Menuju konten utama

Adu Kuat di Blok Rokan, Chevron atau Pertamina?

Keinginan Pertamina mengambil alih Blok Rokan tidak mudah karena Chevron juga berminat memperpanjang kontraknya di Blok Rokan. Chevron atau Pertamina?

Adu Kuat di Blok Rokan, Chevron atau Pertamina?
Sejumlah pekerja melakukan aktivitas pengeboran Sumur 19 Sukawati pad A di Desa Campurejo, Kecamatan Kota, Bojonegoro, Jawa Timur, Selasa (17/7/2018). tirto.id/Andrey Gromico.

tirto.id - Kepastian jatuh ke tangan siapa Blok Rokan, Riau setelah masa kontrak habis pada September 2021 masih belum ada sinyal dari pemerintah. Kementerian ESDM masih mengkaji proposal yang diajukan PT Pertamina (Persero) dan PT Chevron Pacific Indonesia. Kedua perusahaan ini berlomba memperebutkan blok migas yang selama puluhan tahun menjadi penyumbang lifting minyak terbesar Indonesia.

Besarnya potensi migas di Blok Rokan ini menjadi pemikat bagi kontraktor, termasuk Chevron yang sudah sejak lama menjadi operator di lapangan itu sejak 1971. Berdasarkan data SKK Migas, realisasi lifting minyak Blok Rokan per Maret 2018 mencapai 212 ribu barel per hari (bph). Dengan produksi sebesar ini, Blok Rokan mendominasi pasokan produksi minyak nasional yang ditarget mencapai 800 ribu bph atau setara 25 persen produksi minyak nasional.

Ada dorongan agar pemerintah memberikan hak kelola Blok Rokan kepada Pertamina setelah masa kontrak Chevron habis pada 2021. Ini seolah ingin mengulang kehadiran Pertamina di Blok Mahakam pasca berakhirnya kontrak PT Total E&P.

“Sebetulnya kalau pemerintah masih patuh terhadap UUD 1945 Pasal 33, enggak ada alternatif bagi pemerintah untuk menyerahkan Blok Rokan selain ke Pertamina. Itu saja sangat simpel,” kata Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara kepada Tirto, Selasa (31/7/2018).

Marwan beralasan pemerintah sepatutnya memprioritaskan Pertamina untuk kepentingan ketahanan energi dalam negeri ketimbang memberikan perpanjangan kontrak kepada Chevron. Alasannya, apabila Blok Rokan dikelola BUMN, maka dapat menjamin pemenuhan pasokan minyak di kilang-kilang yang dimiliki Pertamina.

“Saat harga minyak mentah dunia rendah, pasokan Kilang Dumai dan Balongan yang biasa produksinya disuplai minyak mentah dari Rokan, itu alami kekurangan pasokan karena Chevron enggak mau bagi hasilnya untuk dijual ke dalam negeri. Karena harga lebih murah, lebih untung jual ke luar negeri,” kata Marwan.

Menurut Marwan, bila pengelolaan Blok Rokan diserahkan oleh Pertamina, maka dengan potensi produksi minyak yang besar dapat juga menekan jumlah impor minyak, serta beban program subsidi dan penugasan BBM yang diberikan oleh pemerintah kepada BUMN energi tersebut.

Saat ini, harga minyak mentah dunia dalam tren naik. Pada Juni 2018, berdasarkan Dated Brent harga minyak mentah dunia sebesar 74,33 dolar AS per barel; berdasarkan Brent (ICE) harga minyak mentah dunia sebesar 75,94 dolar AS per barel.

Sementara harga rata-rata minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) pada Juni 2018 sebesar 70,36 dolar AS per barel. Di sisi lain, nilai tukar rupiah saat ini sedang terpuruk di level Rp14.400 terhadap dolar AS. Realisasi ini jauh dari asumsi APBN 2018 yang mengasumsikan ICP sebesar 48 dolar AS per barel dan nilai tukar rupiah masih di kisaran Rp13.400 terhadap AS.

“Dengan pengambil alih Blok Rokan, bisa menutup kerugian dari beban subsidi, yang harusnya [beban subsidi] ditanggung pemerintah melalui peningkatan subsidi di APBN. Pemerintah enggak lakukan itu, tapi mereka (pemerintah) memaksa Pertamina melakukan (penyaluran subsidi)” ujar Marwan.

Marwan memperhitungkan dengan kapasitas produksi sekitar 200 ribuan bph, maka Pertamina bisa meraih pendapatan kotor sebesar 5 miliar dolar AS dalam setahun dari produksi Blok Rokan.

“200 ribu atau 210 barel per hari, coba kalikan dengan harga minyak mentah 65-70 dolar AS per barel kalikan 356 hari [1 tahun]. Maka, akan diterima pendapatan setiap tahun sekitar 5 miliar dolar AS atau sekitar Rp70 triliunan," ujar Marwan.

Vice President Corporate Communication Pertamina, Adiatma Sardjito mengatakan bila Blok Rokan dikelola Pertamina, maka negara dapat meraih pendapatan dividen dan menghemat devisa negara sekitar 80 miliar dolar AS selama 20 tahun.

“Sebagai BUMN, dividen Pertamina 100 persen ke negara dan devisa juga enggak akan keluar karena minyak itu bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan kilang Dumai dan Balongan,” kata Adiatma kepada Tirto, Selasa (31/7/2018).

Saat ini, kebutuhan BBM dalam negeri sebagian besar didapat dari impor. Ia menyebutkan kebutuhan BBM rata-rata 1,5 juta barel per hari. Sementara, produksi minyak mentah dalam negeri rata-rata hanya berkisar 700 ribu barel per hari. Sehingga, ada kekurangan sekitar 800 ribu barel per hari.

"Kalau Blok Rokan dikelola perusahaan BUMN Indonesia, maka dapat memenuhi kebutuhan minyak dan kami bisa menghemat devisa dari situ. Perhitungannya 20 tahun kami bisa menghemat mungkin 80 atau di atas 80 miliar dolar AS,” kata Adiatma.

Apakah Pertamina Sanggup?

Setiap perpanjangan blok migas yang melibatkan Pertamina, pertanyaan yang selalu mengemuka adalah mampukah Pertamina mengelola blok yang kontraknya habis dari perusahaan asing? Pertanyaan seperti ini juga terlontar saat Pertamina bertahun-tahun mengajukan proposal kepada pemerintah untuk mengambil alih pengelolaan Blok Mahakam dan ONWJ.

Adiatma menegaskan bahwa Pertamina siap untuk mengambil alih pengelolaan Blok Rokan. Ia pun yakin pemerintah akan mengalihkan pengelolaan Blok Rokan tersebut kepada Pertamina dengan beberapa alasan untuk kepentingan nasional.

“Optimistisnya karena ini untuk ketahanan nasional, ketahanan energi, integrated secara keseluruhan. Minyak mentah hasil produksi Blok Rokan bisa untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kami kan selama ini untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, kan, impornya banyak,” kata Adiatma.

Potensi besar dari dividen yang diperoleh dari Blok Rokan sebesar 80 miliar dolar selama 20 tahun, setara dengan biaya untuk membuat 12 kilang. Sehingga, ia menyayangkan bila Blok Rokan tetap dikelola perusahaan asing.

“Besar banget lho itu," ujar Adiatma.

Adiatma mengklaim, Pertamina tetap mampu untuk mengambil alih hak pengelolaan sepenuhnya terhadap Blok Rokan, di tengah kondisi keuangan Pertamina yang tak menggembirakan. “Lapangan ini besar, produksi besar. Untuk dana investasinya justru tidak masalah sama sekali. Pendanaan mudah karena prospeknya besar,” kata Adiatma.

Sementara terkait kemampuan teknologi untuk mengelola blok yang usianya sudah tua, kata Adiatma, Pertamina juga sudah berpengalaman. “Teknologinya sudah terbukti karena Pertamina pernah mengelola lapangan di sebelahnya Blok Rokan, Siak di Riau. Kurang lebih geologinya sama. Kami juga punya pengalaman mengelola sumur-sumur tua di banyak tempat,” kata Adiatma.

Namun, langkah Pertamina untuk berupaya mengambil alih Blok Rokan tidak mudah. Sebab, Chevron sebagai pengelola blok migas itu juga mengajukan penawaran baru kepada SKK Migas dan Kementerian ESDM untuk memperpanjang Wilayah Kerja Blok Rokan hingga 2041.

Komitmen investasi yang diajukan sebesar 88 miliar dolar AS dengan bertahap, yaitu pada 10 tahun pertama 33 miliar dolar AS dengan target 500 juta barel minyak produksi, dan 10 tahun kedua 55 miliar dolar AS dengan target 700 juta barel minyak produksi.

“Pertamina bisa lebih bagus dari itu [penawaran Chevron]. Proyeksi produksi 10 tahun pertama dan kedua, saya angkanya enggak punya, yang jelas ada yang medium, ada yang high (maksimum). Pokoknya produksinya baguslah, meningkat dari pada sekarang, bisa di atas yang sekarang,” kata Adiatma.

Kepala SKK Migas, Amien Sunaryadi mengatakan, saat ini perkembangan Blok Rokan sedang diproses oleh Kementerian ESDM. “Hari ini saya tidak mau membicarakan tentang Blok Rokan, karena masih diproses oleh ESDM, jadi nanti juga jangan tanya tentang itu ya,” kata Amien, pada Senin (30/7/2018) seperti dikutip Antara.

Sementara Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Energi dan Sumberdaya Alam, Dadan Kusdiana mengatakan saat ini pemerintah sedang mempertimbangkan penawaran Pertamina maupun Chevron.

“Masih diproses. Nanti pada waktunya akan diumumkan oleh Pak menteri [Ignatius Jonan]” kata Dadan singkat kepada Tirto, Selasa (31/7/2018).

Setiap transisi peralihan kontrak perusahaan migas asing di Indonesia memang menyisakan perdebatan, soal kedaulatan

energi dan kemampuan mengelola pasca investor asing pergi. Namun, bila berkaca dari kasus Blok Mahakam, Pertamina pada akhirnya secara resmi mengambil alih blok migas tersebut sejak 1 Januari 2018. Namun, pemerintah membuka ruang masuknya partisipasi investor asing masuk di blok ini hingga 39 persen.

Baca juga artikel terkait PERTAMINA atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Abdul Aziz