tirto.id - Perolehan suara dalam pemilu legislatif (pileg) akan menentukan parpol mana saja yang mengamankan kursi di DRR RI periode 2024-2029.
Sejumlah lembaga survei telah memfinalisasi sampel hasil hitung cepat untuk pileg dan mendapati sejumlah parpol petahana tampaknya akan tetap melenggang ke Senayan.
Namun, pertarungan selanjutnya adalah perebutan parpol mana yang akan menempati pucuk pimpinan parlemen atau Ketua DPR RI.
Peneliti dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad, menilai pemenang pileg kali ini kemungkinan besar akan menempati posisi Ketua DPR.
Sebab, hingga saat ini aturan yang berlaku masih menggunakan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Pasal 427D menyebutkan, ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR.
“Meski tidak otomatis mendapat kursi terbanyak, namun pemenang pemilu (pileg) nanti akan berpotensi besar menjadi Ketua DPR,” kata Saidiman kepada reporter Tirto, Kamis (22/2/2024).
Dalam sejumlah hasil hitung cepat lembaga survei, PDIP menduduki posisi puncak perolehan suara. Sementara di posisi kedua Partai Golkar terus menempel.
Misalnya hasil hitung cepat survei Poltracking, PDIP memperoleh suara tertinggi sebanyak 16,64 persen. Diikuti Partai Golkar (15,18 persen), Partai Gerindra (13,34 persen), Partai Kebangkitan Bangsa (10,89 persen), dan Partai Nasdem (9,24 persen).
Menurut Saidiman, jalannya DPR nanti tetap akan ditentukan oleh komposisi koalisi terbesar di parlemen, bukan soal siapa parpol Ketua DPR. Namun, kata dia, PDIP memiliki peluang menjadi oposisi yang kuat bagi pemerintah selanjutnya jika kembali terpilih menempati kursi Ketua DPR.
“Kalau PDIP menjadi oposisi akan menarik karena [bila menjadi] Ketua DPR akan berseberangan dengan pemerintah. Ini karena hitung cepat pilpres kan Prabowo-Gibran unggul jauh, PDIP berhadapan dengan mereka [jika terpilih] maka akan ada check and balance,” ujar Saidiman.
Sebelumnya, PDIP masih khawatir kehilangan kursi Ketua DPR yang saat ini mereka kuasai. Hal ini diungkapkan oleh Ketua DPP PDIP Bidang Pemenangan Pemilu, Bambang Wuryanto.
Meski saat ini unggul dalam hitung suara sementara di Pileg 2024, PDIP tetap khawatir kehilangan kursi ketua DPR karena saat ini dikelilingi partai pengusung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di Pilpres 2024.
Paslon tersebut memang digadang-gadang menang satu putaran dan disokong oleh sejumlah partai Senayan saat ini seperti Golkar, Demokrat, PAN, dan Gerindra.
“Setiap prajurit yang bertempur terlebih panglimanya, selalu ingin menang dan khawatir jika kalah. Itu hal yang akan dialami pasukan manapun,” ujar Bambang Pacul saat dihubungi Tirto, Rabu (21/2/2024) lalu.
Saat ditanya lebih lanjut soal pihak mana yang akan merebut kursi ketua DPR nanti, Bambang Pacul enggan berkomentar. Termasuk soal siasat yang akan dilakukan PDIP untuk mempertahankannya. “Cukup dulu, ya,” kata dia.
Sementara itu, Politikus senior PDIP, Hendrawan Supratikno, menegaskan pihaknya masih menunggu perhitungan suara dan tidak akan dibutakan oleh ambisi kekuasaan. Dia menilai partai berlogo banteng moncong putih itu tidak akan terburu-buru mengincar jabatan.
“Target kami lebih tinggi dari hasil hitung [sementara] yang sedang berjalan di [KPU]. Perhitungan internal kami lebih tinggi, kami masih terus mencermatinya,” kata Hendrawan kepada reporter Tirto, Kamis.
Optimisme Golkar
Di sisi lain, Golkar yang langganan menduduki kursi pimpinan DPR, terus membayangi PDIP di posisi kedua raihan suara. Mereka juga optimis dapat memenangkan Pileg 2024 sebagaimana disampaikan Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Erwin Aksa.
“Sekarang masih hitung suara, InsyaAllah target Golkar menang pemilu,” kata Erwin kepada reporter Tirto, Kamis.
Sebelumnya, nada optimistis serupa juga disampaikan oleh Ketua Bidang Media dan Penggalangan Opini (MPO) DPP Partai Golkar, Meutya Hafid. Meutya bahkan yakin partai berlogo pohon beringin itu punya kans besar merebut kursi Ketua DPR untuk periode 2024-2029.
Dia merasa suara Golkar selama pemilu legislatif merata di hampir seluruh wilayah di Indonesia.
“Ya optimis kan harus, untuk saat ini kan suara-suara menunjukkan kami cukup baik, artinya tidak hanya dari perolehan, tapi juga dari sebaran," kata Meutya di Rumah Sakit Pusat Pertahanan Negara (RSPPN) Panglima Besar Soedirman di Jl. RC. Veteran Raya No.178, Bintaro, Kec. Pesanggrahan, Kota Jakarta Selatan, Senin (19/2/2024).
Meski Golkar berada di urutan kedua setelah PDIP dalam hitung cepat suara, hal itu masih membuka kesempatan bagi Golkar untuk memperoleh kursi DPR 1.
Meutya menekankan syarat partai bisa duduk menjadi ketua di DPR bukan hanya jumlah suara, namun sebarannya. “Nah, Golkar ini cukup merata,” kata dia.
Saat ini Ketua DPR periode 2019-2024 adalah Puan Maharani yang merupakan Ketua DPP PDIP. Pada pemilu 2019, PDIP memperoleh kursi terbanyak di DPR dengan 128 kursi. Diikuti Partai Golkar dengan 85 kursi dan Partai Gerindra yang memperoleh 78 kursi.
Raihan kursi terbanyak itu menjadi modal PDIP memandatkan Puan menjadi ketua DPR sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018. Saat itu, PDIP sebagai partai pemenang pemilu dengan total 27.053.961 suara atau 19,33 persen.
Namun, berdasarkan jejak Ketua DPR, belum tentu partai pemenang pemilu dapat otomatis menjadikan anggotanya sebagai pimpinan DPR. Misalnya pada 2014, PDIP sebagai pemenang pileg dan pilpres malah tidak mendapat kursi pimpinan di Senayan.
Pasalnya, pada 2014, perebutan kursi pimpinan DPR dilakukan dengan pemilihan sistem paket yang termaktub dalam UU Nomor 17/2014 tentang MD3.
Dinyatakan bahwa pimpinan DPR ditetapkan melalui mekanisme pemilihan secara demokratis atau dipilih oleh seluruh fraksi. Saat itu, Setya Novanto dari Partai Golkar yang menjadi Ketua DPR meskipun PDIP menang pemilu.
Mekanisme tersebut berbeda dengan pemilu sebelumnya di tahun 2009 yang diatur UU Nomor 27/2009 tentang MD3. Serupa dengan UU MD3 saat ini, aturan saat itu menyatakan ketua DPR berasal dari fraksi dengan kursi terbanyak pertama di DPR. Melalui mekanisme ini, Partai Demokrat sebagai parpol pemenang pemilu menunjuk Marzuki Alie sebagai Ketua DPR.
Maka, tidak mengherankan jika PDIP merasa khawatir kehilangan kursi Ketua DPR periode selanjutnya meski tengah di atas angin. Selain karena ditempel ketat perolehan Golkar, peluang itu juga bisa semakin kabur jika UU MD3 saat ini mengalami perubahan atau revisi kembali menjadi sistem paket seperti pemilu 2014.
Namun, seberapa besar kemungkinan UU MD3 kembali mengalami perubahan?
Kemungkinan Revisi
MenurutPeneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, sejak 2014 ada semacam kebiasaan DPR yang selalu mengubah aturan main dalam UU MD3 setiap menjelang berakhirnya masa bakti atau di masa awal periode yang baru.
Dengan kata lain, kata dia, UU MD3 selalu bisa diubah sesuai dengan kebutuhan sesaat.
“Jadi sejarah mencatat, UU MD3 ini paling lunak, mudah diutak-atik sesuai dengan keinginan parpol yang mempunyai jatah kursi di parlemen,” kata Lucius kepada reporter Tirto, Kamis.
Dia menyampaikan, jika sistem pemilihan ketua DPR RI memakai sistem paket, maka tidak ada jaminan PDIP dapat mengamankan posisi Ketua DPR meski menang pileg.
Di sisi lain, Golkar dengan perolehan suara terbanyak kedua setelah PDIP sekaligus berpeluang berada di koalisi pemenang pilpres, menjadi sangat mungkin mendapatkan kursi Ketua DPR.
“Sejarah mencatat, permainan politik Golkar di 2014 sukses mengubah taktik untuk mengadang PDIP mendapatkan jatah kursi di pimpinan DPR,” tutur Lucius.
Menurutnya, dengan latar belakang itu, lobi dan kompromi menjadi kata kunci. Jika lobi dan kompromi antara parpol sudah tercapai, maka urusan mengubah UU MD3 bisa dilakukan kapan pun untuk mengakomodasi hasil kesepakatan politik partai-partai DPR.
“Maka perkembangan hasil pemilu akan sangat menentukan apakah perlu mengubah UU MD3 atau tidak,” kata Lucius.
Sementara itu, Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Charles Simabura, menyatakan satu-satunya jalan merebut kursi Ketua DPR dari PDIP yang kemungkinan menang pileg, memang hanya dengan merevisi UU MD3.
Menurut dia, revisi itu bisa saja tiba-tiba dilakukan meskipun disebutnya sebagai kelakuan tak beretika.
“Karena mengubah UU hanya untuk kepentingan sesaat. Dan jelas hendak melemahkan partai politik yang bukan bagian dari pemerintah,” kata Charles kepada reporter Tirto, Kamis.
Namun, menurut Charles pada akhirnya kursi Ketua DPR tetap mengikuti dinamika komposisi parpol fraksi pemerintah dan oposisi pada periode 2024-2029. PDIP dan Golkar, kata dia, tidak bisa menjadi penentu suara tunggal.
Menurutnya, ketua DPR adalah posisi strategis karena menjadi corong atau representasi suara DPR. Walaupun ada perbedaan di anggota, namun bisa mewakili pandang semua fraksi.
“Yang harus dicegah untuk tidak mengubah UU MD3 hanya untuk kepentingan [politik] dagang sapi sesaat seperti yang terjadi di tahun 2014,” terang Charles.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi