Menuju konten utama

Teka-Teki Isu Impor Ilegal 5.000 Senjata

Gatot Nurmantyo diminta membuktikan omongannya soal adanya impor ilegal 5.000 pucuk senjata.

Teka-Teki Isu Impor Ilegal 5.000 Senjata
Panglima TNI, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo menyampaikan pandangannya dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) ke-1 Partai Hanura di Kuta, Bali, Jumat (4/8). ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana

tirto.id - "Ada institusi yang akan membeli 5.000 pucuk senjata, bukan militer. Data-data kami, intelijen kami, [datanya] kuat," demikian kata Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dalam acara silaturahmi bareng sejumlah purnawirawan di Mabes TNI Cilangkap Jakarta, pada Jumat lalu (22/9).

Acara itu dihadiri para purnawirawan militer Indonesia. Hadir juga Menteri Politik Hukum dan Keamanan Wiranto, serta bekas Wakil Presiden Jenderal (Purn) Tri Sutrisno.

Ungkapan tersebut, kata Gatot, sebetulnya untuk kalangan internal mereka sendiri. "Tapi ini untuk kami saja," katanya.

Namun sejumlah media yang hadir kadung memberitakannya. Di internet juga tersebar rekaman suara lengkap Gatot soal itu. Alhasil, penyataan kontroversial tersebut menimbulkan reaksi dari banyak pihak, baik dari sipil maupun militer sendiri.

Baca juga: Panglima TNI Harus Klarifikasi Pernyataan tentang Impor Ilegal 5 Ribu Senjata

Apalagi, di kesempatan yang sama, Gatot juga mengatakan bahwa pihak yang berusaha mengimpor senjata secara ilegal itu mencatut nama Presiden Joko Widodo agar usaha mereka berjalan mulus. Persoalannya, Gatot tidak menginformasikan siapa pihak yang dimaksud, dan apa pula tujuannya.

Dari pihak tentara, akun Twitter Angkatan Udara (@_TNIAU) dalam salah satu kicauannya mempertanyakan pernyataan Gatot. "5 ribu pucuk senjata itu banyak lho. Gimana cara ngumpetinnya? Dan apakah pernyataan panglima ini memang benar? Karena dari Puspen TNI belum ada keterangan."

Pernyataan melalui akun Twitter ini kemudian dihapus. Pihak TNI AU mengaku tidak bermaksud menyanggah.

"Yang benar adalah admin TNI AU bersama dengan admin yang lain, ingin mengajak masyarakat untuk jangan mudah percaya terhadap berita yang belum dikeluarkan secara resmi oleh pihak-pihak yang berwenang di dalam institusinya," kata Kepala Dinas Penerangan TNI AU (Kadispenau) Marsma TNI Jemi Trisonjaya. Namun sekali lagi, ungkapan ini tidak hanya bersumber dari "berita yang belum dikeluarkan secara resmi", melainkan berdasarkan rekaman omongan Gatot sendiri.

Pernyataan Gatot ini juga secara tidak langsung menuding pihak-pihak lain yang punya otoritas membeli senjata. Selain TNI, Polisi, Badan Intelijen Negara (BIN), dan Badan Narkotika Nasional (BNN) juga punya kewenangan yang sama. Semua instansi tersebut pasti akan mencantumkan anggaran pembelian senjata dalam Anggaran Pembelian Belanja Negara (APBN) dan Rancangan APBN (RAPBN).

Kritik dari Parlemen

Oleh karena itulah pernyataan Gatot diragukan oleh Komisi III DPR RI, komisi di DPR dengan lingkup tugas di bidang hukum, HAM, dan keamanan. Anggota Komisi III DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, meragukan akurasi omongan Gatot karena menurutnya empat institusi tersebut tidak memiliki peluang melipatgandakan jumlah pembelian senjata di luar perencanaan APBN.

Menurut keterangan Sufmi, BNN, misalnya, tidak berniat membeli senjata baru dalam jumlah besar. Begitu juga dengan BIN. Dengan jenis kerjanya sebagai mata-mata, tidak ada kepentingan dari BIN untuk mengimpor senjata sebesar itu. Dalam APBN 2017, BIN hanya membeli 400 pucuk senjata.

"Penambahan itu harus ada persetujuan di APBN atau kalau mereka mau coba alokasikan itu harus dengan persetujuan mitra kerja, BNN harus minta [izin] ke komisi III DPR," kata Sufmi kepada Tirto.

Hal senada diutarakan Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Tubagus Hasanudin. Pensiunan TNI yang terakhir berpangkat Mayjen itu mendesak Panglima TNI membeberkan nama institusi yang berencana membeli 5000 pucuk senjata api secara ilegal. Politikus PDIP tersebut berpendapat 5.000 pucuk senjata api setara dengan dengan perlengkapan untuk 4-5 batalyon tempur di Indonesia. Dia berharap, Gatot segera mengungkap nama institusi itu agar Komisi I DPR RI, yang menangani bidang pertahanan, bisa segera bertindak.

“Kami belum tahu, siapa pembelinya? Apa benar mereka mengatasnamakan Pak Jokowi? Kami tunggu dulu klarifikasinya (dari Panglima TNI),” kata Hasanudin melalui siaran persnya yang diterima oleh Tirto pada Minggu (24/9/2017) (lebih lengkap pernyataan Sufmi dan Hasanuddin: Komisi III Ragukan Akurasi Pernyataan Panglima TNI Soal Impor Ilegal Senjata).

Desmond J. Mahesa, politikus dari Partai Gerindra, juga mengingatkan hal serupa. Ia meminta Panglima TNI berhati-hati. Menurut dia, Gatot harus segera mengklarifikasi pernyataannya itu ke publik dan memastikan bahwa sumbernya valid.

“Isu pembelian senjata ini sensitif. Ini digunakan untuk siapa,” kata Desmond saat dihubungi Tirto pada Minggu (24/9/2017).

Ancaman Menyerbu yang Dilontarkan Gatot

Sementara Polri memang berencana melakukan pembelian senjata secara besar-besaran. Mereka berencana membeli 15 ribu pucuk senjata, 5.000 di antaranya produksi dalam negeri PT Pindad. Sementara sisanya diimpor dari luar negeri. Tapi, sekali lagi, itu tidak ilegal karena diketahui Komisi III.

Di antara lembaga yang punya otoritas membeli senjata, tuduhan Gatot memang paling mungkin dialamatkan ke Polri. Apalagi dalam acara yang sama Gatot mengatakan bahwa Polri tidak boleh punya senjata tertentu yang punya kemampuan untuk menembak tank, pesawat, dan kapal.

"Saya serbu kalau [Polri] ada [senjata macam itu]," kata Gatot.

Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP Partai Demokrat, Rachland Nashidik mengkritik pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, pada Jumat (22/9/2017) yang menyatakan apabila polisi memiliki kendaraan penembak seperti tank atau senjata untuk menembak pesawat dan kapal, ia akan “menyerbu” kepolisian.

Rachland menilai, seorang Panglima TNI yang tidak memiliki pandangan politik tertentu seharusnya tidak bisa mengancam untuk berbuat hal demikian. Hal ini diungkapkan Rachland melalui keterangan tertulisnya pada Minggu (24/9/2017).

Politisi Partai Demokrat ini menyebut, kebijakan politik seperti menggerakkan institusi hanya bisa dimiliki oleh pengelola otoritas negara yang dipilih dalam pemilu yang demokratis. Sedangkan Panglima TNI yang diangkat oleh Presiden dianggap tidak punya kekuasaan untuk mengambil kebijakan, melainkan hanya menjalankan dan mengelola operasi.

“Panglima TNI Gatot Nurmantyo melampaui kewenangan dan melanggar Undang-Undang saat dia mengancam akan ‘menyerbu’ BIN dan Polisi,” tulis Rachland (selengkapnya pernyataan Rachland: Politikus Demokrat: Panglima TNI Tak Berhak "Menyerbu" Polri).

Pernyataan itu sendiri ditanggapi dingin oleh Polri. Kepala Bidang Humas Mabes Polri, Irjen Pol Setyo Wasisto, mengatakan Polri tidak merasa terancam dengan kalimat Gatot. Kepada Tirto, Setyo mengatakan bahwa ungkapan Gatot "tidak perlu dipermasalahkan" dan "tidak ada tanggapan soal [ancaman penyerbuan] itu".

Kini "bola panas" ada di Gatot. Apakah dia bisa membuktikan tuduhan tersebut dengan memberikan klarifikasi ke publik siapa yang dia tuduh, dan dengan begitu pihak berwenang bisa menggagalkan usaha impor tersebut, atau hanya omong kosong saja. Seperti kata Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP Partai Demokrat, Rachland Nashidik, "pemesanan 5.000 senjata serbu, bila itu benar, sama berbahayanya dengan Panglima TNI yang berpolitik praktis dan melampaui kewenangannya."

Baca juga artikel terkait SENJATA ILEGAL atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Politik
Reporter: Rio Apinino
Penulis: Rio Apinino
Editor: Rio Apinino