tirto.id - Menteri BUMN Rini Soemarno kembali membuat kontroversi. Setelah rekaman percakapan yang diduga Rini dengan Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir beredar dan ramai di media sosial, pada 27 April 2018, kini perempuan kelahiran 9 Juni 1958 itu kembali menjadi sorotan. Pemantiknya adalah surat yang ditandatanganinya akhir Juni lalu yang merestui PT Pertamina (Persero) menjual asetnya ke pihak swasta. Surat itu beredar di media sosial beberapa hari terakhir.
Ihwal beredarnya surat persetujuan itu telah sampai ke kalangan politisi Senayan, khususnya Komisi VI DPR RI, mitra Kementerian BUMN. Dalam rapat kerja antara Komisi VI dengan Kementerian BUMN yang diwakili Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto selaku infal dari menteri BUMN, pada Kamis (19/7/2018), para legislator menanyakan maksud dari surat tersebut. Sayangnya, Sekretaris Kementerian BUMN, Imam Apriyanto Putro yang turut mendampingi Airlangga enggan berbicara mengenai surat tersebut.
Di hadapan para anggota Komisi VI DPR RI, Imam tak bersedia menjelaskan secara rinci maksud dari surat itu secara terbuka. Ia malah berjanji akan menyampaikannya secara langsung kepada pimpinan rapat pada kesempatan lain. Komisi VI pun akhirnya berencana memanggil Kementerian BUMN terkait surat untuk Pertamina itu dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Senin mendatang (23/7/2018).
Ditemui seusai rapat kerja, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Azam Azman Natawijaya menilai surat tersebut melanggar Undang-Undang (UU). “Ini tidak boleh [dilakukan], karena melepaskan aset tanpa melibatkan DPR RI,” kata Azam kepada Tirto.
Menurut Azam, segala bentuk aksi korporasi perusahaan BUMN yang terkait aset maupun saham harus melalui pembahasan dan persetujuan di DPR. Hal ini menurut Azam tak tercermin dalam surat Menteri Rini kepada Pertamina. Azam menyebut bahwa dalam surat itu ada potensi pelanggaran pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN.
Konteks Surat Rini Soemarno
Surat persetujuan dari Kementerian BUMN terhadap prinsip aksi korporasi Pertamina tersebut beredar di kalangan jurnalis pada Rabu (18/7/2018). Dalam surat yang diteken Rini Soemarno itu, pemerintah menyetujui rencana direksi Pertamina yang bakal melakukan sejumlah tindakan dalam rangka mempertahankan kondisi keuangan perseroan.
Setidaknya ada empat langkah yang disetujui Rini. Keempat langkah itu ialah share-down aset-aset hulu selektif, spin-off Unit Bisnis IV Cilacap dan Unit Bisnis RU V Balikpapan, melakukan investasi tambahan dalam memperluas jaringan penjualan bahan bakar minyak (BBM), serta meninjau ulang kebijakan perusahaan yang dirasa bakal berdampak.
Kemunculan surat tersebut lantas menimbulkan berbagai asumsi. Salah satu yang paling santer ialah anggapan bahwa Kementerian BUMN telah memberi restu kepada Pertamina untuk menjual asetnya kepada swasta.
Deputi Bidang Usaha Industri Strategis, Pertambangan, dan Media Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno pun langsung mengklarifikasi simpang siur pemberitaan yang sempat ramai di publik. Menurut Fajar, ada salah penafsiran terhadap isi surat yang merupakan tanggapan dari surat Pertamina pada 6 Juni 2018 itu.
“Yang dimaksud bukan penjualan aset Pertamina,” kata Fajar. Klarifikasi Fajar ini disampaikan oleh Staf Khusus III Kementerian BUMN Wianda Pusponegoro kepada Tirto, pada Rabu malam (18/7/2018).
Fajar menjelaskan bahwa keempat aksi korporasi itu sifatnya opsional. Kementerian BUMN pun hanya sekadar memberikan lampu hijau bagi direksi perusahaan pelat merah itu untuk mengkajinya terlebih dahulu sebelum benar-benar mengambil tindakan aksi korporasi.
“Meminta Pertamina bila diperlukan melakukan pengkajian bersama dengan Dewan Komisaris untuk mengusulkan opsi-opsi terbaik yang nantinya akan diajukan melalui mekanisme RUPS sesuai ketentuan yang berlaku,” kata Fajar.
Sementara itu, Vice President Corporate Communication Pertamina, Adiatma Sardjito berdalih belum mengetahui terkait surat yang diteken Rini tersebut. “Nanti saya cek dulu ya. Saya belum lihat suratnya,” kata Adiatma.
Pengamat bidang energi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi mengatakan, aksi korporasi untuk share down aset seperti yang tertera dalam surat Rini memang penjualan sebagian saham kepada swasta, tetapi dibatasi maksimal 39 persen. Sedangkan spin off lebih kepada penggabungan anak-anak perusahaan.
“Dengan demikian, share down dan spin off belum mengarah [pada] privatisasi BUMN,” kata dosen di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM Yogyakarta ini kepada Tirto.
Fahmy menilai, pertimbangan izin corporate action tersebut lebih untuk mendapatkan dana segar demi mengurangi potensialloss Pertamina akibat tidak dinaikkannya harga premium dan solar di tengah naiknya harga minyak dunia.
Dalam konteks ini, kata Fahmy, pemerintah telah memutuskan menambah subsidi solar. Hal ini diharapkan dapat menurunkan potentialloss. “Kalau hanya menutup potensial memang tidak perlu share down. Tetapi Pertamina butuh dana untuk opex (operationalexpenditures) operasional Mahakam dan pembangunan kilang,” kata mantan anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas ini.
Kondisi Keuangan Pertamina
Sudah jadi rahasia umum saat ini Pertamina tengah berjuang menghadapi kondisi keuangan yang tidak menggembirakan. Kinerja keuangan perusahaan pelat merah itu terus-terusan dibayangi penugasan pemerintah yang membuat laba mereka tergerus.
Mengacu pada laporan keuangan perseroan dua tahun terakhir, misalnya, laba bersih yang berhasil dibukukan memang menyusut. Di sepanjang Januari-September 2017, Pertamina hanya mencatatkan laba bersih sebesar 1,99 miliar dolar AS. Padahal pada periode yang sama di tahun sebelumnya, laba bersih yang mereka raup tercatat 2,83 miliar dolar AS atau turun 29,6 persen.
Dari sisi pendapatan Pertamina justru mengalami kenaikan. Secara year-on-year, pendapatan yang berhasil didapat selama Januari-September 2017 itu sebesar 31,38 miliar dolar AS, naik 18 persen dari capaian pada tahun sebelumnya yang senilai 26,62 miliar dolar AS. Kondisi keuangan yang semacam itu memang menjadi wajar saat pemerintah terus-terusan membebani Pertamina dengan beban operasional.
Sejumlah beban operasional yang dimaksud ialah permintaan untuk tidak menaikkan harga BBM jenis premium dan solar di tengah tren harga minyak yang terus meningkat, penugasan pendistribusian BBM PSO (public service obligation), serta penugasan untuk menyediakan BBM satu harga di seluruh wilayah Indonesia.
Mengenai kondisi keuangan Pertamina ini, Adiatma juga enggan memberikan penjelasan. Dia beralasan hingga saat ini, laporan keuangan Pertamina untuk periode sejak awal hingga pertengahan 2018 belum diumumkan ke publik.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menilai pemerintah seharusnya bisa lebih serius dalam menangani masalah keuangan Pertamina. Marwan mengatakan, perlu adanya langkah-langkah konkret dari pemerintah guna menyelamatkan kondisi keuangan perseroan. Salah satu yang bisa dilakukan dalam jangka pendek ialah dengan tidak menunda pemberian tambahan subsidi BBM.
Saat disinggung mengenai surat dari Menteri Rini untuk aksi korporasi Pertamina, Marwan melihatnya sebagai hal yang biasa saja. Menurut Marwan, kemunculan surat itu tak seharusnya diperdebatkan. Ia malah berpendapat bahwa yang seharusnya ditekankan adalah bagaimana pemerintah dan DPR RI dapat melindungi serta mencari solusi terbaik bagi Pertamina.
“Ini tak lebih dari perintah menteri yang isinya tolong Anda kaji mana yang bisa […] untuk menolong Pertamina. Tapi yang penting kan sebenarnya apa penyebab kondisi keuangan Pertamina bisa jadi seperti itu,” kata Marwan kepada Tirto pada Kamis (19/7/2018).
Marwan menduga persetujuan itu hanya merupakan izin prinsip untuk nantinya dilakukan pengkajian lebih lanjut aset mana saja yang bisa menjadi objek aksi korporasi. Apalagi, kata Marwan, aksi korporasi baru bisa dilakukan Pertamina setelah mendapat persetujuan melalui RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham).
“Kategori dalam surat itu juga biasa dan tidak rahasia. Ini merupakan mekanisme standar dalam koordinasi antara pemerintah dengan perusahaan BUMN. Setelah ada izin prinsip, dibahas di internal, lalu RUPS, serta ada prinsip GCG (Good Corporate Governance)” kata Marwan.
Menurut Marwan, langkah untuk membagi investasi dan risiko dengan investor lebih mungkin untuk dilakukan. Alasannya, risiko yang harus ditanggung Pertamina dapat berkurang, di samping perseroan bisa memperoleh fresh money di depan. Hal ini bisa meringankan beban Pertamina karena ada investor lain di dalamnya. Jadi bukan menjual sepenuhnya kepada swasta.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz