tirto.id - Laporan investigasi Tirto tentang pencurian bangkai kapal bersejarah dan film dokumenter Belanda Slag in de Javazee yang mengisahkan para serdadu Belanda beserta kapal perangnya yang karam di Laut Jawa, menuntun saya pada pertanyaan: bagaimana masyarakat dan negara menyikapi kekerasan dan perang yang menewaskan manusia dalam jumlah besar?
Kekerasan senantiasa meninggalkan memori kolektif pada masing-masing pihak yang terlibat, baik pelaku kolonialisasi maupun (dalam kasus Indonesia) pihak yang mempertahankan diri dari serbuan bekas negara penjajah. Kedua belah pihak memiliki—dan memelihara—narasi resmi dan kultural yang berbeda-beda, dan tak jarang bertentangan.
Melalui laporan mendalam Tirto, saya mengerti bagaimana penjarahan bangkai kapal Perang Dunia II melibatkan banyak pihak. Di sisi lain, melalui dokumenter Slag in de Javazee, saya juga diingatkan bahwa serdadu yang berperang bagi negaranya, dalam hal ini Pemerintah Belanda, merupakan bagian dari ingatan kolektif masa lalu.
Dari sisi Indonesia, kita bisa menyaksikan—dan menyayangkan—betapa kepentingan ekonomi mengalahkan apresiasi terhadap masa lalu: bangkai kapal perang ternyata hanya dihargai semata besi tua. Dengan kata lain, begitulah cara kita menghargai artefak sejarah. Pengetahuan bahwa kapal-kapal itu pernah berlayar dengan bendera Belanda tampaknya jadi semacam legitimasi moral untuk menjarah.
Sebaliknya bagi Pemerintah Belanda, dan juga anggota keluarga yang mengalami kehilangan sanak familinya dalam perang, bangkai kapal tersebut dihayati sebagai monumen ingatan atas kehilangan para pahlawan mereka, sekaligus peringatan untuk merajut narasi bersama tentang pedihnya perang yang tidak menguntungkan semua pihak.
Perbedaan Indonesia dan Belanda memperlakukan peninggalan masa lalu, baik benda maupun makna kulturalnya, juga menyiratkan perbedaan kedua bangsa dalam memandang masa depan.
Peninggalan masa lampau tak pernah dianggap penting karena diukur berdasarkan nilai jual semata, kendati benda-benda itu turut membentuk identitas dan narasi sejarah kita. Sebaliknya, memaknai masa lalu secara imaterial, dengan segala interpretasinya, menuntut kita agar untuk terus merawat peninggalan sejarah.
Dalam konteks Indonesia, sikap mengabaikan kenangan setidaknya menunjukkan tiga hal. Pertama, persoalan ekonomi. Bagi orang Indonesia kebanyakan, khususnya kelompok menengah dan miskin, penghidupan sehari-hari dirasa lebih penting untuk dipikirkan. Warisan kebudayaan dan seni? Itu urusan kesekian.
Di sini, kondisi ekonomi yang mendesak dan miskinnya infrastruktur kebudayaan, membuat mereka relatif sulit melihat nilai estetis sebuah warisan—apalagi memaknainyasebagai ingatan kolektif untuk membimbing kehidupan bersama di masa depan.
Kedua, birokrasi yang korup. Sekalipun ada aturan hukum terkait cagar budaya — yang memang patut diakui keterbatasannya — dan fakta bahwa kita tidak kekurangan kampanye “Jasmerah” (“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”), pencurian dan penjarahan koleksi berharga adalah hal rutin di museum-museum yang dikelola pemerintah daerah.
Museum Sonobudoyo di Yogyakarta, misalnya, pada 2010, telah kehilangan 87 koleksi emas, arca, topeng, dan perhiasan. Pencurian ini tidak hanya dilakukan oleh orang luar melainkan juga melibatkan orang dalam dan staf museum (Tempo.co, 27 Maret 2014).
Ketiga, miskinnya kesadaran sejarah. Buruknya penghargaan terhadap artefak dan peninggalan sejarah Indonesia adalah produk kurikulum pendidikan kita yang gagal membangun kepekaan kultural. Hasilnya, kita gagal menjadikan situs-situs penting monumen ingatan untuk belajar.
Ketidakmampuan membangun kurikulum pendidikan yang baik ini beririsan dengan proses nasionalisasi historiografi secara total, di mana Indonesia membangun narasi sendiri yang seakan-akan bersih dari irisan sejarah kolonial Belanda. Peristiwa pembunuhan massal pada 1965, pembungkaman terhadap kaum Sukarnois, kelompok-kelompok pro-demokrasi, serta siapapun yang vokal di bawah Orde Baru, membuat refleksi kritis atas apa yang terjadi di masa lalu jadi barang haram.
Tepat di titik inilah kita jadi orang kagetan saat menyaksikan melihat betapa banyaknya naskah kuno dirawat dengan baik di Belanda dan Jerman. Tidakkah ganjil ketika kita harus datang ke Perpustakaan Leiden untuk mempelajari masa lalu Indonesia?
Perpustakaan Leiden, lumbung informasi sejarah mengenai imperium kolonial, adalah saksi bagaimana masyarakat Belanda tak sekadar memperlakukan masa lampau bak kenangan dan klangenan semata. Apapun yang tersisa dari masa silam dihargai sebagai jembatan penghubung ke masa kini dan peneroka masa depan yang bakal diwariskan ke anak-cucu.
Meski demikian, dengan cara berbeda, kita sebenarnya memiliki monumen yang terus dirawat hingga detik ini, yaitu Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya. Narasi sejarah dalam monumen tersebut juga masih menjadi wacana publik yang membentuk cara masyarakat melihat masa lalu.
Namun ada yang pahit di sini: alih-alih memancing orang untuk mempelajari masa lalu, Monumen Pancasila Sakti justru dikeramatkan untuk mengawetkan stigma atas siapapun yang dicap subversif, mengkhianati Pancasila, tidak setia pada Republik Indonesia. Sebuah cap mematikan yang sampai detik ini belum hilang juga dari perbendaharaan bahasa politik kita, tak peduli sudah berapa kali basis kesejarahannya digugat dalam dunia akademik, baik dalam dan luar negeri.
Dalam konteks Indonesia, penggalan dari sebuah novel Kundera perlu direvisi: bahwa perjuangan manusia melawan kekuasan bukanlah perjuangan melawan lupa, melainkan perjuangan melawan kebebalan yang abai pada masa lalu, baik milik bangsa sendiri maupun bangsa lain yang telah membentuk Indonesia hari ini, terlepas suka ataupun tidak.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.