tirto.id - PDI Perjuangan dikenal memiliki kader dan massa militan. Simpatisannya pernah memerahkan jalan Jakarta ketika Pemilu 1999. Kampanye akbar sekaligus awal kemenangan partai berlambang banteng moncong putih itu mampu mengerahkan 1,2 juta orang. Bahkan aksi yang dianggap horor pun sempat dilakukan: cap jempol darah.
Kini PDI Perjuangan seperti ditinggalkan pemilihnya dulu, wong cilik. Posko-posko yang dulu berdiri hampir di tiap sudut jalan tak lagi terlihat. PDI Perjuangan seolah tak pernah hadir. Demonstrasi bertajuk Aksi Bela Islam II yang bisa menghadirkan ratusan ribu massa pun tak ada tandingannya dari massa PDIP.
Penolakan-penolakan terhadap Ahok, Calon Gubernur DKI Jakarta yang disung PDI-P, di pemukiman-pemukiman pinggiran Jakarta juga kerap terjadi. Seharusnya, jika massa PDIP diasumsikan masih solid, letupan-letupan protes ini bisa diredam. Jika saja posko-posko itu masih berdiri, massa akar rumput PDI Perjuangan kemungkinan bisa melakukan pendekatan untuk mengurangi gesekan di basis-basis massa.
Tapi Philips Josario Vermonte, Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), punya anggapan lain. Menurutnya, meski tak terlihat gerakan kadernya di akar rumput, partai yang diketuai Megawati ini masih solid. Bahkan Philips menanggapi hilangnya posko-posko PDI Perjuangan dari jalan-jalan itu secara positif.
“Menurut saya, bagus saat ini sudah tidak ada posko PDIP. Kalau ada sudah pasti bentrok, enggak mungkin nggak,” kata Philips saat berbincang dengan Arbi Sumandoyo dari Tirto.id di kantornya, Kamis kemarin. Berikut ini wawancara lengkapnya.
PDI Perjuangan dikenal partai dengan massa yang militan, namun saat ini gerakan mereka di akar rumput tak lagi terlihat, posko-posko yang dulu pernah ada kini hilang. Bagaimana pandangan Anda, apakah PDI Perjuangan masih mendapat dukungan dari wong cilik?
Menurut saya masih, ya. PDIP masih punya massa dan justru mungkin kita harus kasih kredit buat PDIP. Sebetulnya yang ditakutkan orang, pilkada yang sedemikian kompetitif ini [bisa menyebabkan] bentrok massa. Jangan lupa, Pemilu 2014 di Jakarta dia menang. Dia punya suara signifikan dan ada pendukung yang signifikan juga.
Sejauh penglihatan saya, pemimpin PDIP menahan diri untuk tidak memobilisasi massa. Nah, risikonya berat juga. Bukan hanya untuk PDIP, tetapi juga untuk Jakarta. Mungkin PDIP melihat sekarang di Jakarta ini ada konflik elit, dan ada massa yang terbawa oleh konflik elit. Ada massa yang cair dan ada massa yang ideologis, kira-kira begitu.
Pada aksi 4 November itu kan ada dua jenis: massa yang turun karena ideologi politik, ada juga massa yang memang marah dengan penyataan Ahok tetapi dia sebetulnya non-politis. Mereka hanya ingin menunjukkan bahwa mereka marah, tetapi non-politis. Tetapi ada juga yang politis. Jadi massa aksi 4 November ini tidak monolitik.
Dari sisi orang-orang yang berpendapat Ahok tidak melakukan kesalahan, relatif menganggap tidak usah ikut memobilisasi massa untuk frontal berhadapan [dengan aksi Bela Islam]. Itu menurut saya baik. Dan saya kira PDIP memegang peranan penting di situ, membawa massanya tidak terbelah.
Tapi apakah pemilih 2014 itu memang pemilih di akar rumput PDIP atau memang pemilih karena faktor Jokowi?
Mungkin itu ada benarnya [PDIP menang pada 2014 karena faktor Jokowi]. Tetapi kemudian ada juga wacana bahwa apa yang dialami Pak Ahok sekarang hanya target antara, bahwa sebetulnya yang ditarget Pak Jokowi. Dengan logika yang Anda sampaikan bahwa 2014 itu PDIP menang karena faktor Jokowi, maka sekarang pendukungnya akan [berpikir] sama, bahwa aksi ini menjadikan Pak Jokowi sebagai target. Saya kira mereka juga punya attachment juga terhadap Pak Jokowi. Bahwa [Ahok] dianggap target antara, ini kan pandangan yang berkembang sekarang di masyarakat.
Menurut saya bagus saat ini sudah tidak ada posko PDIP. Kalau ada sudah pasti bentrok, enggak mungkin nggak. Menurut saya kita harus mensyukuri. Jangan sampai [posko sebagai simpul massa] terekskalasi menjadi sesuatu yang sulit ditangani.
Bukankah dengan hadirnya posko-posko PDIP pada basis mereka, demonstrasi kemarin bisa saja diredam?
Persoalannya begini. Saat ini pemilihan orang, bukan pemilihan partai, jadi posko-posko PDIP tidak muncul. Dan, kebetulan calonnya adalah Ahok [yang bukan kader PDIP]. Pak Djarot [yang kader PDIP] dalam posisi wakil gubernur. Urgensi atau kebutuhan memobilisasi melalui posko itu tidak ada, karena ini titik beratnya pemilihan individu. Mereka mendapatkan dukungan dengan cara lain. Tidak harus terlihat ada posko pendukung Ahok.
Dan kebetulan pendukung Pak Ahok, sebelum dia dicalonkan oleh PDIP, pendekatannya nonpartai juga. Ada Teman Ahok, ada warga Jakarta biasa. Mereka paham politik, tetapi nonpolitis. Ya karena mungkin di Jakarta, [ada faktor] ritme orang bekerja, dan lain-lain. Tapi mereka tahu pilihannya oke. Yang dukung Ahok, ya, dukung Ahok, yang dukung Anies, ya, dukung Anies.
Jakarta juga beda dengan tempat lain. Pada akhirnya, ini soal kebijakan. Makanya susah dipahami kalau ada tema-tema ras atau agama. Persoalan Jakarta tidak bisa diselesaikan oleh agama atau ras.
Contohnya saja, memang kalau Anda kebanjiran, airnya milih masuk ke [rumah] orang Padang atau Jawa, atau orang Kristen atau orang Islam? Wabah demam berdarah memangnya pilih-pilih, mau gigit Anda atau tidak? Pada akhirnya adalah [soal] bagaimana Jakarta ini dikelola dan siapa yang punya kompetensi. Kedua, adalah yang bisa meng-cover semua orang dengan latar belakang berbeda.
Dalam konteks Pilkada saat ini, artinya partai memang tidak begitu memiliki peran signifikan?
Tergantung. Partai juga bisa berfungsi. Mungkin partai seperti PDIP dan Golkar yang pendukungnya sudah lebih stabil karena partai lama. Suaranya tidak jauh bergeser, jadi pengenalan orang terhadap Golkar dan PDIP sudah solid. Orang sudah punya pandangan tentang partai itu dan tidak usah ribut-ribut lagi. Tapi mungkin beda kalau itu partai baru. Misalnya Nasdem mendukung Ahok, itu kan dalam rangka image building. Sementara, PDIP partai yang sudah lama dan cenderung konservatif, cenderung menunggu sampai waktu terakhir untuk memutuskan. Toh dia juga suaranya paling banyak, dan lain-lain.
Sehingga, persoalannya bukan tidak perlu mobilisisasi dan bukan partai tidak penting lagi. Tetapi dalam pilkada langsung seperti sekarang ini, [titik beratnya] lebih ke individu. Suka atau tidak suka, mekanisme sekarang itu mendorong pemilih hanya melihat pada individunya, bukan lagi dari partainya.
Artinya, konstituen PDIP pun bisa jadi tidak memilih Ahok? Apalagi dia sering mengeluarkan kebijakan tak berpihak kepada wong cilik...
Jangankan pemilih PDIP, kemarin pengurus PDIP juga banyak yang tidak mau partainya mengusung Ahok. Tetapi yang namanya partai harus disiplin, itu yang terjadi pada PDIP. Oke, meski sebelum penetapan ada yang tidak setuju, keputusan partai harus mereka jalankan. Tapi, pemilih sulit dikontrol. Karena itu tadi. Pemilih di tingkat lokal melihat macam-macam hal, bukan hanya partai. Orangnya, apa yang sudah dilakukan. Jadi, banyak alasan kenapa seseorang memilih calon A, calon B, atau calon C.
Kalau kita lihat kembalinya suara PDIP yang dimulai pada Pilkada 2012 dan Pilpres 2014, mereka mengubah arah jadi membius pemilih. Apakah itu berarti mereka meninggalkan konstituen?
Menurut saya mereka bukan pindah haluan, mereka pindah peran. Sekarang menjadi partai berkuasa. Kalau model aksi cap jempol darah yang membutuhkan militansi dan lain-lain, itu bisa terjadi dalam posisi mereka sebagai oposisi, yang dipinggirkan, yang dikecilkan. Makanya muncul reaksi-reaksi pendukungnya.
Kalau sudah jadi partai penguasa, konsentrasinya harus pada hal-hal yang menguntungkan para pemilih. PDIP harus lebih kelihatan, lebih konseptual melemparkan ide tentang wacana kebijakan. Kalau untuk akar rumputnya, itu urusan DPD dan DPC masing-masing.
Tetapi sebagai partai, dia juga harus tampil sebagai partai berkuasa. Membuat undang-undang, menjalankan pemerintahan, merumuskan budget. Itu memang membutuhkan orang-orang yang tampilannya konseptual. Dia bukan meninggalkan konstituen, tetapi dia sekarang partai government, bukan partai di electoral.
[Dulu] PDIP militan karena dia partai oposisi. Partai yang berani menunjukkan apa itu oposisi dan bahwa menjadi oposisi itu tidak harus mati. Itu PDIP. Sepuluh tahun mereka tidak ikut koalisi dan mereka membuktikan bahwa menjadi oposisi itu mereka melakukan kaderisasi, memperbaiki partai, dan tahun 2014 Jokowi menang.
Artinya apa? Dalam perspektif demokrasi, itu mendewasakan kita. Ada bukti konkret bahwa mencapai kekuasaan itu tidak harus merecoki yang sedang berkuasa, tetapi menunggu ada waktu lagi. Dan itu yang dilakukan PDIP, menunggu dua periode. Kalah 2009, coba lagi 2014. Dan PDIP memetik buahnya sekarang karena sekarang kader PDIP banyak yang bagus. Selama 10 tahun menjadi oposisi, mereka menjadi lebih militan.
Mereka melahirkan kader-kader hebat yang kemudian memenangkan pilkada. Ada Ganjar Pranowo, di Jawa Barat [Rieke-Teten] juga hampir menang. Di Sumut juga Effendi Simbolon hampir menang. Lalu juga kader-kader muda PDIP saat ini stoknya banyak. Stok kader yang siap menjadi kepala daerah dan menjadi anggota DPR. Menurut saya, pelajaran tentang menjadi oposisi dan menunggu waktu pemilu hanya PDIP yang sudah melakukannya.
Tidak pernah PDIP minta-minta masuk koalisi waktu zaman SBY. Ini terlepas dari persoalan personal antara Megawati dan SBY. Ternyata itu dampak baiknya. Dia menjadi oposisi dan bisa menang.
Kalau dilihat penurunan suara dari 1999 ke 2004, itu signifikan sekali?
Tahun 1999 itu terjadi yang biasa disebut dalam literatur sebagai protest vote: pokoknya asal bukan Golkar. Karena Soeharto baru jatuh dan macam-macam, dan PDIP saat itu dilihat sebagai korban penindasan. Figur yang pertama muncul, alternatifnya Orde Baru, ya, Megawati. Ternyata, mungkin PDIP tidak siap berkuasa.
Selama 32 tahun PDI partai paling kecil, kok. Paling buncit, kan? Golkar, PPP, lalu PDI. Tiba-tiba tahun 1999 menang banyak. Waktu itu kita tahu kesulitannya. Kualitas kader PDIP yang duduk di DPR dan DPRD kurang bagus, dan mereka harus memerintah di tengah krisis, lho. Itu makanannya Golkar, makanya 2004 Golkar yang menjadi pemenang Pemilu.
Karena orang kemudian sadar bahwa tahun 1999 adalah protest vote tanpa melihat kapasitasnya, kemudian orang melihat Golkar yang paling bisa, makanya menang pemilu 2004 dan butuh 10 tahun bagi PDIP untuk membangun kadernya, melahirkan kader yang bagus dan memiliki kerangka konseptual.
Tapi kebijakan-kebijakannya kemudian tidak berpihak kepada konstituen. Ada upaya melupakan para pemilih mereka di kalangan wong cilik?
Sebetulnya tidak juga, karena kebijakan-kebijakan kepada wong cilik itu dibuat dalam bentuk yang lebih terlembaga, misalnya BPJS. Itu yang lebih terkorporasi dalam struktur negara, APBN. Opsi itu lebih baik, dibanding dulu banyak program cash transfer dan program tidak produktif. Program-program populis lebih terlembaga dan terevaluasi. Di survei CSIS tentang 2 tahun pemerintahan Jokowi, tingkat [kepuasan] terhadap program itu tinggi sekali.
Itu kemudian jadi berita dari mulut ke mulut, kan. Misalnya Anda dulu sakit tidak bisa dibawa ke rumah sakit, sekarang bisa dan tidak bayar. Itu menjadi berita mulut ke mulut dan rakyat banyak yang berpikir bahwa ini program pemerintah yang seharusnya dari dulu ada.
Justru menurut saya program-program yang langsung berhubungan dengan masyarakat yang lebih terlembagakan itu [lebih baik], dibuktikan dengan tingginya apresiasi publik terhadap program-program Jokowi. Walaupun, kalau kita tanya kepada pakar-pakar atau ekonom yang mengerti masalah ekonomi, kalau dalam perspektif mereka itu berat untuk budget. Membiayai kesehatan masyarakat, porsi bantuan negara agar rakyat bisa mengakses fasilitas kesehatan itu terlalu besar.
Dari mana dananya? Mungkin [seharusnya] orang yang keadaan ekonominya baik bisa bayar BPJS lebih besar daripada yang tidak mampu atau yang tidak bayar sama sekali. Bagaimana kalau pajak dinaikkan? Kalau dinaikkan, bisnis bisa teriak-teriak, akhirnya macet juga.
Saya kira ini yang terjadi, dan saya kira baik. Yang harus diperdebatkan adalah kebijakan.
Artinya dengan kebijakan populis itu, PDIP mendapat dua keuntungan?
Bisa iya, bisa tidak. Karena ada faktor lain, yakni efek sistem pemilu yang kita gunakan. Misalnya dalam konteks multipartai saat ini, Golkar sama Nasdem beda platformnya apa sih? Tidak bisa dibedakan juga. Apa yang membuat Anda memilih Nasdem dan orang lain memilih Golkar, misalnya? Kita juga tidak tahu.
Kenapa? Karena dengan sistem pemilu langsung, di mana-mana di seluruh dunia, orang senangnya yang moderat-moderat saja. Tidak bisa dibedakan juga dalam kebijakan ekonomi. Dalam soal faktor agama misalnya, PDIP punya cabang muslimnya, Demokrat juga punya. Jadi semua juga menggerakkan sentimen mayoritas yang beragama Islam.
Kalau begitu, faktor apa yang bisa menjelaskan Demokrat menang pada 2009? Karena faktor SBY, kan. Pemilih-pemilih partai Islam turun. Pada waktu tertentu, agama tidak menjadi faktor kuat yang membuat orang memilih.
Sekarang mungkin faktor agama sedang kuat, tetapi itu tidak permanen, tergantung konteks dan situasi. Bukti konkretnya saja yang menang pemilu, 1999 PDIP, 2004 Golkar, 2009 Demokrat. Itu saja sudah mondar-mandir, tidak bisa diprediksi.
Dalam konteks Pilkada Jakarta, jika diasumsikan politik aliran berpengaruh, artinya PDIP tidak bisa menjaga konstituen mereka. Bisa jadi mereka yang dulu mendukung saat ini berbalik arah dari merah menjadi hijau, kemudian ke putih?
Kalau PDIP susah untuk berubah menjadi baju hijau. Kalau partai lain mungkin iya.
Tapi sekarang begini persoalannya: Apakah karena ada faktor primordial, partai kemudian bertindak? Faktor primordial sebenarnya partai-partai yang menghidupkan. Realitanya 90 persen beragama Islam. Jadi tidak usah dibuat mobilisasi pun, partai Islam lebih memiliki peluang, kan? Tetapi partai merasa perlu membakar sentimen agama ini, kan, aneh? Padahal warganya sudah 90 persen muslim. Lebih aneh lagi, kalau kita liat catatan pemilu, suara partai Islam cenderung turun. Coba Anda lihat, dari berberapa kali pemilu, cenderung turun atau stagnan.
Tetapi dalam konteks ini, PKS bisa mempertahankan kursi mereka meski sempat turun, artinya akar rumput mereka lebih terjaga dibanding dengan PDIP?
Risikonya begini. Kalau ada partai yang jelas menunjukkan ideologinya secara terus-terusan, cenderung [pemilihnya] tidak nambah, stagnan saja. Dalam konteks pemilu langsung seperti saat ini, orang cenderung ingin yang sedang-sedang saja. Jadi, kayak PKS itu suaranya tidak nambah, tidak apa juga. Mereka punya market. Tetapi partai-partai besar lain lebih fluktuatif. Karena memang massanya tidak ideologis. PDIP agak ideologis, ya, karena masih ada Bung Karno dan Megawati, tapi yang lain-lain berubah-ubah.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Maulida Sri Handayani