Menuju konten utama

Di Balik Rencana Pelepasan PLTP Chevron

Chevron akan melepas dua aset PLTP potensialnya di Jawa Barat karena ingin fokus pada core bisnis mereka, yaitu migas. Namun di balik itu, disinyalir lambannya negosiasi kontrak jual beli listrik dan sulitnya perizinan di hutan konservasi menjadi salah satu pemantiknya.

Di Balik Rencana Pelepasan PLTP Chevron
Petugas melakukan perawatan mesin di Pusat Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Gunung Salak milik PT Indonesia Power di Bogor, Jawa Barat, Kamis (21/4). Kapasitas produksi listrik di PLTP itu mencapai 180 Megawatt yang memperkuat sistem kelistrikan PLN jaringan Jawa-Bali. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Kabar rencana Chevron Indonesia akan melepas aset panas bumi yang dikelolanya mulai mencuat sejak pertengahan tahun 2016. Perusahaan asal Amerika Serikat ini berniat melelang dua unit bisnis Pembangkit Tenaga Listrik Panas Bumi (PLTP) mereka, di Wilayah Kerja (WK) Salak dan WK Darajat.

Niat tersebut sudah dikomunikasikan dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Juni lalu. Chevron meminta izin kepada pemerintah untuk membuka data kedua WK panas bumi yang dikelolanya itu.

Sejak rencana tersebut mencuat, Kementerian ESDM mencatat setidaknya ada 44 perusahaan yang berminat mengakuisisi dua PLTP yang dioperasikan Chevron ini. Namun, saat ini hanya tinggal enam perusahaan yang serius bersaing mengambil alih aset PLTP Chevron yang dikelola dua anak usahanya, yaitu Chevron Geothermal Indonesia Ltd dan Chevron Geothermal Salak Ltd.

Keenam perusahaan yang bersaing memperebutkan “harta karun energi” itu adalah Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), PT Medco Power, PT Star Energy, Mitsui dan Marubeni.

Ketertarikan sejumlah korporat untuk mengakuisisi PLTP Salak dan PLTP Darajat sangat wajar, mengingat dua WK panas bumi yang dikelola Chevron itu cukup besar. Misalnya, PLTP Darajat di perbatasan Kabupaten Bandung dan Garut memiliki kapasitas 255 megawatt (MW), sedangkan PLTP Salak memiliki kapasitas 377 MW.

Artinya, dari dua WK panas bumi tersebut, Chevron memiliki PLTP dengan total kapasitas terpasang sebesar 632 MW. Jumlah ini jika dibandingkan dengan total kapasitas PLTP yang dimiliki Indonesia saat ini, maka kontribusi pembangkit panas bumi Chevron mencapai sekitar 42 persen dari total kapasitas 1.513,5 MW per September 2016.

Pertanyaannya adalah mengapa Chevron justru mau melepas aset PLTP yang memiliki kapasitas besar di tengah keseriusan pemerintah mengembangkan energi terbarukan?

Chevron memiliki jawaban sendiri. Perusahaan asal Paman Sam itu berdalih mau fokus pada bisnis minyak dan gas bumi yang selama ini menjadi inti bisnis mereka. Langkah tersebut diambil sebagai salah satu upaya Chevron merespons dan menyiasati anjloknya harga minyak dunia yang terjadi sejak 2014 silam.

Direktur Panas Bumi Kementerian ESDM, Yunus Saefulhak mengatakan, sebagai regulator pihaknya tidak mempersoalkan rencana Chevron melepas dua aset PLTP di Jawa Barat. Namun, terkait transaksi itu, Kementerian ESDM akan melakukan kontrol agar penjualan tersebut tidak lantas menurunkan produktivitas terhadap kedua aset itu. Sehingga penjualan listrik dari dua PLTP Chevron ke PLN tetap stabil, baik sebelum maupun sesudah akuisisi.

Saat ini, proses akuisisi tersebut masih berlanjut. Menurut Yunus, enam perusahaan yang yang berminat mengambilalih aset tersebut akan mengajukan dokumen penawaran kepada Chevron pada November mendatang. “Termasuk program kerja dan harga berani berapa. Setelah itu baru dievaluasi, pemenangnya baru Desember atau Januari,” ujarnya.

Dalam konteks ini, pemerintah mewanti-wanti agar pembeli dua aset tersebut harus memiliki kinerja yang sama seperti Chevron. Permintaan tersebut sangat wajar mengingat pemerintah sedang menggalakkan program diversifikasi energi (bauran energi) dan menargetkan kontribusi energi terbarukan mencapai 25 persen pada tahun 2025.

Secara khusus, pemerintah juga menargetkan pemanfaatan panas bumi hingga mencapai 7.000 MW pada 2025, padahal total kapasitas terpasang PLTP yang dimiliki Indonesia per September 2016 baru mencapai 1.513,5 MW, masih jauh dari target.

Saat membuka acara konvensi dan pameran internasional panas bumi 2016 pada Agustus lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta agar pengembangan energi panas bumi menjadi prioritas, mengingat potensi geothermal yang dimiliki negeri ini sangat besar, mencapai 29 gigawatt (GW).

Sayangnya, pemanfaatannya masih lamban. Hal ini dapat dilihat dari data Kementerian ESDM, di mana pemanfaatan geothermal sebagai pembangkit listrik masih minim. Misalnya, pada 2006 hingga September 2016 yaitu 852 MW menjadi 1.513,5 MW per tahun.

Karena itu, perlu kerja keras dan komitmen bersama antara pemerintah sebagai regulator, PLN sebagai pembeli listriknya, serta perusahaan BUMN atau swasta yang mengelola PLTP-nya.

Infografik PLTP Chevron Revisi

Masalah Klasik

Selama ini persoalannya selalu sama, yaitu soal negosiasi harga dan perubahan status hutan lindung menjadi taman nasional, padahal rerata potensi geothermal berada di daerah tersebut, sehingga pengembangan WK panas bumi di wilayah itu kerap terkendala.

Dua persoalan inilah disinyalir menjadi salah satu batu penyebab Chevron lebih memilih melepas aset PLTP nya daripada harus mempertahankan, alih-alih mengembangkannya.

Misalnya, sebelum Chevron menyatakan akan melepas dua aset PLTP di Jawa Barat itu, Senior Vice President Policy, Government, and Public Affair PT Chevron Indonesia, Yanto Sianipar mengeluhkan kendala perusahaannya dalam mengembangkan proyek panas bumi ini.

Salah satu masalah yang sering ditemui adalah masalah hutan. Menurut Sianipar, banyak status hutan di Indonesia yang secara tiba-tiba berubah. Ia mencontohkan proyek panas bumi Chevron di Gunung Salak.

Pada mulanya, status hutannya adalah hutan lindung dan bisa dimintakan izin beroperasi, tapi saat ini statusnya sudah berubah menjadi taman nasional. “Biasanya panas bumi itu ada di hutan, dan sulit sekali untuk mendapatkan izin kehutanan,” ujarnya dalam acara Investment Week di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat, seperti dikutip kompas.com, pada Mei lalu.

Konsekuensinya, ketika status hutan sudah berubah menjadi taman nasional, maka tidak bisa digunakan untuk beroperasinya proyek. Namun, persoalan ini sebenarnya sudah terjawab dengan disahkannya UU Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi sebagai revisi dari UU Nomor 27 tahun 2003.

Poin penting dalam revisi UU tersebut adalah panas bumi tidak lagi dikategorikan sebagai aktivitas pertambangan. Hilangnya istilah “pertambangan” tentu mempermudah bagi perusahaan untuk bekerja di kawasan hutan konservasi. Meskipun pada praktinya, hal ini masih memunculkan masalah.

Selain persoalan status hutan, ribetnya negosiasi harga listrik PLTP dengan PLN juga menjadi sorotan. Menurut Sianipar, proses negosiasi harga yang panjang membuat pengembangan panas bumi menjadi lambat, karena susah menemukan kata “sepakat.”

Melihat fakta demikian, maka alasan Chevron berencana melelang dua aset PLTP yang sangat potensial itu, tentu bukan semata-mata karena ingin fokus pada inti bisnis mereka, yaitu minyak dan gas bumi. Namun, bisa jadi karena faktor sulitnya mengembangkan proyek geothermal di hutan konservasi dan negosiasi harga dengan PLN yang terkesan jalan di tempat.

Diperparah lagi, belum adanya kepastian kontrak jual beli listrik antara Chevron dan PLN yang akan habis pada tahun 2020 mendatang. Dalam konteks ini, Chevron tentu tidak mau mengambil risiko rugi jika PLN tidak bersedia membeli listrik dari PLTP Chevron.

Apalagi, Kepala Unit Komunikasi Korporat PLN, I Made Suprateka mengatakan, tidak ada kewajiban bagi PLN untuk memperpanjang kontrak jual beli listrik antara Chevron dengan perusahaan BUMN tersebut.

Artinya, jika ada pihak lain yang berhasil membeli aset Chevron tersebut, belum tentu PLN mau membeli listriknya lagi setelah tahun 2020, sehingga produksi listrik yang dihasilkan PLTP Salak dan Darajat mubazair karena tidak dapat didistribusikan dan tidak memberikan kontribusi apapun bagi program bauran energi yang dicanangkan pemerintah.

Jika hal tersebut yang terjadi, maka dapat dipastikan pengembangan panas bumi di Indonesia akan mengalami hambatan meskipun negeri ini memiliki potensi sangat besar mencapai 29 GW.

Baca juga artikel terkait PLTP CHEVRON atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Bisnis
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti