Menuju konten utama

Perjuangan Toys "R" Us Lolos dari Kebangkrutan

Toys “R” Us sempat berjaya dan menjadi toko mainan terkemuka. Mereka kini harus berjuang melawan "krisis” finansial.

Perjuangan Toys
Gerai toko mainan Perjalanan Toys R Us. FOTO/Istimewa.

tirto.id - Pada 2001, di atas tanah seluas 10.220 m2 di Times Square, New York berdiri toko mainan besar dan megah dengan sebuah bianglala raksasa setinggi 60 kaki milik Toys “R” Us. Ia menjadi tempat paling favorit bagi anak-anak dan tempat berburu hadiah kala musim Natal. Sayangnya, 14 tahun kemudian, toko tersebut tutup. Peristiwa itu menjadi sebuah penanda mulai tenggelamnya bisnis Toys "R" Us.

Tahun-tahun berikutnya, bisnis Toys "R" Us tak kunjung membaik. Senin (18/9/2017) waktu setempat, perusahaan terpaksa mengajukan perlindungan kebangkrutan atau Chapter 11. Langkah itu memungkinkan mereka untuk melakukan restrukturisasi utang jangka panjang sebesar 5 miliar dolar AS, termasuk 400 juta dolar AS yang akan jatuh tempo pada 2018 dan 1,7 miliar dolar AS yang akan jatuh tempo pada 2019.

Pengajuan perlindungan juga akan membantu perusahaan agar tetap dapat menyediakan mainan untuk musim libur di penghujung tahun ini. Hal itu lantaran di awal September hampir semua vendor perusahaan menolak untuk mengirimkan produk tanpa uang muka.

Toys 'R' Us harus bekerja keras mengumpulkan 1 miliar dolar AS untuk memenuhi permintaan para vendor. JP Morgan dan beberapa kreditur disebut-sebut berkomitmen untuk membiayai 3 miliar dolar AS bagi Toys “R” Us.

Baca juga:Pertarungan Sengit Alibaba Lawan Amazon

Keputusan ini dianggap sebagai langkah yang tepat untuk memastikan bahwa merek Toys 'R” Us dan Babies “R” Us akan tetap hidup. Restrukturisasi utang akan memberi fleksibilitas bagi Toys “R” Us untuk memperbaiki kinerjanya.

“Hari ini menandakan era baru Toys “R” Us, kami memprediksi kesulitan finansial yang membelenggu kami akan dapat diatasi dengan cara yang baik dan efektif,” kata CEO Toys “R” Us, Dave Brandon.

Krisis yang membelit Toys “R” Us ini hanya terjadi di AS. Menurut rilis Toys “R” Us Asia yang diterima Tirto, masalah itu tak memengaruhi kemitraan usaha patungan di Asia, dan bukan merupakan bagian dari restrukturisasi finansial Toys 'R” Us di AS. Toys "R" Us Asia merupakan perusahaan kerja sama dengan kepemilikan 85 persen oleh Toys "R" Us Inc. dan 15 persen Fung Retailing Ltd. Toys "R" Us Asia mengoperasikan 226 toko di Cina dan Asia Tenggara.

Sedangkan laporan BBC juga mengungkapkan hal senada bahwa Toys "R” Us di Australia yang mengoperasikan 225 toko berlisensi juga tak terpengaruh oleh masalah finansial Toys “R” Us di AS.

Jatuh Bangun Toys “R” Us

Toys “R” Us lahir dari tangan dingin Charles P. Lazarus yang mengawalinya dengan membuka toko boks dan perabotan bayi pada 1948. Icon Toys “R” Us resmi diluncurkan pada 1957 dengan logo R yang terbalik. Setelah 20 tahun berjalan, pada 1978, Toys “R” Us resmi melantai di bursa efek untuk pertama kalinya.

Di tangan Lazarus, Toys “R” Us berkembang pesat. Memasuki 1980, Toys “R” Us melebarkan sayap dengan menambah ikon baru yaitu Goefrrey dan menambah merek baru bernama Kids “R” Us. Selain itu, Toys 'R” Us juga mulai ekspansi keluar negeri ditandai dengan pembukaan toko di Kanada dan toko berlisensi di Singapura pada 1984.

Baca juga: Akuisisi Whole Food oleh Amazon dan Evolusi Ritel

Badai mulai menghadang saat salah satu brand-nya Kids “R” Us ditutup pada 2003, saat CEO dijabat John Eyler. Penutupan dilakukan setelah perusahaan terus merugi akibat penurunan penjualan dalam tiga tahun berturut-turut. Eyler berusaha melakukan inovasi dengan merombak 600 toko di AS untuk menarik pelanggan. Namun, langkah itu tetap tak mampu menyelamatkan perusahaan.

Kuartal III-2003, perusahaan bahkan merugi hingga 38 juta dolar AS atau 18 sen per saham. Meski ada kenaikan penjualan 2,2 persen pada kuartal berikutnya, tetap saja hal itu tak menolong Kids “R” Us. Akibatnya, pada tahun tersebut perusahaan harus menanggung kerugian 28 juta dolar atau 13 sen per saham.

Menurut para analis, salah satu faktor jatuhnya Kids “R” Us karena hadirnya kompetitor baru. Wal-Mart hadir sebagai kompetitor besar Toys “R” Us dan pada 1998 berhasil menyalipnya menjadi pemain utama dalam penjualan mainan di AS.

Di tengah keterpurukan Toys “R” Us, sebuah grup yang terdiri dari tiga perusahaan Bain Capital Partner, Kohlberg Kravis Robert, dan Varnado Reality Trust mengakuisisi Toys “R” Us senilai 6,6 miliar dolar AS dengan mengubah perusahaan menjadi private dan mengangkat Gerald Storch sebagai CEO baru pada 2005. Harapannya adalah untuk kembali membangkitkan kejayaan Toys “R” Us.

Baca juga:Amazon Siap Menghadap Lazada

Di tangan CEO baru, Toys “R” Us meluncurkan konsep baru untuk menyambut musim libur di penghujung 2006 hingga awal 2007 dengan menawarkan toko Express Pop- Up. Konsepnya adalah dengan hadir secara berpindah-pindah untuk memberi efek kejutan kepada pembeli. Konsep ini berbeda dengan Mobile Store yang setiap perpindahan toko sudah terjadwal dan diketahui oleh pembeli.

Konsep pop-up ini sukses membuat laba bersih Toys “R” Us melonjak 40,1 persen atau 199 juta dolar AS pada kuartal IV-2006 dibandingkan laba bersih di kuartal yang sama di 2005 yang hanya mencapai 142 juta dolar AS. Perlu diketahui, kuartal IV Toys “R” Us selalu berakhir pada 2 Februari sehingga kuartal IV tahun fiskal 2006 berakhir pada 2 Februari 2007.

Infografik Perjalanan Toys R Us

Toys “R” Us di Tangan Dave Brandon

Dave Brandon menjadi CEO Toys “R” Us pada 2015. Ia menghadapi kondisi perusahaan yang sedang sulit, termasuk penutupan Toys “R” Us di kawasan Times Square. Penutupan toko ini berpengaruh pada menurunnya penjualan sehingga penjualan bersih konsolidasi turun 262 juta dolar AS pada tahun fiskal 2016.

Turunnya penjualan juga disebabkan oleh kesalahan strategi pada saat menyambut musim libur menurut laporan Washington Post. Para kompetitor ritel mainan berlomba memberi potongan harga menarik bagi pelanggan. Jet.com milik Walmart memukul para pengecer mainan dengan harga paling rendah untuk kategori mainan.

Baca juga:Suntik Lagi Lazada, Alibaba Siap Bertarung di Luar Kandang

Sedangkan Toys “R” Us teguh tak ingin terlibat dalam perlombaan potongan harga karena ingin melindungi margin keuntungannya. Padahal, sekitar 40 persen pendapatan Toys “R” Us didapat dari penjualan di musim libur yang dilakukan setiap tahunnya. Penurunan penjualan menyebabkan kerugian bersih perusahaan untuk tahun fiskal 2016 sebesar 130 juta dolar AS.

Toys “R” Us tak hanya kehilangan penjualan di toko offline karena tak mampu bersaing dalam hal harga tapi juga kalah telak di toko online. Menurut Neil Saunders dari Global Data Retail para kompetitor Toys “R” Us sudah melangkah lebih jauh dengan memanfaatkan toko online dan offline seperti yang dilakukan Amazon dan Target.

“Toys 'R' Us sudah kehilangan [pasar] di dunia digital,” kata Saunders.

Menurut laporan Statista, Amazon kini menjadi pemain utama dalam penjualan mainan di dunia dengan mengantongi 2,1 miliar dolar AS pada 2016. Sedangkan Walmart menempati posisi kedua dengan penjualan 1,2 miliar dolar AS. Sedangkan Toys “R” Us harus puas di posisi ketiga dengan penjualan 921 juta dolar AS.

Hal itu, menurut Saunders karena Toys “R” Us lebih banyak mengandalkan penjualan toko offline dan menghabiskan pengeluaran dalam menjalankan toko-toko besar yang tentunya akan membutuhkan biaya operasional yang mahal.

Menurut pandangan Saunders, perusahaan Toys “R” Us harus juga menggunakan e-commerce untuk menggaet konsumen yang kini banyak memanfaatkan penjualan online. Sebab perusahaan ritel yang kini tetap bertahan adalah mereka yang menjalankan toko online dan juga offline.

Baca juga artikel terkait RITEL atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Bisnis
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti