tirto.id - Pertarungan memperebutkan kursi Presiden Amerika Serikat, antara Joe Biden (Partai Demokrat) dan Donald Trump (Partai Republik), yang belum diketahui hasilnya saat naskah ini dipersiapkan, menjadi perbincangan warga dunia. Tidak terkecuali Indonesia.
Menariknya perbincangan warganet Indonesia dibanding negara lain adalah, mereka memirip-miripkan Pilpres AS dengan Pilpres 2019, yang mempertemukan Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin bahkan mengatakan Pilpres AS sebagai "deja vu Pilpres 2019 Indonesia."
"Tanpa disengaja, pola yang dilakukan Trump dan Prabowo sama. Bedanya Prabowo penantang, Trump petahana," kata Ujang kepada reporter Tirto, Jumat (6/11/2020).
Pemicunya adalah ketika Trump mengumumkan kemenangan pada 4 November sekitar pukul setengah satu, saat penghitungan suara belum rampung. "I will be making a statement tonight. A big WIN!" tulis Trump lewat akun Twitter-nya.
Cuitan ini lantas dibalas oleh Kepala Biro Australian Boadcasting Corp. di AS, David Lipson. Iai bilang ini seperti politik Indonesia.
Pada 17 April 2019, hari pencoblosan Pilpres 2019, Prabowo dan wakilnya Sandiaga Uno pun melakukan hal serupa: mengklaim kemenangan di saat penghitungan suara belum rampung. Prabowo bahkan sampai mendeklarasikan kemenangan dua kali di Jalan Kertanegara, Jakarta.
Cuitan tersebut lantas direspons oleh Ross Tapsell, dosen kajian media dan Asia Tenggara di Australian National University. Ia mengatakan akan semakin mirip jika Trump pada akhirnya menjabat Menteri Pertahanan AS. Kita tahu persis bahwa Prabowo tergiur jabatan Menteri Pertahanan yang ditawarkan Jokowi.
Tapsell tentu paham betul peta politik di Indonesia. Bukunya, Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens and the Digital Revolution,membahas perselingkuhan media dan oligarki di Indonesia, terbit tiga tahun lalu.
Kemiripan lain, setelah beberapa jam mengklaim kemenangan via Twitter, Trump mengatakan akan mengirim petisi ke Supreme Court--setara dengan Mahkamah Agung (MA)--untuk meminta perhitungan suara dihentikan karena ia dan tim menemukan kecurangan. Trump mencuitkan bentuk kecurangan keesokan harinya.
Prabowo melakukan hal yang sama persis. Ia mengklaim terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif--terkenal dengan akronim TSM. Prabowo bahkan sampai membuat konferensi pers khusus untuk media internasional.
Kemudian, pada 5 November pagi, Paula White, penasihat spiritual dan keagamaan kepresidenan, berdoa meminta kepada Tuhan melindungi Trump. Lagi-lagi, warganet Indonesia sadar kalau ini mirip seperti tindakan Neno Warisman, mantan penyanyi, salah satu pendukung militan Prabowo.
Ia pernah melakukan doa serupa, yang menggebu-gebu, untuk kemenangan Prabowo. “Dan jangan, jangan kau tinggalkan kami dan menangkan kami, karena jika engkau tidak menangkan, kami khawatir, ya Allah, kami khawatir tak ada lagi yang menyembahmu," doa Neno dalam acara Munajat 212 di Monas, 12 Februari 2019.
Barangkali satu-satunya momen yang membedakan Trump dan Prabowo adalah Prabowo tidak meminta penghitungan suara dihentikan. Trump melakukan itu pada 5 November malam, ketika tahu suaranya kalah di beberapa negara bagian.
Menurut Ujang Komarudin, semua ini adalah "gejala kandidat tidak siap kalah tapi hanya siap menang," padahal "kalau demokrasi itu harus siap menang dan kalah." "Ini yang tidak diterima Trump, siap menang tapi tidak siap kalah. Sama seperti Prabowo," katanya menegaskan.
Kami meminta pendapat anggota DPR RI Fraksi Partai Gerindra yang juga pernah menjadi Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Andre Rosiade, terkait 'kelakuan' warganet Indonesia. Ia mengatakan saat ini partainya "enggak perlu menanggapi serius."
"Bagi kami sekarang, yang dibutuhkan adalah bekerja sesuai dengan mandat rakyat. Yang lain enggak perlu kami tanggapi," kata Andre, Jumat.
Kemiripan Karakter Pendukung
Berdasarkan analisis 571.618 cuitan di Twitter, Drone Emprit menemukan wilayah yang paling banyak melakukan percakapan berada di New York. Jumlahnya 51.214. Disusul California sebanyak 44.319, lalu Texas sebanyak 34.660. Sekitar tujuh hari, minimal terdapat 3,45 juta pengguna Twitter yang aktif mencuit atau merespons postingan tentang Trump.
Profil penggunanya, dari 36 ribu, paling banyak berada di usia di atas 40 tahun, yaitu sebanyak 14.100 penulis dengan 236.300 unggahan. Kemudian disusul usia 19-29 sebanyak 10.800 penulis dengan 67.900 unggahan; kurang dari 18 tahun 6.700 penulis dengan 42.700 unggahan; dan usia 30-39 sebanyak 5.200 penulis dengan 61.700 unggahan.
Di sisi lain, dalam rentang waktu yang sama, minimal terdapat 2,1 juta pengguna Twitter yang aktif mencuit atau merespons unggahan tentang Biden. Dari 21 ribu pengguna, paling banyak berusia di atas 40 tahun, 9.700 penulis dengan 108.700 unggahan. Disusul usia 19-29 sebanyak 5.500 penulis dengan 30.800 unggahan; kurang dari 18 tahun 3.500 penulis dengan 19.700 unggahan; dan usia 30-39 sebanyak 3.300 penulis dengan 28.900 unggahan.
Dari analisis pula diketahui bahwa ternyata tak hanya peristiwanya saja yang mirip. Kelakuan para pendukung capres pun demikian.
"Pendukungnya Trump itu militan dan sporadis di medsos. Tapi kalau tim medianya lebih terstruktur kaya Jokowi," kata analis media sosial dari Drone Emprit Ismail Fahmi kepada reporter Tirto, Jumat.
Penulis: Haris Prabowo & Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino