Menuju konten utama

Pertanian Ramah Lingkungan

Pertanian modern dianggap menjadi penyumbang kerusakan ozon. Pemanfaatan teknologi dengan menggunakan bahan bakar fosil, penunjang pertanian yang tak ramah lingkungan, serta limbah pertanian dianggap penyebabnya. Bagaimana mewujudkan pertanian yang ramah lingkungan?

Pertanian Ramah Lingkungan
Intensitas pemberian dosis pupuk, pestisida serta pengolahan tanah yang terus menerus menjadi salah satu penyebab terjadinya penurunan kualitas tanah yang memicu pemanasan global. [FOTO ANTARA/Anis Efizudin]

tirto.id - Thomas Robert Malthus pernah memperkirakan bahwa pertumbuhan populasi manusia akan mengalahkan jumlah makanan. Ramalan ini seperti ancaman, bahwa manusia bertambah banyak tapi jumlah makanan tidak. Manusia lantas menciptakan intervensi, untuk membuat pertanian dan peternakan, bisa memenuhi kebutuhan makan manusia. Akibatnya tentu tidak baik, limbah dan emisi dari produksi makanan ini menjadi semakin banyak.

Sistem pertanian modern telah jauh berkembang dan sama sekali berbeda dari yang ada seratus tahun lalu. Seperti tanaman rekayasa genetika, pupuk untuk memacu pertumbuhan, sampai dengan teknologi penanaman yang menggunakan bahan bakar. Dr. Dennis Garrity, kepala pusat penelitian internasional agro kehutanan di Nairobi, Kenya menyebutkan pertanian punya kontribusi terhadap perusakan lingkungan. Para petani dan lahan pertaniannya lebih banyak memberikan kontribusi CO2 ke udara dibanding CO2 yang dilepaskan oleh seluruh kendaraan bermotor. CO2 yang dilepaskan oleh lahan pertanian jauh lebih banyak daripada yang dapat disimpannya.

Ini tentu saja mesti diperiksa lagi. Benarkah Pertanian menjadi sumber paling besar? Data dari Intergovernmental Panel on Climate Change pada 2014 menyebutkan emisi Agrikultur, kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Tanam (24 persen) masih kalah dengan emisi yang dihasilkan Pembuatan Listrik dan Panas (25 persen). Meski demikian, banyak negara yang berusaha untuk mengurangi produksi emisi sebagai bentuk komitmen terhadap the Montreal Protocol. Setidaknya ada 196 negara dan juga Uni Eropa yang meratifikasi protokol ini untuk perbaikan kualitas hidup.

Salah satu usahanya adalah menciptakan sistem pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan. Di Nairobi, inisiatif ini dimulai oleh Garrity dan koleganya terutama untuk menemukan cara mengembangkan sistem pertanian berkesinambungan bagi petani-petani kecil. Tujuannya menciptakan sistem pertanian yang lebih banyak menyerap CO 2 dari atmosfer. Caranya dengan mengintegrasikan penanaman pohon di lahan pertanian, sehingga dapat meningkatkan kapasitas penyerapan CO2. Dengan agro kehutanan, yakni sebuah sistem gabungan pohon-pohon dan ladang buah-buahan, dapat disimpan rata-rata satu sampai lima ton CO2 per hektar setiap tahunnya.

Kebanyakan emisi terkait pertanian berasal dari metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O). Sumbernya berasal dari peternakan, penambahan pupuk alami atau sintetis, dan limbah pertanian ke tanah merupakan sumber terbesar, yang membentuk 65 persen dari emisi pertanian secara global. Sementara sumber lainnya berasal dari sisa pupuk kandang yang tidak dimanfaatkan, budidaya padi, pembakaran ladang sisa tanaman, dan penggunaan bahan bakar di peternakan. Sisanya bisa berasal dari sumber yang berbeda dan bervariasi tergantung pada jenis produk tumbuh, praktik pertanian yang digunakan, dan faktor alam seperti cuaca, topografi, dan hidrologi.

Elizabeth Bent, Research Associate bidang Microbiology di University of Guelph menyatakan bahwa tak ada cara mudah dan cepat untuk mengurangi emisi karbon dari agrikultur. Perlu pemahaman yang tepat dan pengetahuan mendalam tentang pertanian. Selain itu berbeda lokasi maka berbeda pula penanganannya. Ia mangatakan ada beberapa cara untuk mengatasi emisi efek rumah kaca dari pertanian. Tapi para peneliti sedang bekerja keras untuk mengatasi hal ini.

Kita tahu bahwa negara yang mengenal musim dingin, tanah membeku. Membiarkan tanaman tetap di lahan dan tak memindahkannya membantu mengurangi emisi nitrogen oksida. Bekas tanaman ladang yang dibiarkan di atas tanah akan membusuk saat musim dingin. Elizabeth Bent menyebutkan ada teori yang menjelaskan bahwa ini terjadi karena efek komposisi dan aktivitas bakteria yang menghasilkan gas nitrogen oksida, atau mengubahnya menjadi N2, karena terdampak temperatur tanah dan nutrien yang ditambahkan ke tanah.

INFOGRAFIK PROTOKOL MONTREAL

Pemerintah Indonesia sendiri menyatakan berkomitmen terhadap pengurangan emisi karbon yang berkontribusi pada efek rumah kaca. Berdasarkan situs dari kementerian pertanian diketahui bahwa pemerintah Indonesia minta setiap kementerian membuat kebijakan yang bisa mengurangi emisi karbon. Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa pertanian di Indonesia berusaha untuk mengatasi hal ini dengan mengembangkan sistem tanam yang berkelanjutan. Data kementerian pertanian menyebutkan sektor pertanian juga mempunyai posisi penting dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca, sebagaimana tertuang pada Perpres No.61 tahun 2011.

Pemerintah Indonesia menyadari bahwa sektor pertanian juga ikut berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca melalui berbagai praktik dan kegiatan produksi pertanian, baik dari lahan sawah, penggunaan pupuk anorganik yang tidak efisien, ternak, serta pengalih gunaan lahan gambut. Sebaliknya, sektor pertanian juga memiliki potensi dalam menurunkan emisi gas rumah kaca melalui fotosintesis tanaman. Bahkan melalui peran multifungsinya, pertanian juga berkontribusi secara ekologis terhadap kualitas lahan, hidrologi dan lingkungan hidup.

Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca sebesar 26 persen pada tahun 2020. Sektor Pertanian khususnya dari lahan sawah,peternakan dan pemupukan organik diharapkan berkontribusi dalam penurunan emisi sebesar 8 juta ton karbondioksida ekivalen (CO2-e) menjelang tahun 2020 dari upaya sendiri, dan sebesar 11 juta ton karbondioksida ekivalen apabila mendapat bantuan dari luar negeri.

Sebelumnya dari target penurunan emisi yang ada Indonesia, menurut kementrian pertanian telah melampaui target. Yaitu 11,0 jt ton CO2e (2010), 12,1 juta ton CO2e (2011) dan 12,3 juta ton CO2e (2012). Kabar yang baik bagi iklim tapi buruk bagi pertanian berskala industri. Lahan pertanian besar mono kultur termasuk perusak iklim paling buruk. Dan sekaligus juga paling rentan terhadap perubahan iklim.

"Banyak lahan yang luasnya beberapa kilometer persegi, sejauh mata memandang hanya ditanami satu jenis tumbuhan. Kedelai misalnya atau jagung. Hal itu memendam bahaya besar. Sebuah penyakit, sebuah hama dan areal yang demikian luas itu langsung menjadi tidak produktif. Semakin kita tidak memiliki jaminan perspektif dalam hal perubahan iklim, semakin lama ini berlangsung, semakin besar ancaman yang akan kita hadapi," ditekankan Benedikt Haerlin dari Yayasan Pertanian untuk Masa Depan.

Saat ini pun sudah dilakukan percobaan dengan memodifikasi gen berbagai jenis tumbuhan untuk meredam serangan hama tanaman. Keberhasilan yang dicapai para petani sedang-sedang saja sampai negatif. Banyak lahan yang kini kondisinya sangat tidak sehat akibat budaya pertanian monokultur, sehingga hanya dengan pemberian pupuk mineral saja tanah itu masih dapat menghasilkan. Namun, pupuk tersebut pada gilirannya akan merusak lingkungan serta meracuni air bersih. Upaya itu juga tidak dapat diterapkan oleh kebanyakan petani.

Baca juga artikel terkait PERTANIAN atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Humaniora
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti