Menuju konten utama

Isi Teks Pidato Bung Tomo 10 November dan Kesimpulannya

Pidato Bung Tomo 10 November 1945 berhasil membakar semangat pejuang di Surabaya. Lantas, apa isi teks pidato Bung Tomo?

Isi Teks Pidato Bung Tomo 10 November dan Kesimpulannya
Bung Tomo sedang berorasi. FOTO/Nanyang Post, 1947/Wikimedia Commons

tirto.id - Pesan pidato Bung Tomo 10 November 1945 dan isi orasinya berhasil membakar semangat arek-arek Suroboyo yang berjuang melawan Sekutu. Bung Tomo tampil sebagai orator ulung melalui radio dalam Pertempuran Surabaya.

Teks Pidato Bung Tomo dibacakan beberapa hari setelah pasukan Sekutu mendarat di Surabaya pada 18 September 1945. Pasukan yang tergabung dalam Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI) tersebut merupakan bagian dari armada Sekutu. Mereka baru saja memenangkan Perang Asia Timur Raya atas Jepang.

Tujuan RAPWI adalah membebaskan tawanan perang dan interniran, juga melucuti senjata tentara Jepang. Namun, situasi semakin runyam setelah tentara Sekutu beberapa kali melancarkan serangan serta memaksa rakyat Surabaya menyerahkan senjatanya. Puncaknya adalah ketika Jenderal Mallaby tewas di suatu insiden di Jembatan Merah, dekat Gedung Internatio.

Hal itulah yang memantik kemarahan Sekutu. Begitu juga para pejuang muda di Surabaya. Maka, meletuslah Pertempuran Surabaya 10 November 1945.

Namun, beberapa hari menjelang pecahnya Pertempuran Surabaya, orasi Bung Tomo dikobarkan melalui Radio Pemberontak milik barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) di Surabaya.

Isi Pidato Bung Tomo

Teks pidato Bung Tomo sebelum pecahnya Pertempuran Surabaya berisi pesan yang mengobarkan semangat para pemuda melawan Sekutu. Berikut isi pidato Bung Tomo melalui Radio Pemberontak pada hari-hari terakhir sebelum Pertempuran 10 November.

Bismillahirrohmanirrohim..

Merdeka!!!

Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia, terutama saudara-saudara penduduk Kota Surabaya. Kita semuanya telah mengetahui bahwa hari ini tentara Inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua. Kita diwajibkan untuk dalam waktu yang mereka tentukan, menyerahkan senjata-senjata yang telah kita rebut dari tangan tentara Jepang. Mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu dengan mengangkat tangan. Mereka telah minta supaya kita semua datang pada mereka itu dengan membawa bendera putih tanda bahwa kita menyerah kepada mereka.

Saudara-saudara,

Di dalam pertempuran-pertempuran yang lampau, kita sekalian telah menunjukkan bahwa rakyat Indonesia di Surabaya, pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku, pemuda-pemuda yang berasal dari Sulawesi, pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali, pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan, pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera, pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini—di dalam pasukan mereka masing-masing, dengan pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung—telah menunjukkan satu pertahanan yang tidak bisa dijebol, telah menunjukkan satu kekuatan sehingga mereka itu terjepit di mana-mana.

Hanya karena taktik...

Hanya karena taktik yang licik daripada mereka itu, Saudara-saudara, dengan mendatangkan presiden dan pemimpin-pemimpin lainnya ke Surabaya ini, maka kita ini tunduk untuk memberhentikan pertempuran. Tetapi pada masa itu mereka telah memperkuat diri. Dan, setelah kuat, sekarang inilah keadaannya.

Saudara-saudara, kita semuanya, kita bangsa Indonesia yang ada di Surabaya ini akan menerima tantangan tentara Inggris itu, dan kalau pimpinan tentara Inggris yang ada di Surabaya ingin mendengarkan jawaban rakyat Indonesia, ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini, dengarkanlah ini tentara Inggris.

Ini jawaban kita. Ini jawaban rakyat Surabaya. Ini jawaban pemuda Indonesia kepada kau sekalian.

Hai tentara Inggris!

Kau menghendaki bahwa kita [kami] ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu. Kau menyuruh kita [kami] mengangkat tangan datang kepadamu. Kau menyuruh kita [kami] membawa senjata-senjata yang telah kita [kami] rampas dari tentara Jepang untuk diserahkan kepadamu. Tuntutan itu, walaupun kita [kami] tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita untuk menggempur kita [kami] dengan kekuatan yang ada, tetapi inilah jawaban kita [kami]. Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih. Maka selama itu tidak akan kita [kami] akan mau menyerah kepada siapapun juga.

Saudara-saudara rakyat Surabaya, siaplah keadaan genting!

Tetapi saya peringatkan sekali lagi. Jangan mulai menembak. Baru kalau kita ditembak, maka kita akan ganti menyerang mereka. Itulah, kita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka.

Dan untuk kita...

Dan untuk kita, Saudara-saudara,

Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!

Dan kita yakin, Saudara-saudara,

Pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita, sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah, Saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian.

Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!

Merdeka!!!

Kesimpulan Pidato Bung Tomo 10 November 1945

Tujuan pesan pidato Bung Tomo adalah mengobarkan semangat para pemuda dan pejuang d Surabaya. Pidato penyemangat itu juga yang membuat Bung Tomo terkenal hingga saat ini.

Orasi Bung Tomo dilatarbelakangi oleh tindakan pemimpin Sekutu yang mengultimatum pejuang RI di Surabaya agar menyerahkan senjatanya. Ultimatum tersebut disebarkan di seluruh kota atas nama Mayjen Hawthorn, pengganti Jenderal Mallaby.

Bung Tomo menganggap bahwa jika rakyat menyerahkan persenjataannya kepada Sekutu, itu adalah tanda menyerang. Padahal, ia menegaskan bahwa pemuda Surabaya tidak akan menyerah begitu saja.

Kepada para pemuda Surabaya, Bung Tomo menggelorakan semangat perjuangan, juga mengingatkan bahwa para pejuang kemerdekaan zaman dulu tidak pernah menyerah. Maka itu, arek-arek Suroboyo juga tidak akan tunduk kepada siapapun, termasuk Sekutu.

Isi pidato Bung Tomo juga memuat pesan kepada pasukan Sekutu. Melalui orasinya, Bung Tomo menentang perintah Sekutu, dan bahwa rakyat Surabaya akan berjuang hingga titik darah penghabisan.

Dalam orasinya, Bung Tomo juga mengingatkan kepada para pejuang RI agar tidak menembak atau menyerang terlebih dahulu. Namun, jika armada Sekutu menembak terlebih dahulu, barulah pasukan Merah Putih boleh menyerang balik.

Bung Tomo juga berpesan bahwa Tuhan akan melindungi pihak yang benar. Yang dimaksud di sini ialah para pejuang RI yang berupaya mempertahankan kemerdekaan.

Profil dan Biografi Bung Tomo

Nama asli Bung Tomo adalah Sutomo. Ia putra asli Surabaya, lahir pada 3 Oktober 1920. Dikenal sebagai seorang jurnalis dan pernah bekerja di berbagai surat kabar, Bung Tomo menjabat Wakil Pemimpin Redaksi Kantor Berita Domei di Surabaya pada masa pendudukan Jepang, 1942-1945.

Bung Tomo aktif bekerja di Kantor Berita Antara, yaitu kantor berita milik pemerintah Indonesia pada 1945. Bung Tomo menjabat sebagai Ketua Umum barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI). Melalui BPRI, Bung Tomo selalu mengobarkan semangat juang rakyat Indonesia.

Bung Tomo pernah diangkat oleh Presiden Sukarno menjadi salah seorang pemimpin di TNI yang bertugas mengoordinasikan Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU) di bidang informasi dan perlengkapan perang.

Dalam Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, Bung Tomo mendapatkan berita bahwa Sekutu mulai menembak dan bergerak di luar area pelabuhan. Bung Tomo pun menyerukan perang terhadap Sekutu.

Dalam pemerintahan Presiden Sukarno, Bung Tomo menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Indonesia pada 12 Agustus 1955-24 Maret 1956. Ia juga dipercaya duduk sebagai Menteri Sosial pada 18 Januari 1956-24 Maret 1956.

Bung Tomo wafat tanggal 7 Oktober 1981. Tahun 2008, pemerintah RI menetapkan Bung Tomo sebagai pahlawan nasional melalui Surat Keputusan bernomor 041/TK/Tahun 2008.

Baca juga artikel terkait BUNG TOMO atau tulisan lainnya dari Yulaika Ramadhani

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Iswara N Raditya