Menuju konten utama

Ahok Ditolak di Mana-Mana, Soliditas PDI Perjuangan Diuji

Penolakan kampanye Ahok-Djarot semakin massif terjadi. Sempat ada kekhawatiran konflik antar-aliran nasionalis vs. Islami. Tapi sebelum mengkhawatirkan itu, perlu dipertanyakan juga: Apakah PDI Perjuangan solid dalam mengatasi penolakan terhadap Ahok?

Ahok Ditolak di Mana-Mana, Soliditas PDI Perjuangan Diuji
Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok (tengah) menjawab petanyaan wartawan usai menjalani pemeriksaan di Bareskim, Mabes Polri, Jakarta, Selasa (22/11). Ahok diperiksa penyidik Bareskrim Polri selama 8,5 jam untuk pemeriksaan perdana sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama. ANTARA FOTO/Reno Esnir/foc/16.

tirto.id - Ketika Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri mengumumkan status tersangka Basuki Tjahaja Purnama, mantan Bupati Belitung Timur itu sedang bersama para pendukungnya di rumah pemenangan, Rumah Lembang. Ia tak nampak gelisah. Ahok terlihat tertawa bahkan berselfi bersama para pendukungnya. Ia juga sempat pamit ke dokter gigi dan kemudian kembali ke rumah pemenangan.

“Sekarang Ahok kalau tidak di backup PDIP nasibnya seperti apa sekarang?” pengurus teras PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari balik mengajukan pertanyaan retoris saat tirto.id bertanya apakah basis massa partai ini solid mendukung Ahok. “Apakah bisa independen mempertahankan Ahok pada saat itu. Seperti saat ini bisa bertahan?

PDI Perjuangan mengaku telah merapatkan barisan untuk memenangkan Ahok menjadi gubernur. Demi memuluskan langkah itu, PDI Perjuangan memasang strategi menggerakkan kadernya hingga level kelurahan. Di Jakarta Timur, misalnya, partai berlambang banteng itu menyiapkan 1.149 kadernya untuk bersinergi di tingkat kecamatan dan 585 orang di tingkat kelurahan.

“Pengurus di RW ada 3 orang,” kata Wakil Ketua Bidang Pemenangan Pemilu PDI Perjuangan Gembong Warsono saat dihubungi lewat telepon, Senin lalu. Jika di tiap RW ada 3 orang kader yang mengawal, dengan 2.709 jumlah RW di DKI, maka ada 8.127 kader PDIP disiagakan pada tingkat pengurus rukun warga.

Partai berlambang banteng itu pun hingga saat ini terus melakukan konsolidasi. Senin malam, seluruh DPC PDI Perjuangan menggelar rapat di Jakarta Utara untuk membangun sinergi di akar rumput. Pengurus cabang hingga ranting hadir pada rapat itu. Bahkan, jauh sebelum PDI Perjuangan mengusung Ahok dengan Djarot Sjaiful Hidayat, awal puasa lalu partai belambang banteng itu sudah melakukan konsolidasi pemenangan pilgub

“Buka puasa hari pertama itu sudah konsolidasi untuk pilgub,” kata Eva.

Ketua DPP PDIP Bidang Ideologi dan Kaderisasi Idham Samawi mengamini pernyataan Eva. Strategi kali ini menurutnya sama dengan yang dilakukan saat menghadapi pilgub 2012 yang memenangkan Jokowi-Ahok. Satu anggota DPR dan DPRD dari PDI Perjuangan dikerahkan hingga tingkat kelurahan buat memenangkan Ahok-Djarot. Bahkan anggota dewan PDI Perjuangan dari daerah yang tidak sedang pilkada pun dikerahkan.

“Iya itu masih dilakukan, bahkan tidak hanya tingkat kecamatan, tapi sudah tingkat kelurahan. Satu orang [anggota] DPR RI, satu kelurahan,” kata Idham.

Basis Massa PDI Perjuangan: Wong Cilik Nasionalis

Sebagai partai yang mengaku membawa suara wong cilik, kekuatan PDI Perjuangan selayaknya memang bertumpu di akar rumput. Kemenangan PDI Perjuangan pada Pemilu 1999 menjadi contoh bagaimana basis massa di akar rumput bisa memenangkan Megawati. Apalagi PDI Perjuangan saat itu dilimpahi suara para pemilih yang marah terhadap Golkar, partai Soeharto.

Sejak peristiwa 27 Juli 1996 yang membuat Megawati terlempar dari partai, ia memang banjir dukungan. Bahkan pada pemilu 1997 terjadi golput besar-besaran di kalangan marhaen—sebagian konstituen mendukung PPP dengan kaukus Mega-Bintang. Pada Pemilu 1999, setelah Orde Baru jatuh, Megawati mengusung nama PDI Perjuangan sebagai pembeda dengan PDI pimpinan Soerjadi.

Inilah masa gemilang partai banteng. Diperkirakan sebanyak 1,2 juta orang turun ke jalan buat mengikuti kampanye PDI Perjuangan. Bahkan saat aksi mengawal Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat, diperkirakan ada 2 juta massa yang turun ke jalan menyatakan dukungan terhadap Megawati menjadi presiden

Dukungan itu pun memunculkan aksi ekstrem macam cap jempol darah. Gerakan yang bermula dari Jawa Timur itu menyebar ke pelosok daerah lain, bahkan Jakarta. Dukungan semakin meluas ketika ada upaya-upaya menjegal Megawati untuk bisa menjadi presiden.

Kuntowijoyo dalam eseinya “Membabat Habis Mitos Jumlah Terbesar” pada antologi Mengapa Partai Islam Kalah? mengisahkan bagaimana situasi psikologi politik setelah Orde Baru runtuh. Pemilu demokratis pertama pasca-kejatuhan Soeharto tahun 1999 membuat partai-partai berasas Islam terpukul.

“Mereka bisa kalah suara dengan PDI-P yang dipersangkakan anti Islam,” tulisnya.

Karena muncul kasak-kusuk di kalangan elit untuk menjegal Mega, gerakan massa pun semakin kencang, salah satunya dengan cap jempol darah tadi. “Reaksi PDI-P seram. Seperti mau Bharatayudha,” kata Kuntowijoyo.

“Di bawah Rezim Orde Baru, Islam politik dan PDI-P mengalami marjinalisasi, sekalipun Islam politik jauh lebih lama dan penuh darah”.

Saat itu, Kuntowijoyo menyatakan khawatir gejala-gejala politik itu akan menyulut bentrokan antar-aliran yang membawa Indonesia kembali ke politik aliran Pemilu 1955, bahkan kembali ke konflik abangan-santri pada masa Kerajaan Demak.

Tapi kemudian sejarah mencatat dinamika selanjutnya. Meski Kuntowijoyo menggambarkan PDIP sebagai partai yang agresif, tidak ada bentrokan yang dikuatirkan saat akhirnya partai-partai Islam dalam Poros Tengah menggolkan Gus Dur menjadi presiden, dan Megawati sebagai pemenang pemilu legislatif harus puas di kursi wakilnya saja.

Kini, ketegangan yang terjadi dalam kasus Al Maidah bisa dibilang meneruskan ketegangan politik antar-aliran yang kurang lebih sama. Masalah ini akan gampang dilihat sebagai pertentangan kelompok nasionalis vs. Islam atau aliran abangan vs. santri sebagaimana tipologi aliran yang dibuat antropolog Clifford Geertz.

Tapi ternyata tak ada respons-respons ala wong cilik PDIP, baik pengerahan massa, apalagi aksi ekstrem macam cap jempol darah. Ini menimbulkan pertanyaan: Apa yang sedang/telah dilakukan PDI Perjuangan di akar rumput untuk memenangkan Ahok-Djarot? Apalagi awalnya ada kader partai berlambang banteng itu yang menolak pencalonan Ahok.

“Memang ketika proses calon, kami memberikan kesempatan terbuka kepada semua kader untuk berpendapat. Tapi ketika telah diputuskan Ahok-Djarot, maka semua harus tegak lurus. Itu ideologi yang mendasari PDI Perjuangan,” Idham menegaskan komitmen partainya.

Bahkan kata dia, satgas PDI Perjuangan juga ditugaskan buat mengawal jalannya kampanye Ahok-Djarot di berbagai tempat di Jakarta. Tujuannya bukan untuk unjuk kekuatan. Satgas itu, kata Idham, bertugas mengamankan jalannya kampenye dari berbagai aksi penolakan.

“Mengawal, mengamankan, tapi di sini sifatnya bukan kekerasan kepada fisik dan sebagainya. Kalau ada penolakan, kalau ada sampai yang dipukul [saling balas] itu ceritanya lain lagi,” ujarnya. Demi memenangkan pilgub ini, kata Idham, posko-posko PDI Perjuangan pun diminta untuk dihidupkan kembali.

Kasus penistaan agama yang menimpa Ahok ini memang tak bisa dianggap remeh oleh partai. Elektabilitas Basuki-Djarot turun setelah kasus ini diekspose terus. Ahok juga kerap menghadapi aksi-aksi penolakan saat sedang blusukan untuk kampanye.

Sejak gerakan aksi 4 November, setidaknya terjadi tujuh kali aksi penghadangan ketika Ahok-Djarot melakukan kampanye. Yang terakhir terjadi di Jalan Mujahidin, Cipinang Sodong, 16 November lalu. Djarot sedang kampanye di tempat itu dan dihadang warga. Sempat ada adu mulut dan saling dorong antara warga dengan pendukung Djarot.

Massa dari kedua belah pihak itu juga saling meneriakkan yel-yel. Warga yang menolak kehadiran Djarot bersalawat, sementara para pendukung calon nomor urut 2 itu menyayikan lagu Garuda Pancasila. Djarot pun meredam situasi itu.

“Kita di sini dengan niat baik, kita minta izin mau lewat, jangan dilawan, kalian tidak boleh terprovokasi, serahkan kepada pihak kepolisian," kata Djarot. Kampanye pun dilakukan sebentar, sebelum Djarot meninggalkan Cipinang.

Menurut tokoh masyarakat Cipinang, Usely Hasan, aksi penolakan itu terjadi karena ketika melakukan kampanye, Djarot juga membawa massa beratribut partai. Apalagi kehadiran Djarot memang tak dikehendaki di Cipinang. Dua faktor itu menjadi penyebab demo penghadangan Djarot.

Infografik HL Peta Penolakan Ahok-Djarot

“Mereka membawa massa. Pak Djarot bawa massa, mungkin Pak Djarot nggak bawa massa tapi timsesnya atau siapa, [ada] 50 orang lebih dan bukan orang-orang situ. Nggak ada satu pun orang situ,” ujar Usely Hasan.

Belakangan, karena aksi penolakan di berbagai tempat, simpatisan PDI Perjuangan juga terlihat ketika Ahok-Djarot melakukan kampanye. Sesekali, ada penghadangan yang menyebabkan kericuhan.

Penolakan kampanye Ahok-Djarot di berbagai tempat memang beralasan. Penelusuran tirto.id di lapangan menunjukkan penolakan itu ada yang dipicu kasus dugaan penistaan agama yang menjerat Ahok. Wajar. Apalagi sebagian terjadi di daerah yang bukan basis pemilih PDI Perjuangan. Kelurahan Ciracas, yang masuk Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur, pada pilpres lalu dimenangkan Prabowo-Hatta, meski hanya menang tipis.

Seperti terpacak pada kawalpemilu.org, di Kelurahan Ciracas, pasangan nomor urut 1 dalam pilpres mengantongi 19.299 suara atau 51,26 persen. Sementara PDI Perjuangan yang mengusung Jokowi-JK hanya beroleh 18.349 suara atau 48,74 persen. Di lima kelurahan berada di Kecamatan Ciracas, pasangan Jokowi-JK juga hanya unggul di kelurahan Kelapa Dua Wetan. Total perolehan suaranya 13.401 atau 50,71 persen.

Selain soal penistaan agama, penolakan terhadap Ahok saat blusukan sesungguhnya sudah terjadi sejak Juni. Sepanjang bulan Juni sampai Agustus, setidaknya terjadi enam kali penolakan kedatangan Ahok. Penolakan itu didasari karena kebijakan Ahok dianggap tak berpihak kepada wong cilik, yaitu penggusuran.

Karena kebijakan itu juga, bentuk penolakan terhadap Ahok terus berdatangan. Pada Mei misalnya, ratusan warga dari 33 kelurahan se-Jakarta melakukan perlawanan dengan mencetuskan “Lawan Ahok si Raja Gusur”. Penolakan soal penggusuran yang dilakukan oleh Ahok pun masih berlangsung hingga saat ini.

Jika melihat gejala-gejala penolakan yang datang dari dua arah, politik identitas dan politik programatik, PDI Perjuangan benar-benar harus menguji strateginya untuk bisa mengatasi dan memenangi pilgub Februari tahun depan. Tentu tanpa harus menghidupkan friksi ala politik aliran seperti dikuatirkan oleh Kuntowijoyo.

Baca juga artikel terkait PENOLAKAN AHOK-DJAROT atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Politik
Reporter: Arbi Sumandoyo & Mawa Kresna
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Maulida Sri Handayani