tirto.id - Mariana sudah memakai asuransi dari PT Allianz Utama Indonesia sejak 2005 untuk melindungi sejumlah usaha dan propertinya. Ditotal-total, dalam sebulan, ia bisa bayar premi sampai Rp70 juta untuk 10 polis yang dibelinya. Semua berjalan baik-baik saja sampai 2010 ketika salah satu toko laptop miliknya dibobol maling.
Ia mengklaim kerugian itu kepada Allianz Utama. Dihitung-hitung Mariana, klaim itu bernilai sampai Rp2,8 miliar.
“Sebenarnya lebih, ada buntut-buntutnya di belakang 8 itu. Tapi saya bulatkan saja,” katanya.
Namun, sang perusahaan asuransi rupanya punya hitungan sendiri. Mereka hanya akan membayar 21 laptop—angka yang diakui pencuri saja—bahkan ditambah diskon sepihak sebanyak 70 persen. Artinya, jumlah yang diganti hanya 30 persen dari total 21 laptop yang hilang.
Mariana keberatan. Ia menilai angka itu tak sepadan dari kerugian yang dihadapinya. Lagi pula, ia tak pernah merasa ada masalah ketika membayar uang premi setiap bulan.
Pihak asuransi sendiri berkata, alasan mereka melakukan pemotongan diskon 70 persen itu karena ada clausal warranty dalam polis yang dibeli Mariana. Pasal itu yang akhirnya dipakai sebagai dalih perusahaan emoh membayar penuh kerugian Mariana.
Padahal, seingat Mariana, pasal itu tak ada ketika ia membeli asuransi tersebut pada 2009. Menurutnya, pasal itu ditambahkan sepihak oleh sang agen ketika polisnya diperpanjang pada 2010.
“Padahal bicaranya (si agen), tidak ada yang diganti kalau diperpanjang. Isi sama, nilainya sama, yang berubah cuma tahunnya (berlaku),” kata Mariana.
Singkat cerita, kasus ini berujung sengketa. Allianz Utama tetap tak mengindahkan klaim Mariana, hingga akhirnya pada 2015, sang nasabah melaporkan keluhan itu kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Pekanbaru, Riau.
Di sana, Mariana dinyatakan menang dan pihak asuransi harus membayar klaim sesuai tagihan Mariana. Namun, hingga sekarang, Allianz Utama masih belum membayarkannya, hingga Mariana melaporkannya ke Mabes Polri, awal Oktober lalu.
Selisih paham antara nasabah dan perusahaan asuransi bukan hal aneh. Ia bukan perkara yang jarang terjadi. September lalu, mantan presiden direktur PT Allianz Life Joachim Wessling dan manajer klaim Yuliana Firmansyah jadi tersangka karena dilaporkan nasabahnya Ifranius Algadri dan Indah Goena Nanda. Keduanya merasa dipersulit ketika mengajukan klaim.
Tak hanya tentang isi polis seperti yang dialami Mariana, atau penolakan klaim macam yang dialami Ifranius dan Goena. Penyebab sengketa asuransi bisa macam-macam, dari prosedur yang berbelit-belit hingga pembatalan yang sulit. Setidaknya empat hal itu yang dicatat sebagai aduan terbanyak yang diterima Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Tahun lalu, asuransi berada di posisi keenam komoditas yang paling banyak dikeluhkan oleh konsumen ke YLKI. Totalnya ada 32 aduan.
Dari pengalaman Abdul Basit, staf pengaduan dan hukum dari YLKI, sengketa antara nasabah dan perusahaan asuransi biasanya bermula dari kesalahpahaman tentang polis. Kebanyakan nasabah biasanya tak terlalu paham tentang asuransi dan klausul-klausul polis.
Hal itu yang kemudian jadi celah bagi para agen asuransi nakal untuk berulah. Menurut Basit, tak jarang ada nasabah yang harus membayar produk asuransi yang tidak dijelaskan sebelum menandatangani polis.
“Biasanya alasan orang enggak mau baca polis karena tulisannya yang kecil-kecil dan terlalu tebal, padahal tidak boleh begitu,” ujar Basit. Menurutnya, ketidakjelian konsumen membeli produk juga jadi salah satu faktor mengapa sengketa ini sering terjadi.
Alasan serupa diutarakan Frans Lamury, ketua Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI). Penyebabnya bisa karena ketidakjelian nasabah atau justru ketidakjelian agen.
“Asuransi sendiri seringnya tidak paham apa yang mereka buat. Polis itu biasanya standar. Standar itu artinya sudah dipakai bertahun-tahun. Petugasnya (agen) itu, kan, ketika baru masuk bisa belajar, bisa juga keliru dia mengartikan apa yang dikatakan (polis) itu. Nasabah sama juga. Jadi, ketika mereka ke sini (BMAI), baru ketahuan,” ungkap Lamury.
BMAI adalah lembaga yang dibangun industri asuransi sejak 2006, untuk menampung laporan konsumen yang menghadapi kasus-kasus penolakan klaim. Lewat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No. 1/POJK.07/2014, wewenang BMAI lebih luas. Tujuannya agar BMAI bisa menyelesaikan sengketa sampai ke tahap arbitrase, yang keputusan akhirnya bersifat mengikat.
Ia juga mengakomodasi keresahan nasabah yang ingin mengajukan sengketa dengan nominal sedikit. BMAI bisa memediasi kasus nasabah yang nominal klaimnya di bawah Rp750 juta, tanpa dipungut biaya apa pun. Di atas itu, nasabah memang dikenakan biaya administrasi karena dianggap mampu. Poin tersebut dibuat dengan menimbang kemungkinan para nasabah yang enggan melaporkan keluhannya karena takut biayanya mahal.
Dalam sepuluh tahun, hingga 2016, BMAI mencatat 595 sengketa yang pernah terjadi. Pada tahun ini, sampai Juni lalu, ada 7 kasus yang diterima BMAI. Sedangkan sepanjang tahun lalu, ada 20 kasus. Jika dirata-ratakan, sejak 2016, ada sekitar 22 kasus yang masuk setiap tahun. Angka ini, menurut Lamury, "sangat stabil", dan berarti pasar asuransi Indonesia selalu lebih baik saban tahun.
Dari total kasus yang masuk ke BMAI, 42,19 persen dimenangkan oleh nasabah. Sementara 57,81 persen dimenangkan oleh perusahaan asuransi dalam tahap mediasi. Di tingkat ajudikasi alias penyelesaian perkara di pengadilan, pihak asuransi masih jadi yang paling sering menang, dengan persentase 56,48 persen. Menurut Lamury, faktor utama mengapa nasabah sering kalah adalah ketidaktahuannya tentang isi polis.
Kebanyakan nasabah justru tak paham isi polis. Bukankah kemungkinan untuk mengeluh justru besar?
“Kalau pengaduan pada kami itu tidak naik, berarti sebenarnya pasar asuransi baik,” kata Lamury. “Maksudnya, sengketa menjadi berkurang dibandingkan dengan pertumbuhan asuransi itu sendiri. Kalau asuransi bertumbuh, sengketanya tidak bertumbuh. Itu pertandanya baik.”
Bisa jadi ia benar, sebab angka aduan yang dicatat BMAI memang relatif sedikit ketimbang jumlah pemegang polis di Indonesia.
Tapi, hal itu tak menutup kemungkinan lain bahwa kebanyakan nasabah masih tak tahu harus mengadu ke mana ketika bersengketa.
Mariana, misalnya. Ia menunggu kejelasan dari Allianz Utama hingga lima tahun baru membawanya ke BPSK, lembaga perlindungan konsumen yang biasanya berdiri di Daerah Tingkat II. Bahkan ketika sudah dinyatakan menang, Mariana tetap harus menunggu haknya diputuskan pengadilan setelah membawa kasus itu ke polisi.
Frans Lamury mengakui kemungkinan ada banyak nasabah yang tak tahu ke mana mengeluhkan sengketa asuransinya. Ia bahkan menilai masih banyak perusahaan asuransi yang tak menyertakan nama BMAI di akhir polis.
Padahal, jika melibatkan BMAI, proses perkara antara nasabah dan perusahaan asuransi bisa berujung "win-win solution." Nasabah tak perlu keluar biaya atas aduannya, sedangkan perusahaan asuransi yang yakin tak bermasalah cukup santai saja menunggu manuver sang nasabah.
“Kalau saya jadi asuransi, saya jadi enak. Tapi banyak kawan kami tidak melakukan itu. Dan saya heran kenapa kawan kami tidak melakukan hal itu,” tambah Lamury.
Menurutnya, bisa saja seorang nasabah memutuskan tidak mendatangi BMAI tapi malah mendatangi pihak peradilan lain, semisal polisi. Ia mencontohkan kasus Ifranius Algadri dan Indah Goena Nanda, yang ramai diberitakan pada akhir September hingga pekan kedua November ini. Keduanya memang sengaja langsung melaporkan ke polisi dengan menggandeng pengacara dan menuding PT Allianz Life tidak beriktikad baik.
“Keluhan pelayanan itu banyak, tapi mungkin tidak mau diadukan karena ribet. Proses hukum di kita memang masih ribet,” kata Lamury.
Tapi, tak semua orang rela dan mampu menempuh jalur panjang seperti Ifranius, Goena, dan Mariana—yang tentu saja mengeluarkan biaya tak sedikit: mulai dari sewa pengacara dan ongkos administrasi lain hingga kasus itu diputus dalam pengadilan.
Di sanalah peran BMAI hadir, untuk mengurusi sengketa-sengketa tersebut tanpa dipungut biaya.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam