tirto.id - Ketua Setara Institute, Hendardi angkat bicara terkait pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, pada Jumat (22/9/2017) soal isu pembelian 5.000 pucuk senjata oleh institusi non-militer, serta ancaman penyerbuan ke Badan Intelejen Negara (BIN) dan Polri apabila institusi itu memiliki senjata tertentu yang memiliki kemampuan untuk menembak pesawat dan kapal.
Hendardi menyatakan, ancaman yang dilontarkan Panglima TNI Gatot Nurmantyo itu merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Hendardi menegaskan, Pasal 3 dan Pasal 17 regulasi tersebut secara tegas mengatur bahwa kebijakan pengerahan dan penggunaan kekuatan perang adalah otoritas sipil.
Pasal 3 ayat (1), misalnya, berbunyi “Dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah Presiden.” Sementara pada Pasal 17 ayat (1) secara eksplisit berbunyi “Kewenangan dan Tanggung Jawab pengerahan kekuatan TNI berada pada Presiden.”
Sedangkan pada Pasal 17 ayat (2) disebutkan bahwa “Dalam hal pengerahan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Selain itu, kata Hendardi, menyampaikan informasi intelijen di ruang publik juga menyalahi kepatutan, karena tugas inteleijen adalah hanya mengumpulkan data dan informasi untuk user-nya, yakni Presiden.
“Panglima TNI jelas a historis dengan hakikat reformasi TNI baik yang tertuang dalam TAP MPR, Konstitusi RI maupun dalam UU TNI dan UU Pertahanan,” kata Hendardi dalam siaran pers yang diterima Tirto, Minggu (24/9/2017).
Baca juga:Teka-Teki Isu Impor Ilegal 5.000 Senjata
Hendardi menyatakan, pernyataan Panglima TNI menunjukkan teladan buruk bagi prajurit yang justru selama ini didisiplinkan untuk membangun relasi yang kuat dan sehat dengan institusi Polri, akibat tingginya frekuensi konflik antar-dua institusi ini.
Namun, kata Hendardi, alih-alih menjadi teladan, Panglima TNI justru membawa prajurit TNI dalam konflik kepentingan serius yang hanya menguntungkan diri Jenderal Gatot, yang sepanjang September ini terus mencari perhatian publik dengan pernyataan-pernyataan permusuhan, destruktif, dan di luar kepatutan seorang Panglima TNI.
Karena itu, Hendardi berkata, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mesti berhati-hati mengambil sikap atas tindakan yang dilakukan oleh Panglima TNI tersebut. Hendardi beralasan, sebab Panglima TNI sedang mencari momentum untuk memperkuat profil politik bagi dirinya.
Baca juga:Politikus Demokrat Sebut Panglima TNI Tak Berhak "Menyerbu" Polri
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto telah merespons terkait polemik tersebut.
“Informasi dari Panglima TNI tentang adanya institusi di luar TNI dan Polri yang akan membeli 5.000 pucuk senjata standard TNI, tidak pada tempatnya dihubungkan dengan eskalasi kondisi keamanan, karena ternyata hanya adanya komunikasi antar-institusi yang belum tuntas,” demikian Wiranto dalam keterangan pers yang digelar pada Minggu (24/9/2017) sore.
Menurut Wiranto, setelah dikonfirmasikan kepada Panglima TNI, Kapolri, Kepala BIN dan instansi terkait, terdapat pengadaan 500 pucuk senjata laras pendek buatan PT Pindan oleh BIN untuk keperluan pendidikan intelijen. Wiranto juga menjelaskan bahwa pengadaan senjata bukan 5.000 dan bukan senjata standar TNI sebagaimana diributkan.
Pengadaan seperti ini, kata Wiranto, izinnya bukan dari Mabes TNI, tetapi cukup dari Mabes Polri. Dengan demikian, maka prosedur pengadaannya tidak secara spesifik memerlukan kebijakan Presiden. Wiranto berharap, penjelasan yang disampaikan tersebut bisa meredakan polemik dan politisasi atas kedua isu tersebut.
Baca juga:
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz