tirto.id - Karen Agustiawan keluar dari Gedung Kejagung, Jakarta Selatan. Ia nampak memakai rompi berwarna merah muda bertuliskan "tahanan". Di hadapan para awak media, Karen tak banyak bicara. “Saya enggak mau statement apa-apa dulu, karena ini masih proses hukum. Biarkan proses hukum ini berjalan.”
“Cuma adik-adik yang perlu ketahui, selama saya menjadi dirut Pertamina, saya telah menjalankan semua sebaik-baiknya, sehingga Pertamina masuk Fortune 500, dan laba naik dua kali lipat,” kata Karen dengan mata berkaca-kaca.
Mantan Dirut Pertamina periode 2009-2014 ini sejak Senin 24 September ditahan di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur selama 20 hari atas dugaan kasus korupsi. Karen sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak Maret 2018.
Ia diduga terlibat dalam kasus korupsi terkait dengan keputusan investasi Pertamina di Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia pada 2009. Selain Karen, ada tiga direksi Pertamina lainnya yang ditetapkan sebagai tersangka. Penyidik Kejaksaan menduga ada penyimpangan investasi di Blok BMG karena tidak sesuai dengan pedoman investasi, sehingga merugikan negara hingga Rp568 miliar.
Penyidik Kejaksaan menemukan bukti pengambilan keputusan investasi itu tanpa disertai studi kelayakan berupa kajian secara lengkap (Final Due Dilligence), dan tanpa persetujuan dari Dewan Komisaris. Namun, pengacara Karen, Susilo Aribowo menegaskan kliennya tidak punya niat untuk korupsi saat aksi korporasi Blok BMG.
"Yang jelas pertanggungjawaban pidana mesti ada niat jahatnya, tapi sampai sejauh ini tidak ada sesuatu yang diperoleh Bu Karen untuk investasi itu," tegas Susilo.
Blok BMG adalah satu dari sekian banyak blok migas yang diakuisisi Pertamina di bawah kepemimpinan Karen. Pada 27 Mei 2009, Pertamina menandatangani kesepakatan pembelian sebagian aset BMG senilai US$31,49 juta dari ROC Oil Company Ltd, perusahaan asal Australia. Pertamina juga harus menanggung biaya-biaya yang timbul lainnya dari Blok BMG sebesar 26,8 juta dolar Australia. Jika ditotal, menurut perhitungan akuntan publik, nilai kerugian itu setara dengan Rp568,06 miliar.
Dari Blok BMG, Pertamina berharap mendapatkan 812 barel minyak mentah per hari. Sayang, perkiraannya manajemen Pertamina kala itu meleset, realisasi produksi Blok BMG pada 2009 hanya 252 barel per hari. Sehingga, Blok BMG dianggap tidak ekonomis sebagai sebuah bisnis.
Pada 2012, Pertamina, melalui anak usahanya PT Pertamina Hulu Energi melakukan proses divestasi atau pengunduran diri dari kepemilikan operasional pada Blok BMG sebesar 10 persen di lepas pantai Australia. Rencana divestasi juga diperkuat dari hasil kajian atas BMG di Gippsland Basin, Australia, pada 2014. Hasil kajian itu menunjukkan Blok BMG telah memasuki tahap non-production phase (NPP) karena faktor keamanan, fasilitas yang tidak layak dan penurunan nilai cadangan dari 19,40 million barrels oil (MMBO) menjadi sebesar 3,10 MMBO.
Pada akhirnya, investasi yang sudah dilakukan Pertamina tidak memberikan manfaat maupun keuntungan dalam menambah cadangan dan produksi minyak Pertamina dan nasional. Ironisnya, akuisisi Blok BMG malah menyeret direksi Pertamina pada kasus hukum yang sedang berlangsung.
“Sebenarnya ini lebih ke business judgement rule bukan ke tindak pidana. Apakah kerugian negara akibat investasi macam ini masuk kategori korupsi, ya nanti dulu,” kata Susilo Aribowo.
Ada "Judi" di Balik Akuisisi oleh Pertamina
Akuisisi kepemilikan blok-blok migas yang dilakukan Pertamina, di dalam negeri maupun luar negeri memang menjadi salah satu strategi korporasi Pertamina sebagai entitas bisnis dan BUMN. Cara akuisisi atau strategi non-organik terbilang mudah ketimbang melakukan eksplorasi atau menemukan cadangan sumur baru dari nol.
Ketika Pertamina dinakhodai Karen, akuisisi kepemilikan saham di blok-blok luar dan dalam negeri cukup banyak. Strategi akuisisi dan merger yang dilakukan Pertamina guna memperoleh lapangan baru, dari dalam maupun luar negeri, mengingat semakin sulitnya penemuan cadangan baru migas.
“Akuisisi blok terminasi yang dilakukan Pertamina sah-sah saja. Apalagi, risikonya kecil dan lebih cepat terealisasi. Beda kalau kelola blok baru, itu panjang prosesnya,” kata Fahmy Radhi, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) kepada Tirto.
Namun, ‘kebiasaan’ Pertamina yang condong mencari blok-blok terminasi juga membuat Pertamina agak ketinggalan ketimbang Petronas. Pasalnya, Petronas selain rajin mencari blok-blok terminasi, juga tidak ragu untuk mencari sumur baru dan mengelolanya langsung.
Nampak dari belanja modal atau capital expenditure yang berbeda jauh antara kedua perusahaan energi ini. Rata-rata belanja modal Petronas sebesar dua digit, sementara Pertamina hanya satu digit. Belanja modal pada 2017 misalnya, Petronas menggelontorkan dana senilai US$10,75 miliar, dan Pertamina hanya US$3,6 miliar.
Akuisisi blok terminasi memang terbilang murah dan cepat ketimbang menemukan cadangan sumur baru. Upaya akuisisi lapangan migas juga didorong dari target besar Pertamina kala itu. “Untuk mencapai produksi migas 2,2 juta barel setara minyak pada 2025, kita ingin 30 persen (total produksi dari blok migas) di luar negeri, dan 50 persen dari aset dalam negeri,” kata Karen pada 2013 dikutip dari Kompas.
Selama Karen menjabat sebagai dirut Pertamina, ada banyak blok-blok migas yang diakuisisi Pertamina, selain Blok BMG, di antaranya adalah Blok Offshore North West Java (ONWJ). Pada 25 Juni 2009, Pertamina mengakuisisi dengan skema hak pengelolaan atau participating interest (PI) di Blok ONWJ sebesar 46 persen dari perusahaan asal Inggris, Beyond Petroleum (BP) ONWJ. Dengan akuisisi ini, Pertamina menjadi operator melalui PT Pertamina Hulu Energi.
Secara bertahap, participating interest Pertamina di Blok ONWJ terus dinaikkan. Pada 2010, Pertamina menambah participating interest sebanyak 7,25 persen. Hingga 2017, participating interest Pertamina di Blok ONWJ sudah mencapai 100 persen.
Keputusan Pertamina meningkatkan participating interest di Blok ONWJ juga memberikan keuntungan bagi perseroan. Pasalnya, produksi minyak dari ONWJ terus meningkat, dari sebelumnya 26.800 barel per hari (bph) pada 2010 menjadi 37.112 bph pada 2016.
Blok minyak dan gas lainnya yang diakuisisi adalah Blok Offshore Southeast Sumatra (OSES). Pertamina mendapatkan participating interest 13,07 persen di Blok OSES setelah mengakuisisi 100 persen saham Inpex Jawa Limited pada 7 September 2010. Dari akuisisi itu, Pertamina menargetkan Blok OSES berkontribusi menambah produksi minyak sebesar 5.200 bph dan gas 9 MMSCFD.
Pertamina juga menaikkan participating interest-nya di Blok OSES. Pada 24 Oktober 2014, Pertamina berhasil mengakuisisi participating interest sebesar 7,48 persen di Blok OSES dari kontraktor lain. Pada tahun itu juga, participating interest Pertamina di Blok OSES menjadi 100 persen. Tentu, produksi minyak dan gas Pertamina juga meningkat karena produksi minyak dan gas dari Blok OSES pada 2018 terbilang stabil di kisaran 31.000 bph.
Kemudian, akuisisi yang dilakukan Pertamina lainnya adalah memperoleh participating interest sebesar 65 persen di Lapangan Menzel. Lalu, 3,7 persen di Lapangan Ourhoud, dan 16,9 persen di Lapangan EMK pada November 2013. Ketiga lapangan yang berada di Blok 405a, Alzajair ini diperkirakan menambah produksi minyak Pertamina hingga 23.000 bph. Namun hingga akhir 2016, kontribusi dari Blok 405a ini sudah menembus 41.130 bph per Agustus 2016.
Upaya akuisisi yang dilakukan Pertamina ada yang berhasil, ada juga akuisisi yang gagal. Sebagai contoh, akuisisi 80 persen kepemilikan pada Harvest-Vinccler Dutch Holding B.V. dan memiliki saham tidak langsungsebesar 32 persen di Petrodelta SA, Venezuela. Pada 21 Juni 2012, Pertamina menandatangani Share Purchase Agreement (SPA) dengan HNR Energia B.V. untuk mengakuisisi 80 persen saham Harvest-Vinccler Dutch Holding B.V dengan nilai US$725 juta.
Pertamina menempatkan deposit di Escrow Account sebesar US$108,72 juta atau 15 persen dari harga akuisisi sesuai dengan SPA. Namun, rencana itu justru berakhir gagal karena tidak disetujui pemegang saham Pertamina. Bisnis migas memang rentan dengan kegagalan, karena ada unsur spekulasi.
Pada satu sesi wawancara khusus dengan Liputan6 pada November 2013 lalu, Karen pernah melontarkan ucapan yang menarik. Ia mengibaratkan membeli saham di blok-blok migas seperti berjudi, bahkan pada sesi wawancara dengan Kompas pada tahun yang sama, ia menyebut bisnis migas sarat dengan perjudian. Namun, harus tetap didasarkan dengan kajian sebelum mengakuisisi lapangan minyak dengan didampingi konsultan.
"Kalau kami akuisisi suatu lapangan minyak, sama seperti perusahaan minyak lain itu seperti judi. Secanggih-canggihnya itu bisa saja meleset. Tingkat keberhasilannya 50:50, tapi semua risiko harus dimitigasi di awal," kata Karen.
Terlepas dari pernyataan Karen soal aspek "perjudian" dalam bisnis migas yang tak pasti, tapi yang pasti kini Karen harus menghadapi persoalan hukum dari kebijakan yang pernah ia putuskan.
Editor: Suhendra