Menuju konten utama

Pertamina Sang Pemborong Dolar

"Umumnya, tekanan nilai tukar terjadi apabila permintaan valuta asing (valas) jumlahnya jauh lebih besar dari ketersediaan di pasar. Akibatnya harga valas makin mahal, dan rupiah melemah."

Pertamina Sang Pemborong Dolar
Petugas menunjukan uang pecahan dolar AS di Valuta Inti Prima (VIP), Jakarta, Jumat (29/9/2017). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Satu hari di awal Januari 2013, Darmin Nasution sedang duduk-duduk di ruang kerjanya di gedung Bank Indonesia (BI). Tiba-tiba, salah seorang stafnya masuk ke ruangan, dan melaporkan ihwal nilai tukar rupiah terhadap dolar sedang menghadapi tekanan serius. Setelah diselidiki, rupiah tertekan dolar AS karena permintaan valas yang tinggi oleh PT Pertamina. Saat itu dolar masih di kisaran Rp9.600.

"Umumnya, tekanan nilai tukar terjadi apabila permintaan valuta asing (valas) jumlahnya jauh lebih besar dari ketersediaan di pasar. Akibatnya harga valas makin mahal, dan rupiah melemah," kata Darmin dikutip dari buku “Darmin Nasution: Bank Sentral itu Harus Membumi” (2013: 125).

“Sekitar dua pertiga dari total permintaan valuta asing di pasar adalah untuk memenuhi kebutuhan PT Pertamina," tegasnya.

Pertamina memang membutuhkan valas dengan nilai besar untuk membiayai impor minyak dan gas (migas). Indonesia selama ini memang ketergantungan akan impor minyak demi memenuhi kebutuhan energi. Kondisi itu juga disebabkan produksi minyak kian terbatas dan pencarian sumber baru masih sulit ditemukan. Alhasil beban impor minyak semakin besar, dan impor ini tidak mungkin ditunda. Kelangkaan energi berpotensi menimbulkan risiko politik yang terlalu besar.

Darmin kemudian mengontak Menteri BUMN Dahlan Iskan untuk membicarakan masalah Pertamina. Saking pentingnya, ia langsung bertemu Dahlan di luar jam kantor, pada Sabtu, 12 Januari 2013. Dahlan sempat didampingi Dirut Pertamina yang kala itu masih dijabat oleh Karen Agustiawan.

Kekhawatiran Darmin ditanggapi positif. “Pak Darmin, saya sangat paham dan clear dari pemaparan yang disampaikan, dan Ibu Karen harus mendukung bank Indonesia. Kita perlu atur pelaksanaan teknisnya,” tutur Dahlan.

Pada hari itu juga, kesepakatan antara BI, Kementerian BUMN dan Pertamina dicapai, bahwa rencana pembelian valas Pertamina harus terlebih dahulu disampaikan kepada BI. Artinya, pemenuhan valas Pertamina perlu diatur bersama BI. Untuk sementara waktu, tekanan valas dari permintaan Pertamina dapat dikurangi.

Impor Migas Membengkak

Berselang lima tahun, nilai tukar dolar kembali naik terhadap rupiah cukup signifikan. Menurut JISDOR, nilai tukar dolar terhadap rupiah sudah mencapai Rp14.840 per dolar AS per 4 September 2018, naik sekitar 9 persen sepanjang tahun berjalan ini. Xavier Jean, Senior Director Corporate Ratings S&P Global Ratings sempat memperkirakan dolar bisa menembus level psikologis Rp15.000,

Nilai tukar dolar terhadap rupiah menembus level Rp15.000 per dolar AS bukan hal mustahil lagi. Apalagi, defisit transaksi berjalan juga masih belum menunjukkan perbaikan, bahkan tidak menutup kemungkinan naik.

Salah satu penyumbang defisit transaksi berjalan di antaranya adalah tingginya belanja impor migas. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), volume impor migas tercatat 48,87 juta ton pada 2014. Impor migas sempat turun pada 2017, yakni sebanyak 42,6 juta ton. Kuartal II-2018, volume impor turun tipis 1,63 persen menjadi 27,92 juta ton dari kuartal II-2017.

Siapa yang paling banyak memakai dolar untuk impor minyak?

"Permintaan Pertamina memang tinggi di pasar valas. Namun berapa kisaran besaran nilainya, saya enggak punya datanya. Mungkin bisa dilihat dari data impor BBM Pertamina," kata Analis Monex Investindo Futures Putu Agus Prasuanmitra kepada Tirto.

Pertamina mencatat realisasi beban impor BBM antara lain bensin premium, impor produk minyak lainnya, impor minyak solar mencapai US$12,17 miliar sepanjang 2017, atau naik 55 persen dari realisasi beban impor 2016 sebesar US$7,84 miliar (hlm 387). Angka beban impor Pertamina pada 2017 itu menyumbang 53 persen dari total impor migas Indonesia senilai US$22,92 miliar di tahun yang sama.

Kondisi pada 2017 itu masih lebih baik ketimbang pada 2012. Beban impor minyak Pertamina tercatat sebesar US$24,61 miliar, atau menyumbang 57 persen dari total impor migas Indonesia sebesar US$42,56 miliar. “Jadi, bisa dikatakan bahwa 5-10 tahun yang lalu itu, tidak ada investasi baru dari Pertamina dalam mengurangi ketergantungan kita akan impor minyak,” tutur Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute kepada Tirto.

Infografik Barang Impor penguras dolar

Selama lima tahun terakhir, tren volume produksi minyak dalam negeri justru menurun. Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), lifting atau produksi minyak tercatat 793.000 barel per hari pada 2014. Lifting minyak sempat naik pada 2015 dan 2016, yakni masing-masing 785.000 barel per hari dan 820.000 barel per hari. Namun pada 2017 turun menjadi 804.000 barel per hari, dan 2018 diperkirakan hanya 775.000 barel per hari.

Penurunan produksi minyak yang tak dibarengi dengan permintaan mendorong impor minyak besar-besaran. Tahun lalu, Pertamina mencatat porsi impor BBM mencapai sekitar 52 persen dari total kebutuhan BBM. Kegiatan impor ini mau tak mau membutuhkan dolar yang tak sedikit setiap hari.

“Setiap hari kami berkoordinasi dengan BI. Cuma untuk nilai kebutuhan dolar setiap hari, saya tidak tahu,” kata Vice President Corporate Communication Pertamina, Adiatma Sardjioto kepada Tirto.

Produksi minyak yang terus menurun yang dibarengi dengan impor minyak besar-besaran oleh Pertamina seolah jadi harga mati bagi pemerintah yang berkuasa dalam menghadapi keperkasaan dolar. Solusinya dengan logika sederhana adalah bagaimana sebanyak-banyak mengurangi kebutuhan dolar dari impor BBM. Pemerintah seperti pada rezim sebelumnya, tengah mengupayakan maksimalisasi pemenuhan kebutuhan BBM dari sumber daya lokal yaitu minyak sawit.

Kebijakan bahan bakar biodiesel, yang terdiri dari campuran 80 persen minyak solar dan 20 persen minyak sawit atau yang biasa disebut dengan istilah B20 mulai berlaku 1 September 2018 untuk semua sektor. Kebijakan ini bukan barang baru, pada era Presiden SBY, sudah ada Peraturan Menteri ESDM No. 20 Tahun 2014 yang mengatur kewajiban B20 kepada sektor transportasi (PSO/Non PSO), industri dan pembangkit listrik. Target implementasi mulai 2016 dan pada 2020 mencapai B30.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan target selama empat bulan kebijakan B20, harapannya akan menurunkan impor minyak US$2,2 miliar dolar AS. Pada 2019, proyeksi penurunan impor minyak akan mencapai minimal US$6 miliar, dengan adanya kebijakan biodiesel B20. Adanya kebijakan B20, targetnya ada tambahan devisa dari penghasilan ekspor minyak sawit mentah (CPO) karena kenaikan harga akibat permintaan yang tinggi di dalam negeri. BI memperkirakan kebijakan B20 akan mengurangi defisit transaksi berjalan dengan tambahan devisa US$9-10 miliar pada 2019.

"Tambahan devisa itu kan besar. Belum lagi dari (sektor) pariwisata," katanya dikutip dari Antara.

Bhima Yudhistira Adhinegara, ekonom INDEF menanggapi pesimistis program B20 akan efektif dalam jangka pendek. “Kebijakan B20 baru-baru ini juga sebenarnya baik untuk jangka panjang. Tapi kita tidak bisa berharap banyak dalam jangka pendek ini bisa membantu penguatan rupiah. Sanksinya pun masih belum tegas,” kata Bhima.

Kebutuhan dolar yang tinggi untuk sektor migas, terutama yang dilakukan Pertamina adalah konsekuensi dari rapuhnya ketahanan energi dan ekonomi. Saat dolar sedang menunjukkan keperkasaannya, cara-cara instan, mau tak mau harus dilakukan dengan membakar cadangan devisa, padahal bila program B20 ini efektif empat tahun lalu, ceritanya barangkali akan berbeda. Perusahaan seperti Pertamina tak lagi besar-besaran memborong dolar.

Baca juga artikel terkait NILAI RUPIAH atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra