalam dua pemilu sebelumnya (2009 dan 2014), PBB tak dapat kursi di DPR. Tahun ini, jika melihat hasil hitung cepat yang dilakukan sejumlah lembaga survei, partai yang mengaku membawa semangat Masyumi ini lagi-lagi tak akan lolos ke Senayan.
Bagaimana dengan PKPI? Setali tiga uang. Partai yang didirikan pada 15 Januari 1999 oleh sejumlah purnawirawan dan pejabat era Orde Baru ini belum sekalipun mampu mendulang suara rakyat yang besar. Edi Sudrajat, Try Sutrisno, Hayono Isman, dan tokoh-tokoh lain bekas pembantu daripada Soeharto tak berhasil menarik simpati rakyat.
Mula-mula PKPI bernama Partai Keadilan dan Persatuan (PKP). Pada pemilu 1999 partai ini hanya meraih 1.065.686 suara untuk ditukar dengan empat kursi di DPR. Lima tahun berikutnya mereka menambah kata “Indonesia” di belakang nama partainya.
Pada Pemilu 2004 nasib PKPI bertambah buruk. Meski raihan suara bertambah menjadi 1.424.240, tapi mereka hanya mendapat satu kursi di DPR. Pada Pemilu 2009, mereka tak menggondol satu kursi pun dengan raihan suara 934.892 atau turun sekitar 500 ribu suara dari pemilu sebelumnya.
Pada Pemilu 2014, PKPI masih tetap terseok-seok. Meski suara bertambah sekitar 200 ribu menjadi 1.143.094, tapi mereka lagi-lagi mereka tak berhak duduk di DPR. Pada Pemilu 2019 yang baru digelar 17 April kemarin, berdasarkan data hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei, PKPI bisa dipastikan takkan lolos ke Senayan.
Sebelum hattrick tak lolos ke Senayan, PKPI hampir tak dapat mengikuti Pemilu 2019. Mereka sempat ditolak KPU karena tidak memenuhi syarat sebagai peserta Pemilu 2019, yaitu gagal memenuhi persyaratan keanggotaan di empat provinsi.
Penolakan KPU ini mereka adukan ke Bawaslu. Namun, setelah memeriksa aduannya, Bawaslu juga ternyata memutuskan bahwa PKPI memang tak memenuhi syarat yang ditentukan untuk mengikuti Pemilu 2019.
Tak patah arang, PKPI kemudian membawa persoalan tersebut ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Mereka menggugat putusan Bawaslu. Putusan Majelis Hakim PTUN akhirnya meloloskan PKPI untuk mengikuti Pemilu 2019. KPU pun tak berkutik, mereka terpaksa melaksanakan putusan PTUN dan menetapkan PKPI sebagai peserta Pemilu 2019.
Saat mengajukan gugatan ke PTUN, Agum Gumelar—purnawirawan dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres)—mengharapkan agar PKPI bisa mengikuti Pemilu 2019. Menurutnya, PKPI adalah partai bagi purnawirawan yang masih ingin berjuang.
“Sebagai purnawirawan memang sudah purna tugas, sudah pensiun, tetapi pengabdian tak pernah purna, itu abadi sampai akhir hayat kita. Nah, wadahnya purnawirawan waktu itu dibentuklah partai, PKPI. PKPI itu jelas berwatak pejuang, dong, ingin mengabdi kepada rakyat,” kata Agum.
Ketika Partai Kecil Diperebutkan
PKPI mula-mula dipimpin oleh Edi Sudrajat. Setelah ia meninggal pada 2006, posisinya digantikan oleh Meutia Hatta. Mulai 2010, purnawirawan yang juga mantan Gubernur Jakarta, Sutiyoso, menggantikan posisi ketua umum sebelumnya.
Saat Jokowi menjadi presiden RI yang ketujuh, Sutiyoso terpilih sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) yang menjabat dari Juli 2015 sampai September 2016. Jabatannya ini membuat ia menunjuk Bupati Kutai Timur, Isran Noor, sebagai pelaksana tugas ketua umum PKPI.
Tak lama menjabat sebagai pelaksana tugas, sejumlah tokoh senior PKPI mulai memperebutkan partai guram ini. Posisi Isran Noor pun terancam. Haris Sudarno, anggota Dewan Penasihat PKPI mulai berkonsolidasi dengan sejumlah pengurus partai di daerah.
Ia dan pengikutnya kemudian menggelar rapimnas untuk menjadwalkan kongres. Salah satu hasil rapimnas tersebut adalah memberhentikan Isran Noor. Haris Sudarno diangkat sebagai penggantinya.
Pada kongres yang digelar kemudian, Haris Sudarno secara aklamasi terpilih sebagai Ketua Umum PKPI. Namun, rupanya PKPI telah terbelah. Kubu yang didukung Try Sutrisno tidak menghendaki kepemimpinannya.
Beberapa hari setelah kongres tersebut, kubu Try Sutrisno menggelar kongres luar biasa dan Hendropriyono sebagai mantan Kepala BIN terpilih sebagai ketua umum. Dualisme kepemimpinan pun terjadi.
Militer di Sekitar Presiden
Dari pemilu ke pemilu PKPI kerap cuma jadi partai medioker. Bahkan dalam tiga pemilu terakhir satu kursi pun tak mampu mereka raih. Meski demikian, beberapa pentolannya mampu menembus istana sebagai anggota Wantimpres dan Kepala BIN.
Ketika Susilo Bambang Yudhoyono masih menjadi presiden, Letjen TNI (Purn) T.B. Silalahi—anggota Dewan Kehormatan PKPI—sempat menjadi anggota Wantimpres Bidang Pertahanan dan Keamanan dari 2007 sampai 2009.
Selain T.B. Silalahi, pentolan PKPI lainnya yang menjadi anggota Wantimpres adalah Letjen TNI (Purn) M. Yusuf Kartanegara yang pernah menjadi Sekjen PKPI. Ia bergabung dengan Wantimpres sejak 2015 sampai sekarang.
Terpilihnya dua orang ini sebagai anggota Wantimpres, juga Sutiyoso yang sempat menjadi Kepala BIN, menjadikan PKPI partai cabai rawit. Terseok-seok dalam pemilu, belakangan dilanda perpecahan, tapi beberapa orang pentolannya justru menjadi pembisik presiden.
Barangkali latar belakang partai tak terlalu penting. Yang penting adalah mereka pensiunan tentara yang oleh presiden masih dianggap masih bisa diandalkan.
Editor: Windu Jusuf